This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Sore yang Gelap (3)



Sore yang Gelap (3)

0Silver menutup pintu kereta rapat-rapat lalu duduk pada kursi di seberang Viorel.     
0

Viorel mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia hanya pernah memasuki kereta kuda taksi yang sempit dan tidak menyangka akan bisa melihat kereta kuda yang begitu luas dan megah secara langsung. Otaknya langsung merekamnya agar ia bisa menggunakannya sebagai referensi novel suatu saat nanti.     

Silver berdeham kecil, menarik kembali fokus Viorel. "Apa yang ingin kau bicarakan?"     

"Apa rumor mengenai turunnya Luca Mocanu dari posisinya itu benar? Apakah benar bahwa alasannya adalah adikku yang menjadi istrinya?" Tanpa basa-basi, Viorel segera meluncurkan pertanyaan.     

Sebelumnya, Silver sudah memiliki firasat bahwa Viorel akan menanyakan hal ini. Itulah mengapa, ia mengajak Viorel masuk ke dalam kereta kuda untuk bicara secara private karena informasi ini memang masih di tutupi agar tidak terjadi pergerakan yang tidak diinginkan ataupun kecemasan dari warga setempat. Bahkan, tidak semua anggota kepolisian mengetahui kebenarannya dan mengetahuinya sebagai rumor saja.     

Silver berpikir sejenak sebelum mengangguk kecil. Ia merasa tidak ada salahnya memberitahukan hal ini kepada kakak dari istri Tuan Luca.     

Kecemasan semakin tampak di wajah Viorel. Ia bahkan tanpa sadar berdiri membuat kereta kuda itu sedikit bergoyang. Dengan genggaman kuat, ia mengguncang tubuh Silver. "Bagaimana dengan Mihai? Apa dia terluka? Apa dia disekap?"     

Silver balas menggenggam lengan Viorel lalu dengan dorongan lembut, melepaskan genggaman pria mungil itu dari lengannya. "Dia baik-baik saja. Ia sudah kembali dengan Tuan Luca ke tempat tinggalnya."     

Mendengar itu, Viorel terduduk kembali dengan perasaan lega. Namun, sedetik kemudian, ia menjadi marah karena adik bodohnya itu sudah membuat mereka cemas sekali. "Dasar! Mengapa dia tidak mengangkat teleponnya?!" gerutunya dengan suara pelan.     

Silver diam saja di tempat, menatap wajah Viorel untuk beberapa saat.     

"Itu saja yang ingin kau tanyakan?" tanyanya beberapa saat kemudian.     

"Eh? Ah! Iya. Aku hanya ingin menanyakan itu. Kalau adikku baik-baik saja, aku sudah lega. Terima kasih, Tiang Listrik."     

Silver mengangguk kecil.     

Viorel sudah berdiri dan hendak berjalan keluar. Tiba-tiba, lengannya ditahan oleh genggaman Silver.     

"Ada apa?"     

Silver bergeming. Mata merahnya yang dalam bertemu pandang dengan Viorel. Mata itu seperti menghentikan waktu membuat Viorel tidak berkedip maupun bergerak sama sekali. Otaknya bahkan lumpuh, tidak dapat memikirkan apa pun untuk sementara waktu.     

"Silver…."     

"Eh?"     

"Aku bukan tiang listrik. Panggil aku Silver," ulang Silver memperjelas maksudnya.     

Viorel mengerjap beberapa kali. Otaknya yang masih bekerja lambat membutuhkan beberapa waktu untuk memahami maksudnya. "O—ok…," gumamnya setelah beberapa detik.     

Silver mengangguk lalu melepaskan tangan Viorel, membiarkan harimau mungil itu keluar dari kereta. Walaupun masih berwajah datar, hatinya dipenuhi kepuasan.     

*****     

Cahaya yang menyilaukan menusuk mata Cezar membuat ia menutup matanya rapat-rapat. Ketika ia membuka matanya lagi, pemandangan sekelilingnya telah berubah dari lorong yang gelap gulita menjadi sebuah ruangan luas dengan lantai yang dilapisi karpet lembut. Ia langsung mengenalinya karena itu adalah ruangan direktur perusahaan.     

Akhirnya ia paham, ia telah terbawa oleh sihir teleportasi milik Adrian.     

"Egh!" Cezar mengeluh sakit. Tangan kanannya kembali berdenyut, mengingatkannya pada luka di punggung tangannya. Darah segar masih terus mengalir mengotori karpet.     

Adrian yang berdiri di sampingnya segera berjongkok dan mengecek luka tersebut. Ekspresinya suram. "Aku tidak bisa menggunakan sihir penyembuh."     

Berdecak kesal, ia membuka gulungan lengan kemejanya lalu merobek kain tersebut.     

Tidak menyangka Adrian akan melakukan itu, Cezar terbelalak lebar. "Direktur, kau tidak perlu—aghh…." Cezar berusaha menghentikan Adrian. Tanpa sadar, ia menggerakkan tangan kanannya dan luka itu kembali berdenyut.     

"Jangan gerakkan tanganmu!" tegur Adrian. Ia telah selesai merobek kain lengannya dan mulai membalutnya pada tangan Cezar. Ia mengikatnya sekuat mungkin untuk menahan pendarahan yang terjadi.     

"Tunggu sebentar. Aku akan menelepon security," pesan Adrian.     

'Security?'     

Mengingat kembali kata itu, Cezar menyadari sesuatu. Tadi, ia terlalu tergesa-gesa hingga tidak bisa berpikir dengan baik. Sekarang ia menyadari sesuatu.     

Di saat yang bersamaan, Adrian melempar gagang telepon dengan kesal. "Mengapa mereka tidak menjawab?!"     

"Direktur, bukankah hari ini Anda membiarkan para security untuk pulang duluan?"     

"Hah? Aku tidak melakukan itu!"     

Cezar mengernyit bingung. Begitulah yang ia dengar ketika istirahat makan siang tadi ketika ia berpapasan dengan salah satu security yang akrab dengannya. Namun, ia tahu Adrian tidak berbohong melihat kebingungan yang begitu asli di wajahnya.     

"Mungkin … ini juga rencana Sophia…," gumam Cezar setelahnya. Ia tidak bisa memikirkan orang lain lagi. Lagi pula, Sophia bekerja sebagai staf di divisi HR dan melihat kedekatannya dengan Adrian, mungkin Manajer HR tidak meragukan perkataan Sophia yang mengatasnamakan Adrian.     

Adrian berdecak kesal. Amarah dan kesedihan bercampur di dalam dirinya membuat ia tidak sanggup lagi menahannya dan melampiaskan emosi itu dengan memukul meja sekuat tenaga. "Apa yang Sophia lakukan? Kau tahu sesuatu?!" tanyanya dengan tatapan menuntut pada Cezar.     

Cezar menggeleng.     

Namun, Adrian tidak bisa mempercayainya.     

Jika pria itu tidak tahu apa-apa, mengapa Cezar bisa ada di sini dan menyelamatkan Adrian. Atau jangan-jangan….     

'Mereka bekerja sama? Dan menyelamatkanku ini ada dalam skenario mereka? Atau Sophia dipaksa Cezar untuk melakukan ini?'     

Tatapan curiga Adrian semakin jelas hingga Cezar merasa bisa menebak jalan pikirannya.     

"Aku tidak bekerja sama dengan Sophia. Aku tidak tahu mengapa ia ingin membunuhmu. Aku hanya kebetulan mendengar percakapan kalian di dekat vending machine dan melihat gelagat Sophia yang aneh. Jadi, aku hanya ingin memastikannya. Aku menyelamatkanmu juga bukan karena aku ingin. Aku hanya tidak ingin Sophia mengotori tangannya dengan membunuh seperti itu."     

Adrian menajamkan pandangan matanya, menyelidiki Cezar, berusaha mencari jejak kebohongan di sana. Namun, ia tidak menemukan apa pun. Pada akhirnya, ia hanya bisa menerima bahwa Sophia memang ingin membunuhnya entah dengan alasan apa dan ia telah diselamatkan oleh Cezar, musuh bebuyutannya.     

Tiba-tiba, bunyi sesuatu yang tajam yang terus bergesekan dengan batang besi memasuki telinga Cezar. Telinganya langsung berdiri tegak dan bergerak-gerak, mencari sumber bunyi yang menyeramkan itu. ia langsung mengenalinya sebagai pisau yang sedang bergesekan dengan pegangan besi tangga darurat.     

"Sophia datang!" seru Cezar dengan wajah memucat.     

Adrian mengernyit bingung karena ia tidak bisa mendengar bunyi tersebut. Namun, ia tidak merasa Cezar berbohong.     

Dengan gerakan cepat, ia mengambil gagang telepon dan menghubungi nomor polisi. Ketika sambungan tersebut diterima, Adrian segera melaporkan apa yang terjadi dan mengharapkan para polisi itu segera datang.     

Cezar masih terus menggerak-gerakkan telinganya dengan was-was. Bunyi gesekan itu tiba-tiba hilang tapi kemudian kembali terdengar lagi. Kini, pisau itu terus bergesekan dengan lantai keramik. Sesekali, bunyi berdecit terdengar, membuat Cezar mengatupkan telinganya. Bulu kuduknya berdiri tegak.     

Tidak hanya Cezar, Adrian pun mulai dapat mendengar bunyi itu.     

Adrian segera mengarahkan tangannya pada pintu ruangan. "Oh, air yang murni! Ubahlah bentukmu yang elastis itu menjadi lapisan dinding yang tebal dan mengeraslah menjadi es yang kuat, sekuat beton!" Cahaya biru segera muncul dari telapak tangannya, diikuti dengan butir-butir air yang muncul entah dari mana, bergerak dengan kecepatan tinggi menuju pintu dan menyelip keluar dari sela pintu itu.     

Cezar tidak bisa melihatnya tapi di luar pintu tersebut, mulai terbentuk dinding es yang kuat seperti yang diperintahkan oleh Adrian.     

Ketika dinding es itu sudah jadi, Sophia juga telah sampai di depan pintu ruangan direktur. Melihat dinding yang sangat tebal itu, ia berdecak kesal.     

"AKU AKAN MENCINCANG KALIAN SEPERTI AKU MENCINCANG DINDING ES INI!" teriaknya sadis lalu mengayunkan parangnya pada dinding es.     

Sebelumnya, ia telah menelan pil yang berisi sihir api dan meyalurkan sihir itu pada parang. Api tersebut membantu Sophia melelehkan bagian dinding yang dikenai oleh parang sehingga dinding itu segera memiliki lubang kecil dan sedikit retakan.     

Namun, tetap saja, Sophia hanya melukai bagian kecil dari dinding itu. Bagian sekecil itu bisa dengan mudah diperbaiki. Dalam hitungan detik, bukaan itu kembali menutup, membuat dinding itu kembali mulus seperti semula.     

Walaupun Adrian masih muda, gelar Kepala Keluarganya bukanlah sesuatu yang ia dapatkan dengan main-main. Sihirnya tetap lebih kuat dari incubus lain pada umumnya. Apalagi ia menggunakan mantra yang bisa meningkatkan kekuatan sihirnya.     

Perlu diketahui, kebanyakan sihir membutuhkan mantra, lebih tepatnya adalah kekuatan kata-kata. Dengan ada kata-kata, bentuk sihir yang diinginkan menjadi semakin jelas sehingga hasil dari sihirnya pun menjadi semakin kuat.     

Namun, ini bukanlah kewajiban. Untuk sihir tingkat rendah, kebanyakan dari mereka tidak memerlukan mantra. Jika sudah melibatkan sihir tingkat sedang hinga sulit, mantra sangat diperlukan untuk keberhasilannya. Hanya incubus yang sudah memiliki pengalaman dan sumber sihir yang berlimpah yang dapat menggunakannya tanpa mantra. Yah, jika diberi contoh, satu-satunya yang bisa menggunakan semua sihir tanpa mantra adalah Luca Mocanu. Sementara, pelayan-pelayannya hanya memerlukan mantra untuk beberapa sihir tingkat dewa yang benar-benar sangat sulit. Sisanya, dapat pelayan-pelayan itu lakukan tanpa menggunakan mantra juga.     

Dengan geram, Sophia terus menghantamkan bilah parangnya tanpa menyerah. Namun, tidak ada gunanya. Regenerasi dinding itu sangat cepat.     

Dengan amarah yang menggebu-gebu, Sophia menelan lagi pil sihir api itu, kali ini lima pil sekaligus. Ia langsung merasakan kekuatan yang besar membuncah di dalam dirinya. Tawa licik meluncur keluar dari dalam mulutnya. "HAHAHAHA … AKU AKAN MEMBUNUHMU SEBENTAR LAGI!"     

Namun, tiba-tiba, Sophia merasakan tubuhnya semakin panas dan semakin panas hingga tak tertahankan. Tanpa bisa ia cegah, kobaran api mulai muncul di permukaan kulitnya. Ia berusaha memadamkan api itu dengan tangannya tapi api terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tidak tahu bahwa pil sihir itu tidak dapat dikonsumsi begitu banyak secara langsung karena tubuhnya belum terbiasa dengan keberadaan energi sihir yang merupakan benda asing itu. Jika terlalu banyak, energi itu akan balik menyerangnya karena tidak bisa dikendalikan.     

"AGHH! PANAS! PANAS!!"     

"Sophia!" Mendengar jeritan itu, sihir Adrian hampir goyah. Kakinya sudah akan bergerak menuju luar ruangan tapi dicegah oleh Cezar.     

"Bisa saja itu jebakan!" seru Cezar yang juga sama cemasnya. Namun, mereka berdua tidak dapat melihat keadaan di luar jadi mereka tidak tahu apakah Sophia berpura-pura atau memang sedang kesakitan.     

Di tengah kekacauan itu, para polisi akhirnya tiba. Ketika mereka melihat keadaan Sophia yang terbakar, mereka yang memiliki elemen air segera memadamkan api itu dan memborgol Sophia setelah memastikan gadis itu memiliki ciri-ciri yang sama dengan yang dilaporkan oleh Adrian.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.