This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Air Mata yang Kering



Air Mata yang Kering

0"Hikss … hikss … Amanda, jangan mati!! Hikss…."     
0

Mihai berlinang air mata setelah membaca novel tersebut. Ketika ia menyadari nama Amanda di dalam buku itu, ia langsung tahu bahwa ini adalah buku novel dari drama baru yang hanya sempat ia tonton beberapa episode awalnya dan langsung dibuat jatuh cinta. Sayangnya ia tidak bisa menonton sisanya akibat kelahiran Liviu dan kesibukannya menuntut pertanggungjawaban dari Luca. Lagi pula, ia juga tidak pernah menemukan televisi di rumah ini.     

Novel ini menceritakan mengenai perjuangan Amanda, seorang pembunuh bayaran, yang akhirnya jatuh cinta kepada targetnya. Ia dipenuhi dilemma antara membunuh targetnya dan melupakan cintanya atau memilih cintanya dan keluar dari organisasinya. Namun, jika ia keluar dari organisasinya, itu juga berarti ia tidak bisa mengabulkan rasa cintanya karena ia akan dibunuh.     

Cerita itu dipenuhi hambatan-hambatan dan tantangan yang menyayat hati pembacanya dan sekarang, Mihai sudah sampai pada Amanda akhirnya dimana identitasnya sebagai pembunuh bayaran terkuak dan diketahui oleh orang yang dicintainya itu. Gadis itu tidak memiliki harapan lagi. Targetnya itu sekarang mengejarnya untuk membunuhnya dan karena ia gagal melakukan misi, organisasinya pun mengejarnya untuk mengambil nyawanya. Amanda terus belari dan akhirnya berhenti di sebuah tebing yang curam. Ketika ia melihat jurang yang tak terlihat dasarnya, ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya.     

Dan di sinilah Mihai, menangisi kehidupan Amanda dengan terus berseru di sela tangis harunya, "Jangan mati Amanda!! Huhuhuhu…."     

Melihat papanya menangis tersedu-sedu, Liviu jadi ingin menangis juga. Bayi kecil itu sudah mulai terisak. Namun, di sisi lain, ia tidak ingin melihat papanya terus sedih, jadi ia merangkak mendekati wajah papanya dan terus mengusap air mata yang jatuh mengalir ke pipi. "Da … da….."     

Tenggelam dalam kisah tragis Amanda, Mihai tidak menyadari perlakuan Liviu dan terus membaca kalimat berikutnya dari cerita. "Wuaaa!! Tidak Amanda! Pikirkan lagi!!" serunya kepada Amanda yang sudah ancang-ancang ingin melompat, bagaikan Amanda bisa mendengarnya saja.     

Ketika Amanda benar-benar jatuh ke jurang, tangisan Mihai semakin kuat membuat Liviu kalang kabut. Liviu tidak tahan lagi dan hampir saja menangis ketika sebuah tangan menariknya dan mendudukkannya pada sebuah paha ramping yang berbalut celana kain hitam. Telapak tangan yang dingin dan lebar mengelus pelan kepalanya membuat Liviu menjadi sedikit lebih tenang.     

Di saat yang sama, suatu benda yang tumpul menusuk-nusuk lengan Mihai, mengganggu penghayatannya dalam cerita itu. Setengah sedih setengah kesal, ia menoleh dan mendapati sekotak penuh tisulah yang telah menusuk-nusuk lengannya. Mengerjap beberapa kali – membiarkan sisa air mata di pelupuk matanya jatuh mengalir – ia menarik tisu dari kotak itu seraya mendongak mengikuti tangan yang memegang kotak tersebut.     

Di dapatinya wajah Luca yang datar sebagai pemberi kotak tisu.     

"Terima kasih," ujar Mihai dengan suara yang serak. Ia membersihkan seluruh air mata di wajahnya dan mengeluarkan sisa ingusnya yang sudah meler.     

Luca mengernyit tidak suka tapi tidak memprotes, hanya bergeser beberapa sentimeter menjauh dari Mihai.     

Di pangkuannya, Liviu juga sudah tenang dan kembali bahagia ketika melihat papanya sudah tidak menangis lagi. Ia segera terbang kembali ke punggung papanya, meninggalkan Luca yang entah mengapa merasa sedikit kosong.     

Luca kembali melirik Mihai yang masih terus mengeluarkan ingusnya. Heran….     

'Mengapa dia bisa menangis seperti itu? Apa dulu aku juga bisa seperti ini ketika masih memiliki perasaan?'     

Luca tahu isi ceritanya sangat tragis dan menyedihkan karena ia juga ikut membaca di samping Mihai. Namun, walaupun otaknya tahu itu menyedihkan, hatinya tidak bergerak sama sekali. Matanya bagaikan padang pasir yang kering.     

Kenyataan ini membuatnya semakin tidak nyaman. Padahal, selama ini, ia tidak keberatan dengan dirinya yang datar dan tidak berperasaan. Asalkan otak dan logikanya tetap berkerja dengan baik, ia tidak memiliki masalah.     

Namun, mungkin sekitar 18 tahun yang lalu, ia mulai berpikir bahwa ia tidak nyaman dengan kenyataan ini. Anehnya, ia tidak ingat alasan yang membuatnya berpikir seperti itu. Walaupun begitu, Ia mulai mencari cara untuk kembali memiliki perasaannya tapi seberapa banyak buku yang ia baca, tidak ada yang membuahkan hasil dan ini membuatnya semakin tidak nyaman dengan dirinya sendiri.     

Sekarang, setelah melihat betapa bedanya antara ekspresi dirinya dengan Mihai, ia menjadi kesal. Yah, kesal. Ia tidak tahu apakah ia benar-benar merasa kesal, tapi otaknya berkata seperti itu.     

"Apa?" tanya Mihai tiba-tiba ketika menyadari tatapan Luca yang terus menusuknya.     

"Eh?"     

"Ada masalah?"     

Luca memiringkan kepalanya sedikit tanda ia tidak paham. Sejujurnya ia memang tidak paham. Ia bahkan tidak sadar telah melihat Mihai dalam waktu yang terlalu lama.     

Mihai menyipitkan matanya tajam. Ia mengamati wajah datar Luca dan tiba-tiba merasa kesal. "Kau beneran membaca novel ini?" tanyanya sambil mengangkat buku di tangannya.     

Luca mengerjap beberapa kali, bingung mengapa Mihai bertanya begitu, tapi akhirnya mengangguk.     

Mihai mendengus. "Bohong! Kau pasti tidak fokus membacanya!"     

"Aku membacanya," protes Luca. Alisnya mengernyit tidak suka.     

"Kalau begitu, mengapa wajahmu masih bisa datar?! Kakakku yang sadis luar biasa saja akan menangis tersedu-sedu jika membaca cerita sesedih ini. Kau pasti hanya pura-pura membaca."     

"Sudah kubilang, aku benar-benar membacanya."     

Mihai masih menatapnya dengan penuh kecurigaan. "Tidak mungkin! Kalau kau benar-benar membacanya, ceritakan apa yang ada di halaman ini!" tantangnya seraya menunjuk salah satu halaman secara acak.     

Luca meliriknya sedikit. "Itu menceritakan Amanda yang sedang menemani targetnya dan akhirnya mengunjungi taman hiburan. Amanda merasa itu seperti sebuah kencan."     

Rahang Mihai jatuh. Ia tidak percaya Luca benar-benar bisa menceritakannya dengan benar. Tidak mau langsung menerimanya, Mihai terus menunjuk beberapa halaman lagi secara acak tapi Luca dapat menceritakan semuanya dengan benar tanpa ada satu pun kesalahan.     

"Ke—ke—ke—" Tiba-tiba Mihai jadi gagap. "Kenapa kau tidak menangis kalau begitu?! Hatimu terbuat dari apa?! Beton?!"     

Luca tersinggung. Bagaimana ia bisa menangis jika ia pada dasarnya tidak memiliki perasaan itu sendiri? Tentunya Mihai tidak tahu kenyataan itu, tapi Luca tidak bisa menahan emosi yang tiba-tiba muncul entah dari mana. "Kau tahu apa?!" ketusnya.     

Hening….     

Mihai dan Liviu mematung di tempat, menatap Luca dengan mata terbelalak.     

Emosi yang meluap-luap di dalam diri Luca tiba-tiba hilang bagaikan disapu ombak laut, tidak meninggalkan bekas apa pun. Luca kembali tersadar bahwa ia telah terlalu ketus.     

"A—"     

"Maaf…." Mihai menunduk hingga Luca tidak bisa melihat ekspresinya. Namun, Luca cukup terkejut oleh perkataan Mihai.     

'Orang ini bisa meminta maaf?' Luca sempat curiga tapi otaknya mengatakan bahwa Mihai tulus mengatakan hal itu, yang membuatnya semakin terkejut dan tidak percaya.     

"Aku sudah terlalu sok tahu dan mengata-ngataimu seenak jidat. Maaf. Aku tidak bermaksud," ujar Mihai lagi. "Iya, ya … tidak semua orang akan menangis karena membaca cerita ini. Seharusnya aku tidak menyamakan semua orang. Mungkin saja kau malah merasa marah bukan sedih setelah membaca cerita ini…."     

Deg!     

Tiba-tiba, Luca menemukan sebuah dentuman yang keras hingga menyakitkan di dadanya. Namun, dentuman itu begitu singkat hingga ia hampir mengira itu adalah halusinasi.     

Matanya melihat Mihai yang masih tertunduk lesu dan ia kembali berpikir bahwa ia tidak nyaman melihat ini.     

Tanpa ia sadari, tangannya sudah bergerak.     

Mihai merasakan sebuah tangan yang lebar dan dingin menepuk lembut kepalanya, mengelusnya pelan. Anehnya, walaupun suhu telapak tangan itu dingin bagaikan es, yang tersalurkan pada Mihai adalah kehangatan.     

Ia mendongak. Sepasang mata beriris merah gelap bertemu pandang dengannya.     

"Maaf. Aku juga tidak bermaksud ketus," ujar Luca tanpa sadar melembutkan suaranya.     

Degupan jantung Mihai menjadi sangat ribut. Warna merah muda memenuhi kedua pipinya. Untungnya ruangan itu hanya diterangi oleh lilin-lilin di lampu gantung itu. Warna kuning yang dipancarkan menyamarkan semburat merah di wajahnya sehingga Luca tidak menyadari hal itu.     

Mihai kembali menunduk dan menggeleng. "Aku yang salah. Aku memang tidak tahu apa-apa. Papa, Kak Cezar, dan Kak Vio sudah sering menegurku karena selalu berbicara tanpa berpikir, ak—"     

"Kau tidak salah," sela Luca dengan tegas. Entah mengapa, ia tidak menyukai kondisi Mihai sekarang ini. "Kau memang tidak mengetahuinya, itu wajar. Aku tidak punya hak untuk menyalahkanmu karena memang aku yang tidak pernah memberitahumu tentang hal ini."     

"Itu—"     

"Sebenarnya aku … tidak bisa merasakan perasaan apa pun."     

Mihai menatap Luca dengan mata terbelalak.     

Luca sendiri terbelalak oleh kata-katanya sendiri. Entah apa yang ia pikirkan sehingga ia dengan mudahnya mengeluarkan hal yang bahkan tidak pernah diketahui oleh orang lain selain para pelayannya, itu pun karena para pelayannya itu memang sudah bersamanya saat itu.     

"Maksudmu?" tanya Mihai ragu-ragu. Ia ingin tahu maksudnya tapi ia sedikit takut akan salah mengambil langkah lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.