This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Cerita dibalik Perasaan yang Hilang



Cerita dibalik Perasaan yang Hilang

0"Maksudmu?"     
0

Mihai menatap Luca sedikit ragu-ragu tapi keingintahuan terpancar dengan jelas dari tatapannya itu.     

Luca menjadi bingung. Ia dilemma antara menceritakan kebenarannya atau tidak. Ia sedikit enggan menceritakan hal yang bahkan tidak pernah ia ceritakan kepada kaumnya sendiri – walaupun ia tidak tahu apakah kaumnya sendiri sudah menyadarinya dari gerak-geriknya selama ini. Akan tetapi, ada dorongan yang kuat yang membuatnya ingin memberitahukan seluruhnya pada Mihai.     

Setelah ragu beberapa saat, akhirnya Luca membuka suara.     

"Apakah kau tahu dulu kaum Incubus tidak memiliki energi sihir?"     

Mihai mengangguk. Ia pernah mendengarnya dari cerita Ecatarina.     

"Kau tahu siapa yang membuat kaumku memiliki kekuatan ini?"     

"Kau, bukan?"     

Luca mengangguk. "Setelah membunuh banyak sekali half-beast yang menjadi musuh kaumku, aku masih dipenuhi dengan keraguan dan ketidakpastian. Aku harus mencarikan kekuatan yang pasti bisa mengalahkan kaum half-beast agar kaumku tidak lagi dijatuhkan. Itulah mengapa, aku terus mencari dan mencari hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang pria yang misterius…."     

Luca tidak lagi mengingat detailnya bagaimana ia bisa menemukan tempat itu. Ketika ia memasuki tempat itu, ia menemukan sebuah tempat yang bagaikan dunia mimpi. Langit yang berwarna ungu keputihan, binatang yang terbang seperti burung tapi memiliki bentuk yang tidak seperti burung – terlalu aneh hingga Luca tidak bisa menggambarkannya dengan baik, tanah yang terdiri dari dua daerah – yang satu gersang, yang satu penuh bunga – dan kedua daerah itu dipisahkan sebuah aliran sungai yang sangat panjang hingga Luca tidak bisa melihat ujungnya. Pada daerah yang gersang, terdapat banyak sekali batu dan tepat di atas batu terbesar yang ada di dalam tempat itu, seorang pria tua dengan rambut panjang memutih, jenggot panjang yang juga putih, dan pakaian panjang kuno bermotif aneh duduk bersila.     

Ketika pria tua itu melihat Luca, ia mempersilakan Luca mendekat dan menawarkan energi sihir untuknya. Alasannya adalah karena ia tahu Luca sedang mencari kekuatan baru.     

Pada waktu itu, Luca tidak mengetahui apa-apa tentang energi sihir. Bahkan, ia tidak paham bagaimana bentuknya. Namun, setelah mengetahui detail-nya, Luca merasa inilah jawabannya.     

Kekuatan yang tidak dimiliki oleh kaum half-beast dan jika kekuatan ini dikembangkan dengan baik, tidak akan ada satu pun anggota kaum half-beast yang bisa memperbudak kaumnya lagi hingga mati. Pada akhirnya, Luca menyerukan keinginannya akan kekuatan itu diberikan kepada seluruh anggota kaumnya hingga bisa diturunkan ke keturunannya.     

Namun, Luca seharusnya tahu, tidak ada yang gratis di dunia ini.     

Luca harus memberi imbalan kepada si Pak Tua. Imbalan itu adalah perasaannya.     

Di hari Luca menyanggupi itu, di hari itu juga dunia Luca berubah menjadi dunia yang hampa. Kecerdasan otaknya tidak hilang jadi ia mengenal segala perasaan yang terjadi di hadapannya dan ia tahu apa yang harus ia rasakan ketika berhadapan dengan hal-hal tertentu. Namun, karena perasaannya sudah hilang, seberapa sering otaknya memberi perintah untuk merasa, ia tidak bisa merasakannya sama sekali.     

"Hingga sekarang … setelah seribu tahun telah berlalu, otakku pun sudah hampir melupakan banyaknya rasa yang pernah kurasakan. Yang tersisa sekarang diotakku hanyalah pengetahuan mengenai perasaan-perasaan sederhana yang bisa kusadari dari ekspresi saja. Jika sudah terlalu rumit, aku tidak akan bisa memahaminya lagi."     

Keheningan melanda perpustakaan….     

Mihai masih mencerna keseluruhan cerita yang rumit ini hingga otaknya sedikit berasap.     

"Ja—jadi…," ujar Mihai setelah beberapa saat. "Kau tidak memiliki perasaan lagi?"     

Luca mengangguk.     

"Merasa senang, sedih, marah, sekalipun?"     

Luca mengangguk.     

Wajah Mihai menjadi muram. "Itu sangat tidak menyenangkan. Aku heran kau bisa betah hidup seperti itu hingga seribu tahun."     

Luca hanya diam, tidak bisa berkata apa-apa. Pertama kalinya ada seseorang yang menyatakan hal ini kepadanya.     

'Tidak menyenangkan….' Luca tidak tahu apakah itu menyenangkan atau tidak karena ia sendiri tidak bisa merasakannya. Namun, jika ia mulai mencari-cari cara mengembalikan perasaannya, mungkin itu yang ia pikirkan secara tidak sadar?     

Entahlah … Luca tidak bisa menjawabnya.     

"Jujur saja, aku sering sekali ingin menghilangkan perasaanku terutama emosi marahku," ujar Mihai menarik perhatian Luca kembali. "Kau pasti sudah menyadarinya kan? Aku tidak bisa mengatur diriku saat sudah marah atau kesal."     

Luca mengerjap beberapa kali. 'Oh … ternyata dia menyadarinya….'     

"Papa dan kakak-kakakku sudah sering menegurku dan aku benci emosi yang berlebihan ini. Tapi…." Mihai menatap Luca dengan sedih. "Benar-benar kehilangan perasaan seperti kau … aku tidak bisa membayangkannya. Aku pasti akan jadi gila kalau hal itu terjadi padaku. Kau tidak ingin mengembalikan perasaanmu?"     

"Ingin."     

"Kalau begitu—"     

"Tapi aku tidak tahu caranya."     

Keduanya terdiam sejenak….     

"Kau tidak bisa bertemu lagi dengan Pak Tua itu?"     

Luca mengedikkan bahunya. "Aku tidak tahu cara memasuki tempat itu lagi."     

"Hmm … jadi, apa rencanamu untuk mengembalikan perasaanmu itu?"     

Luca mengambil buku yang ada di tangan Mihai. "Membaca. Tapi, aku pikir cara ini tidak akan berhasil, seperti yang kau lihat tadi."     

Mihai manggut-manggut. Ia juga berpikir begitu. Otaknya berputar keras mencari cara lain. Hidup tanpa perasaan itu pastinya menyiksa dan Mihai ingin sekali membantu Luca.     

Tiba-tiba, Mihai menepuk tangannya. Senyum melebar di wajahnya. "Bagaimana kalau pergi nonton bioskop?"     

"Bioskop?" Luca mengernyit. Ia yakin pernah mendengar istilah itu. Sepertinya itu adalah teknologi yang baru ada beberapa puluh tahun lalu untuk menonton film. Luca pernah membaca blueprint-nya saat masih dalam tahap perancangan tapi hingga sudah menjadi terkenal pun, Luca tidak pernah pergi untuk melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.     

Mihai yang tidak tahu hal itu langsung mengangguk dengan tidak sabar. "Kalau kau membaca saja, kau harus membayangkannya sendiri. Kalau kau menonton, kau akan melihat emosi dan ekspresinya secara langsung. Mungkin dengan begitu, perasaanmu akan lebih mudah terpancing untuk muncul!"     

Luca berpikir sejenak. 'Ide yang masuk akal….'     

Ia belum pernah menonton film jadi tidak pernah terpikirkan olehnya untuk mencari cara dari hal tersebut. Walaupun belum pernah ia tonton, lagi-lagi, Luca tahu apa itu film secara teorinya karena seluruh perkembangan baru di Kota Rumbell harus mendapatkan persetujuannya terlebih dahulu sebelum benar-benar diluncurkan untuk digunakan masyarakat luas.     

Mengingat-ingat seperti apa itu film, Luca semakin yakin bahwa perkataan Mihai ada benarnya.     

Tok! Tok!     

Tiba-tiba, pintu perpustakaan diketuk dan Lonel memasuki ruang perpustakaan. "Tuan, makan malam sudah siap. Apa Anda akan makan di sini?" tanyanya dengan suara yang malas seperti biasa. Kantong matanya terlihat semakin menghitam.     

Mendengar kata makanan, Mihai teringat tujuan aslinya datang ke sini. Ia langsung berteriak sambil memukul meja perpustakaan. 'Ya ampun! Kenapa aku bisa lupa?!'     

"Muka suram! Kau lagi-lagi mengingkari janjimu tadi pagi dan sekarang kau mau mengingkari janjimu lagi?! Aghhh!! Aku tidak akan membiarkanmu sewenang-wenang lagi!"     

Baiklah. sekarang Luca kembali kesal mendengar suara yang sangat memekakkan telinga itu.     

Lonel bahkan harus menyumbat kedua telinganya. Bayangkan pria yang begitu malas membuka mulutnya bahkan untuk makan saat lapar saja mau menggerakkan ototnya untuk menyumbat telinga. Luar biasa!     

Sementara itu, Mihai belum puas mengomel. "Kau harus makan denganku dan Liviu! Aku tidak mau tahu! Kalau kau mengingkarinya lagi, aku akan memukulmu 5000 kali dan meneriakimu dengan kata 'brengsek, sialan, f*ck, sh*t, bangsat, ke—"     

"Baiklah! baiklah!" Luca sudah tidak tahan lagi.     

Ia ingin menolak dengan alasan Mihai juga telah mengingkari janjinya pagi tadi. Namun, ia mengurungkan niat. Selain akan memperpanjang omelan pria harimau ini, Luca mengapresiasi kebaikan Mihai beberapa menit lalu – walaupun hanya sebentar. Ia juga menghargai ketulusan Mihai membantunya – walaupun hanya sebentar.     

"Eh? beneran?" Sekarang, mata Mihai sudah berbinar senang.     

"Da?" gumam Liviu yang masih sedikit curiga. Ia tidak akan memaafkan ayahnya jika Luca membuat Mihai marah dan kesal lagi, sumpahnya dalam hati.     

Luca mengangguk lalu mengalihkan pandangannya kepada Lonel. "Siapkan makanan di ruang makan untuk kami sekarang."     

"Baik, Tuan!" Lonel membungkuk dalam sebelum undur diri.     

Luca bangun dari tempat duduknya. "Ayo!"     

Mihai mencubit pipinya. Ia hampir mengira ia masih bermimpi tapi pipinya sakit. "Ka—kau benar-benar menepati janjimu!" serunya sambil meloncat kecil. Senyumnya sangat lebar.     

Luca tidak menyangka Mihai akan sebahagia ini. Padahal ia hanya menepati janjinya setelah mengingkarinya berkali-kali tapi bagaikan dengan hal ini saja, seluruh ingkarannya di masa lalu seperti terhapus seluruhnya.     

'Kalau aku tahu dia akan sebahagia ini, seharusnya aku melakukannya lebih cepat,' pikirnya dan saat itu juga ia tertegun.     

'Apa yang aku pikirkan?' Gerutunya dalam hati. Ia tidak berniat membuat Mihai bahagia.     

'Benar! Ini hanya agar aku tidak mendengar omelan kasarnya lagi yang menjengkelkan itu!' yakinnya dan kembali tersadar lagi.     

Mengapa ia membuat alasan untuk dirinya sendiri?     

Akhirnya, ia melupakan pergulatan di dalam batinnya. Namun, ia pikir ada baiknya untuk menepati janjinya itu. janji tetaplah janji dan semuanya telah tertandatangani di atas kertas.     

'Tidak ada salahnya, ya….'     

"Kau…."     

"Hm?"     

"Besok aku akan ke bioskop. Kau dan Livi, datanglah bersamaku, aku akan menepati janjiku untuk membawa Livi keluar bersama."     

Mihai mematung di tempat. Ia hampir meragukan pendengarannya hingga ia bertanya lagi, "Kau akan membawa aku dan Livi keluar?"     

Melihat respons Mihai, entah mengapa Luca jadi tidak nyaman. Tangannya ia letakkan di belakang leher dan terus menggaruknya walaupun tidak gatal. "Iya," gumamnya.     

Mihai tidak bisa lebih bahagia lagi dari ini. Ia langsung mengangkat tubuh Liviu tinggi-tinggi dan meloncat-loncat seperti anak kecil. "Kau dengar, Livi? Kita akan jalan-jalan dengan Ayah!"     

Liviu tidak tahu mengapa Mihai sangat senang dengan itu. Namun, ia ikut bahagia melihat papanya bahagia jadi ia tersenyum lebar. "Dadada!" serunya seraya tertawa-tawa.     

Luca yang masih berdiri di sana segera berjalan keluar. Entah mengapa, tangannya tidak mau berhenti menggaruk lehernya. Ia tidak menyadari ujung telinga runcingnya yang mulai mengeluarkan semburat merah muda….     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.