This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Target (1)



Target (1)

Mihai keluar dari teater bioskop dengan mata sembap. Air mata sesekali masih menetes keluar dari sudut matanya.     

"Daa…." Liviu yang berada di dalam dekapan Luca menjulurkan tangan mungilnya, berusaha menggapai wajah Mihai.     

Luca membantunya mendekat dan Liviu langsung mengusap air mata di wajah Mihai lalu menepuk wajahnya dengan lembut untuk menghiburnya.     

Melihat itu, Mihai terkekeh di sela tangisnya. "Terima kasih, Livi," ujarnya sambil mengelus kepala Liviu.     

Wajah Liviu segera kembali cerah.     

Mihai menghapus seluruh air matanya lalu menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Bagaimana, Muka Suram? Apa ada efek terhadap perasaanmu?" tanyanya setelahnya.     

Luca menggeleng dengan kernyitan samar ketika mendengar panggilan Mihai kepadanya.     

Beberapa jam sebelumnya, ia dan Mihai keluar dari teater bioskop setelah menonton. Mihai menangis tersedu-sedu selesai menontonnya sementara Luca tidak merasakan apa pun. Ia hanya menonton dengan hati yang datar. Otaknya memberitahu dirinya bahwa itu adegan sedih tapi hatinya tidak bergerak sama sekali.     

Ketika mengetahui bahwa cara ini gagal, Mihai masih tidak menyerah mau dan akhirnya mencari film lain yang bisa mengaduk-aduk perasaan penontonnya. Sepertinya mereka datang ke bioskop pada saat waktu yang tepat karena saat itu, masih ada beberapa film menyentuh lainnya. Jadi, Mihai membeli tiket untuk film yang kedua.     

Keluar dari teater selanjutnya, Mihai marah-marah penuh kekesalan karena film itu terlalu banyak pelakornya. Sementara Luca tetap sama, tidak merasakan apa-apa.     

Masih tidak menyerah, Mihai membeli tiket lagi dan mereka menonton lagi dan sampailah di keadaan sekarang. Mihai sesenggukan sementara Luca tetap tidak bisa merasakan apa pun walaupun di dalam pikirannya, ia tahu emosi apa yang seharusnya ia rasakan saat menonton itu.     

Mihai menghela napas melihat gelengan Luca.     

"Maaf, Muka Suram … aku masih ingin mengajakmu menonton film lain untuk mencoba lagi tapi perasaanku sudah tidak sanggup. Jika menonton lebih banyak lagi, aku bisa stress."     

Luca menggeleng kecil. "Tidak masalah. Kita sudah mencoba hingga tiga kali dan gagal. Aku rasa tidak ada gunanya mengulangnya lagi."     

Mihai menunduk dalam. "Padahal aku kira rencana ini bisa berhasil…." Aura suram mengelilinginya.     

Luca dan Liviu saling menatap sejenak. Melalui mata, keduanya seperti mengkomunikasikan cara untuk menghibur Mihai.     

Akan tetapi, Mihai ternyata tidak memerlukan hiburan dari mereka. Tidak butuh waktu lama, Mihai sudah menepuk kedua pipinya dan mengepalkan tangannya dengan penuh tekad. "Aku akan mencari cara lain lagi! Yosh!"     

"Da!" seru Liviu yang bahagia karena papanya tidak lagi sedih.     

Sementara itu, Luca hanya diam saja. Sejujurnya, ia tidak menyangka Mihai memiliki tekad yang begitu kuat untuk membantunya. Ia kira, Mihai hanya membantunya sekali ini karena rasa kasihan sejenak lalu akan menyerah begitu saja jika tidak berhasil. Lagi pula, Luca sendiri tidak begitu berharap perasaannya bisa kembali dengan cara sesederhana ini tapi tidak ada salahnya untuk mencoba, bukan?     

Mihai menatap Luca lurus-lurus dengan penuh tekad. "Tenang saja, Muka Suram! Aku pasti akan menemukan cara brilian yang bisa mengembalikan perasaanmu itu!" Senyum lebar menghiasi wajahnya dan matanya berbinar-binar.     

Luca yang ingin menyuruhnya untuk tidak perlu begitu menyibukkan dirinya demi Luca akhirnya mengurungkan niat. Bagaimana mungkin ia bisa mematahkan semangat Mihai ini? Walaupun ia tidak punya perasaan pun, otaknya masih bisa membaca situasi.     

Akhirnya, Luca mengangguk kecil. "Aku berharap padamu," ujarnya yang semakin membuat semangat Mihai membara,     

Liviu ikut-ikutan semakin semangat.     

Keduanya begitu ribut hingga orang-orang yang melewati mereka terus menatap dengan penuh penasaran. Ada juga yang terlihat jengkel karena sepertinya tidak suka keributan.     

Secepat mungkin, Luca menghentikan keduanya dengan mengalihkan topik. "Sekarang sudah ... egh … sore," ujarnya setelah melirik ke arah luar, mendapati sinar jingga telah menyinari Kota Rumbell. Tidak ia sangka, mereka akan menghabiskan hampir seharian di dalam gedung bioskop ini.     

"Masih ada waktu sebelum pulang. Apa ada tempat yang ingin kalian kunjungi lagi?"     

Mihai berpikir sejenak. Selain untuk memicu kembalinya perasaan Luca, jalan-jalan ini juga bertujuan untuk mendekatkan hubungan ayah dan anak. Mungkin ada baiknya bertanya kepada Liviu ke mana ia ingin pergi selanjutnya.     

"Da?" gumam Liviu yang bingung ketika mendapatkan pertanyaan itu. anak kecil itu berpikir keras sebelum tiba-tiba mengeluarkan binar terang di matanya. "Da! Da!"     

"Apa yang Liviu katakan?"     

"Dia ingin ke pantai," jelas Luca.     

Tiba-tiba mata Mihai juga ikut berbinar membuat anak dan papa itu benar-benar terlihat mirip. Yah … tidak diragukan lagi, keduanya memang memiliki pertalian darah.     

"Kau ingin pergi juga?"     

Mihai mengangguk dengan penuh semangat. Ia pernah bekerja sebagai penjaga pantai setahun yang lalu dan pemandangan sore di pantai itu sangat bagus. Sayangnya, seperti pekerjaannya yang lain, ia tidak bertahan lama. Setelah itu, ia sibuk mencari pekerjaan lain jadi sejak dipecat, ia belum pernah ke pantai lagi.     

"Baiklah. ayo kita pergi ke sana."     

Mihai mengangguk semakin kuat.     

"Ah! Tapi sebelum itu, aku mau ke toilet dulu!"     

Luca mengangguk. Mihai segera berlari menuju belokan yang ada di ujung kanan gedung setelah memastikan plang yang menunjukkan arah toilet berada di sana.     

*****     

Vasile duduk di sofa gedung bioskop yang berada tidak jauh dari tempat tuannya berdiri dengan keadaan kelelahan. Bukan kelelahan fisik tapi mental. Bisa dibilang, ia adalah tipe perasa seperti Mihai sehingga emosinya benar-benar diaduk-aduk hingga ia sedikit frutasi setelah menonton ketiga film itu.     

"Ini, minum." Ecatarina yang masih bisa senyam-senyum itu mengulurkan sebotol air mineral dingin seraya duduk di samping Vasile.     

"Kau ini benar-benar tidak punya hati," gerutu Vasile. Ia heran bagaimana Ecatarina bisa punya hati sebaja itu hingga tidak menangis melihat betapa menyedihkannya alur cerita film tadi.     

"Ini namanya orang dewasa, Vasile," ujar Ecatarina cuek. Matanya sudah terfokus pada Tuan Luca dan Mihai yang sedang membicarakan sesuatu.     

"Aku lebih tua darimu!" protes Vasile tapi Ecatarina tidak lagi menghiraukannya.     

Tiba-tiba, mata Ecatarina sedikit terbelalak.     

"Ada apa?"     

"Tuan … tersenyum?"     

Vasile buru-buru mengikuti arah pandang Ecatarina dan langsung terbelalak tidak percaya dengan apa yang memasuki pandangannya.     

Walaupun sangat-sangat tipis, Luca benar-benar tersenyum. Bagi mereka yang tidak biasa bersama Luca, mungkin mereka akan bilang Vasile dan Ecatarina sedang berhalusinasi. Namun, bagi keduanya yang sudah begitu lama selalu bersama dengan sang tuan, perubahan itu terlihat sangat jelas. Sudut bibir Luca naik sedikit dari biasanya.     

Mereka tidak bisa mendengar percakapan keduanya dengan jelas, tapi apapun itu, Tuan Luca benar-benar mengalami kemajuan pesat sejak bertemu dengan Mihai. Dari merasa kesal hingga tersenyum. Apa lagi kejutan yang akan tuan berikan kepada mereka? Keduanya tidak sabar untuk itu.     

Walaupun begitu, sepertinya tuan mereka sendiri tidak menyadari perubahan tersebut.     

"Ah … Mihai pergi. Sepertinya ke toilet," gumam Ecatarina membuat Vasile mengikuti gerak gerik Mihai.     

Tiba-tiba, matanya menangkap dua orang yang terlihat aneh berjalan menuju arah yang sama dengan Mihai. Secara gerak-gerik, mereka terlihat biasa. Tapi, pandangan mata kedua orang itu membuat Vasile memiliki firasat buruk.     

Ecatarina juga menyadarinya.     

"Ayo, ki—"     

"Tunggu, Vasile. Sepertinya, Tuan juga menyadarinya." Ecatarina menahan Vasile dengan tangannya.     

Sesuai dengan yang dikatakan Ecatarina, Luca sudah ikut berjalan menuju arah toilet.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.