This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Perubahan



Perubahan

0Luca dan Mihai berlari kecil menuju teras kediaman yang memiliki kanopi untuk berteduh. Tidak mereka sangka hujan akan tiba-tiba turun padahal selama berada di pantai, langit begitu cerah. Untungnya, mereka sudah berada di halaman depan kediaman ketika hujan ini mulai mengguyur tanah.     
0

Seperti menyadari kepulangan mereka, pintu kediaman terbuka dan Ecatarina serta kedua anak kembarnya keluar dengan beberapa buah handuk kering.     

"Selamat pulang kembali, Tuan, Mihai, dan Tuan Muda. Ayo masuk dan keringkan badan kalian agar tidak masuk angin," ujar Ecatarina seraya membungkuk hormat.     

Kedua kembar itu segera menyodorkan handuk, masing-masing satu kepada mereka.     

"Jangan sampai masuk angin, Mihai!" seru Daniel ketika ia sampai di depan Mihai.     

"Kami tidak mau mengurusmu yang sakit, menyusahkan," tambah Daniela lalu keduanya terkikik-kikik sendiri meninggalkan Mihai yang tidak paham apa yang lucu dari perkataan mereka.     

Namun, karena keduanya tertawa seperti sedang mengejek, Mihai tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa jengkel. "Kalian!"     

Melihat Mihai marah dan ingin menangkap mereka, keduanya berlari menjauh sambil berteriak ketakutan. Kontras dengan itu, senyum riang terlukis di wajah mereka.     

"Ah, bocah! Jangan lari!" Mihai langsung mengejar mereka sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Tunggu!"     

"Da!" Liviu yang masih berada di dalam pelukan Luca – sedang dikeringkan dengan handuk oleh Luca – segera mengeluarkan sayapnya dan mengejar Mihai yang semakin menjauh.     

Liviu sudah cukup kering jadi Luca tidak menghentikannya. Ia menatap Mihai yang seperti anak kecil, berteriak-teriak dan bermain kejar-kejaran dengan dua anak kecil itu.     

Biasanya Luca akan jengkel dengan suara ribut ini. Namun, hari ini, ia tenang-tenang saja dan bahkan berpikir bahwa keadaan ricuh seperti ini tidaklah buruk.     

"Tuan juga masuklah. Nanti masuk angin." Ucapan Ecatarina menyadarkan Luca dari lamunannya.     

Tanpa Luca sadari, ia telah menatap Mihai lekat-lekat dan mengikuti seluruh pergerakannya. "Baiklah," gumamnya seraya berjalan masuk. Ketika ia bertemu pandang dengan Ecatarina, ternyata wanita itu sudah menatapinya dari tadi dengan senyum aneh di wajahnya.     

"Ada apa?"     

"Tidak ada," jawab Ecatarina cepat. Namun, ia masih terus menatap Luca dengan senyum yang sama membuat Luca sedikit tidak nyaman.     

"KALIAN JANGAN RIBUT DI DEKAT MEJA MAKAN! KALAU BENERAN TUMPAH MAKANANNYA BAGAIMANA, HAH?!" bentakan Vasile yang menggelegar langsung mendiamkan suara teriakan dan gerakan lari bocah-bocah itu.     

'Oh … paman kehilangan kesabarannya. Ini kejadian langka….'     

'Vasile sampai marah begini. Hmm … langka sekali....'     

Batin Ecatarina dan Luca.     

'Maaf...."     

"Maaf, Vasile…."     

"Maaf…."     

"Da…."     

Tiga bocah berlutut di sudut ruang makan dan seorang bayi berlutut di atas lutut papanya langsung memasuki pandangan ketika Luca sampai di ruang makan. Keempatnya tertunduk menyesal sementara Vasile sudah berceramah panjang lebar di depan mereka mengenai alangkah baiknya mereka bersikap lebih dewasa dan tidak mengganggu pekerjaan orang lain dan bla bla bla … terlalu panjang hingga Luca yang tidak mendapat ceramah itu pun merasa telinganya panas hanya dalam lima menit.     

"Paman, sudah. Berhentilah. Jika Paman terus mengomel, makan malam akan tertunda," bujuk Luca.     

"Ah! Hampir saja aku lupa! Maaf, Tuan!" Vasile langsung melupakan segala kekesalannya dan kembali ke dapur untuk membantu Albert dan Lonel.     

Keempat yang berlutut langsung menghela napas lega.     

Daniel dan Daniela yang sudah lama tidak melihat wajah seram Vasile langsung berlari menuju Ecatarina dan memeluk lutut mama mereka itu. "Mama!"     

Ecatarina bukanlah tipe pemanja. Ia tahu kedua anaknya yang salah. "Makanya jangan nakal!" tegurnya. Namun, nada bicaranya lembut karena ia tidak sampai hati untuk membentak mereka, melihat kedua anaknya itu benar-benar ketakutan.     

Oleh karena kedua anaknya masih sedikit gemetaran, ia mengelus kepala keduanya dengan lembut sambil menghibur mereka sekaligus menasihati mereka untuk tidak berbuat nakal lagi – terutama saat Vasile ada di sana.     

Melihat itu, Luca mengarahkan kembali pandangannya pada Mihai dan Liviu. Keduanya masih berlutut dalam diam.     

'Apa dia ketakutan juga?'     

Sebenarnya tidak. Mihai bukan tipe yang akan ketakutan hanya karena dimarahi oleh Vasile. Dibandingkan Vasile, Papanya masih berkali-kali lipat lebih seram dan lebih sadis. Dengan kesadisan itu saja, Mihai masih belum jera.     

Hanya saja, ia sudah lama berlutut seperti ini jadi sekarang kakinya keram.     

Sementara itu, Liviu hanya menunggu. Karena papanya masih berlutut, ia kira ia belum boleh bangun juga. Lagi pula, ia tidak paham dengan apa yang membuat Vasile marah karena perkataannya terlalu cepat. Liviu tidak bisa menangkap satu pun yang pria itu bicarakan.     

"?!" Mihai yang masih berusaha menggerakkan kakinya secara pelan langsung mematung di tempat. Matanya terbelalak ketika merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pangkal kepalanya dan mengelusnya dengan lembut.     

Liviu juga merasakan hal yang sama. "Da?"     

Keduanya mendongak dan langsung bertemu pandang dengan Luca. Ternyata pria itu yang sedang mengelus kepalanya, tapi….     

'Mengapa dia mengelus kepalaku?' Mihai mengerjapkan matanya dua kali, tidak paham apa yang dipikirkan Luca.     

Sementara, Luca masih mengira Mihai ketakutan dan berusaha menghiburnya dengan mengikuti contoh dari Ecatarina. Ia tidak menyadari bahwa ia telah salah paham.     

Mihai ingin menepis tangan itu dan bertanya tapi elusan itu ternyata memberikan rasa yang begitu nyaman. Padahal tangan Luca itu bersuhu dingin tapi Mihai malah merasakan kehangatan menjalar dari pangkal kepala hingga ke bagian tubuhnya.     

Liviu juga sangat menyukai elusan itu dan ber-da ria kepada Luca.     

Ketiganya tidak menyadari bahwa suasana ruangan sudah berubah. Seluruh makanan sudah terletak rapi di atas meja dan para pelayan yang telah menyelesaikan pekerjaan hanya berdiri diam sambil menonton kehangatan ini dengan senyum penuh arti di wajah.     

Mereka ingin membiarkan ketiganya begitu saja tapi jika mereka melakukan itu, mungkin Luca akan mengelus kepala Mihai dan Liviu hingga tengah malam dan pada saat itu, makanan pun sudah dingin dan mereka akan kelaparan. Jadi, dengan berat hati, Ecatarina menginterupsi mereka.     

"Ehem!" Ecatarian berdehem kecil untuk mengambil perhatian ketiganya.     

"Makan malam sudah siap," lanjutnya seraya menunjuk meja makan.     

Luca melihat meja sekilas lalu mengangguk. "Ayo, makan," ujarnya seraya menegapkan tubuhnya kembali. Tangannya terulur ke arah Mihai.     

Mihai tanpa pikir panjang menerima tangan itu dan berusaha bangun, melupakan kakinya yang masih keram.     

"Aduh! Kakiku!"     

"Ada apa?"     

"Kerammm!!" Kaki Mihai yang sudah setengah berdiri terlipat dengan bentuk yang aneh. Ia tidak sanggup menumpu tubuhnya dengan telapak kakinya jadi ia harus menopang tubuhnya pada Luca. Satu tangannya masih memeluk Liviu dengan erat sementara satu tangannya lagi mencengkeram lengan Luca dengan kuat agar ia tidak kembali jatuh.     

Luca pun segera membantu menopang tubuh mihai dengan kedua tangan kokohnya. Ia kemudian membantu Mihai bergerak sedikit demi sedikit mendekati kursi dan mendudukkannya di sana. "Julurkan kakimu. Nanti, keramnya akan hilang."     

Mihai mengangguk dan melakukan sesuai yang disarankan Luca.     

Perhatian kecil seperti ini saja cukup membuat para pelayan terharu. 'Tuan … akhirnya kau….' Beberapa dari mereka yang tidak dapat menahan air mata haru harus membalikkan badan dan mencubit pangkal hidung mereka.     

Ketika Toma yang ingin mengambil makan malamnya – biasanya ia datang ke dapur di jam makan malam dan kembali ke kamar bersama makan malamnya itu – sampai di dapur, ia mengernyit jijik melihat ekspresi para pelayan yang aneh.     

'Apa yang sedang terjadi? mengapa ekspresi mereka begitu lebay?'     

Di sisi lain, pasangan yang sedang menjadi pusat perhatian itu tidak menyadari sama sekali keanehan yang ada. Keduanya terlalu terfokus pada satu sama lain hingga Liviu bahkan menggembungkan pipinya dengan kesal karena merasa tidak diperhatikan.     

Ketika Mihai menyadarinya, sudah terlambat. Liviu sudah ngambek dan Mihai harus menghabiskan sepanjang waktu makan malam itu hanya untuk membujuk putra kecilnya untuk makan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.