This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Ide Luca



Ide Luca

0Beberapa saat yang lalu, di kediaman….     
0

"Kalau begitu kami pergi dulu," ujar Luca seraya menarik lembut lengan Mihai agar pria harimau itu mengikutinya.     

Mereka sekarang sedang berada di pintu utama kediaman yang terbuka lebar, mengganti sandal indoor dengan sepatu outdoor, bersiap-siap untuk keluar.     

Di belakang mereka, berdiri Ecatarina beserta kedua anak kembarnya. Di dalam lengan wanita itu, terdapat Liviu yang masih tertidur pulas akibat obat yang diberikan Albert.     

"Tolong jaga Livi, Ecatarina," pesan Mihai seraya memberikan kecupan di dahi putranya. Kemudian, ia mengikuti Luca berjalan keluar.     

Sepeninggal Luca dan Mihai, senyum di wajah Ecatarina luntur, tergantikan dengan helaan napas panjang. Ia geram melihat kedua orang itu.     

Ingat rencananya untuk meminta Mihai bekerja sama dengan mereka? Ecatarina memutuskan untuk meminta Mihai membuat Luca jatuh cinta kepadanya dan itu ia sampaikan kepada Mihai kemarin subuh ketika Mihai datang untuk meminta kantung kecil.     

Jawabannya sungguh tidak memuaskan Ecatarina.     

["Aku tidak bisa. Aku sudah berjanji untuk tidak jatuh cinta kepadanya. Aku tidak mau dia berubah dingin lagi kalau aku berusaha membuatnya jatuh cinta!"]     

Itulah jawaban Mihai yang disampaikan dengan sangat terburu-buru. Wajahnya merah padam. Ia terlihat seperti pelaku yang tertangkap basah oleh polisi dan sedang berusaha menutupi perbuatannya.     

Dalam sekejap, Ecatarina menyadari bahwa Mihai memiliki perasaan terhadap Luca.     

Menyadari hal ini membuat Ecatarina semakin geram dan frustasi. Padahal keduanya memiliki perasaan yang sama terhadap satu sama lain – setidaknya begitulah Ecatarina melihatnya. Jadi, apa gunanya menepati janji itu?!     

Jika begini terus, tidak akan ada kemajuan yang bakal terjadi!     

Sepertinya, kunci yang paling penting untuk sekarang adalah cara mengembalikan perasaan Tuannya.     

Namun, mereka tidak tahu cara mencari 'pak tua' yang mengambil perasaan tuan mereka.     

Ecatarina segera menggeleng kuat.     

'Tidak! Tuan telah mengorbankan terlalu banyak untuk kebahagiaan kaum ini. Sekarang, di saat Tuan akhirnya bisa menemukan kebahagiaannya sendiri, kami harus mencari cara, apa pun itu!'     

"Ela! El! Ayo kita bahas lagi tentang Tuan dan Mihai bersama dengan Albert dan Lonel."     

"Baik, Mama!"     

Mereka segera melesat ke dapur….     

*****     

"Kita mau ke mana?"     

Mihai menatap punggung Luca yang berjalan di depannya dengan penuh tanda tanya. Luca, masih sambil menarik lengan Mihai dengan lembut, berjalan menaiki tanjakan bukit yang berada di samping kediaman besar miliknya.     

Mereka sudah berjalan selama beberapa menit, tapi tanjakan itu masih tidak memperlihatkan ujungnya.     

"Sebentar lagi," ujar Luca singkat, tidak memiliki keinginan untuk menjelaskan lebih dari itu.     

Luca mempercepat langkah kakinya seraya menguak dedaunan yang menghalangi pandangan mereka. Setelah memastikan Mihai telah melewati dedaunan itu, ia baru melepaskan tangannya, membiarkan dedaunan itu kembali ke posisi semula.     

Setelah menguak dedaunan untuk beberapa kali, akhirnya, jalanan yang menanjak itu kembali rata. Cahaya-cahaya yang dari tadi masuk hanya melalui sela-sela kanopi lebat juga menyinari seluruh tempat itu.     

Mihai terkesiap.     

Di hadapannya sekarang, terdapat hamparan taman bunga. Sebagian bunganya mulai bermekaran – sebagiannya lagi masih menunggu di dalam kuncup hijaunya – dan kupu-kupu serta lebah berterbangan di atas kelopak warna-warni itu. angin sejuk musim semi berhembus lembut di sekitar taman itu, memainkan setiap tangkai bunga yang tertanam di sana memperlihatkan suasana yang ceria.     

"Wuahh! Aku baru tahu di sini ada taman bunga seluas ini!" Mihai meloncat riang.     

Area half-beast di mana Mihai tinggal dipenuhi dengan ladang sayur. Tidak ada taman bunga yang indah seperti ini.     

Rasanya, Mihai sekarang sedang berada di dalam film-film drama romantis yang biasa ia lihat di TV, membuat jantungnya tanpa sadar berdegup lebih kencang.     

Luca menatap Mihai yang mulai menjelajahi taman bunga itu, membungkuk dan menatapi dengan mata berbinar satu per satu bunga itu bagaikan semuanya adalah barang langka. Mata merah gelapnya segera melembut.     

"Apakah ini membuat emosimu menjadi tenang dan stabil?"     

Mihai mendongak dan mendapati Luca telah berdiri tepat di sampingnya.     

"Eh? emosiku?" Mihai merenung sejenak. Memang suasana hatinya sangat baik sekarang jadi ia mengangguk sebagai jawaban.     

"Baguslah," ujar Luca seraya menarik lengan Mihai. Pria itu menuntun Mihai ke bagian dalam taman itu dan mendudukkan Mihai pada tanah berumput yang berada di tengah-tengah taman itu – satu-satunya tempat yang tidak ditumbuhi bunga. Luca ikut duduk di sampingnya.     

"Apa maksudmu baguslah?"     

"Baguslah emosimu bisa menjadi stabil ketika melihat ini," jelas Luca tapi Mihai masih tidak paham.     

Luca tahu Mihai masih kebingungan jadi ia kembali berucap, "Ingat pembicaraan kita kemarin malam?"     

Mihai berpikir sejenak, "Maksudmu, mengenai energi di dalam diriku itu?"     

Luca mengangguk. "Aku menduga energi itu akan kehilangan kendalinya ketika emosimu tidak terkendali juga. Jadi, kau harus belajar untuk mengendalikan emosimu."     

Mihai manggut-manggut tapi masih bingung. "Apa hubungannya dengan taman bunga?"     

"Itu…." Luca menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Aku ingat dulu, sebelum perasaanku hilang, aku selalu ingin bersatu dengan alam di saat emosiku meledak-ledak. Jadi, aku pergi ke hutan, atau bukit, atau apa pun yang penuh dengan pepohonan untuk menenangkan diri. setiap kali melihat alam sunyi seperti ini, aku bisa kembali tenang. Jadi, aku pikir, mungkin kau bisa belajar mengendalikan emosimu dengan melihat pemandangan alam seperti ini."     

Luca terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Baguslah ternyata kau bisa menenangkan emosimu seperti yang aku lakukan dulu."     

Mihai tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak menyangka Luca akan memikirkan cara untuk membantunya seperti ini.     

Jantungnya melonjak kuat dan wajahnya memerah. Ia sangat bahagia dengan perhatian dari Luca walaupun hal itu bukan karena pria ini ingin membalas rasa cintanya.     

"Begitu," gumam Mihai pelan setelah beberapa saat. Matanya menyusuri sekelilingnya dan memang benar, pemandangan alam yang indah ini, ditambah dengan angin sejuk dan segar membuat Mihai semakin rileks.     

'Hm? Sepertinya aku pernah mendengar seseorang yang juga suka bersatu dengan alam ketika marah atau sedih … tapi … siapa?'     

Mihai merasa ia bisa mengingatnya tapi sangat sulit. Terasa sangat buram.     

"Mihai?"     

"Iya?" Panggilan Luca menarik Mihai kembali ke kenyataan.     

Segala pikirannya langsung buyar.     

"Berikan tanganmu."     

"Eh?"     

Mihai mengerjap dua kali, bingung. Ia menatap Luca sejenak sebelum menurunkan pandangannya di mana tangan Luca telah terjulur ke arahnya.     

"Tanganmu," ulang Luca seraya mendekatkan uluran tangannya.     

Mihai menelan ludah dengan susah payah. Jantungnya berdegup semakin kencang akibat pemikirannya yang mulai liar seperti apakah Luca ingin bergandengan tangan dengannya? Dan sebagainya.     

Ia mengangkat tangannya dan saat itu juga ia menyadari bahwa tangannya bergetar.     

'Uwah! Tenanglah tanganku! Masa hanya karena mau gandengan tangan, aku sudah gugup begini?!'     

Tidak menunggu lebih lama lagi, Luca segera menggenggam tangan Mihai yang masih ragu-ragu untuk menjawab uluran tangan itu. suhu dingin dari tangan Luca segera menjalar ke tubuh Mihai – memberinya rasa panas dingin yang aneh.     

Degupan jantungnya semakin keras dan kepalanya serasa mau meledak oleh lonjakan emosinya itu.     

Luca mengernyit dalam. "Energi di dalam tubuhmu masih kasar. Kau berbohong padaku?" tanyanya bingung. Ia meminta tangan Mihai untuk memastikan energi di dalam tubuh Mihai benar-benar terkontrol dengan baik tapi ketika ia merasakannya, energi itu melonjak ke sana kemari dengan liar.     

"Eh? Tidak. Di sini menenangkan kok!"     

'Yang tidak menenangkan itu adalah genggamanmu!' Teriaknya dalam hati.     

Mihai segera menarik napas dalam-dalam untuk berusaha menenangkan dirinya. Ia tidak boleh membiarkan Luca curiga dan akhirnya menyadari perasaannya. Tidak akan boleh pernah!     

Di sisi lain, Luca mengernyit semakin dalam. 'Apa aku salah menduga?'     

Baru saja Luca ingin menganalisa lagi, tiba-tiba, energi di dalam tubuh Mihai berangsur-angsur kembali tenang.     

"A—Aku tenang kan?" tanya Mihai memaksakan senyum meyakinkan.     

"Iya." Luca mengangguk.     

Mihai langsung lega. Ternyata usahanya berhasil.     

Luca juga puas. Ternyata, idenya berhasil. Ia pun melepaskan genggaman pada tangan Mihai.     

"A—" Mihai menghentikan mulutnya. hampir saja ia mengeluarkan rasa kecewanya.     

"Ada apa?"     

Mihai segera menggeleng kuat. Namun, ekor dan telinganya tertunduk lesu dengan jujur.     

"Katakan saja," ujar Luca lagi tidak percaya.     

Mihai kembali menggeleng. "Benar-benar tidak ada apa-apa! A—aku hanya…." Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan berhenti pada sepasang kupu-kupu yang sedang bermain dengan satu sama lain. "…ha—hanya senang melihat betapa bahagianya mereka!" serunya seraya menunjuk ke arah sepasang kupu-kupu itu.     

Luca mengikuti pandangannya dan seketika itu juga setuju dengan Mihai. "Mereka terlihat senang. Aku tidak tahu apakah aku senang melihat itu tapi itu adalah pemandangan yang tidak buruk."     

Mihai mengangguk kuat sebagai persetujuan.     

"..."     

"..."     

Bunyi dedaunan saling bergesekan satu sama lain memenuhi keheningan mereka. Angin yang berembus memainkan rambut keduanya yang terus menatapi sekeliling mereka dalam diam, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.     

"Luca…," panggil Mihai setelah beberapa menit berlalu.     

"Hm?"     

"Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu…."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.