This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Peony Putih



Peony Putih

0Di saat yang sama, di luar kediaman….     
0

Dari balik jendela di ruang makan, Rachel diam-diam mengintip. Semakin lama ia menonton apa yang terjadi di dalam ruangan itu, semakin banyak bagian kuku jarinya yang tergigit.     

'Mengapa pria hamil itu masih hidup?! bukankah 'dia' bilang akan menanganinya dengan cepat?!'     

Saraf-saraf merah mencuat dari tepi bola matanya yang melotot. Kakinya bergerak cepat naik-turun dengan tidak sabar. Jika ia tidak punya pengontrolan diri yang baik, ia sudah menghambur ke dalam rumah itu dan membunuh half-beast itu dengan satu tusukan dalam.     

Di dalam ruangan, tidak ada yang menyadari keberadaan Rachel. Steve juga terlalu tenggelam dalam pikirannya sehingga walaupun ia dan Jack sudah mengambil jalan memutar ketika menuju ke sini, ia tidak tahu bahwa putri angkatnya itu telah berhasil diam-diam mengikutinya.     

Melihat sirat rasa bersalah dari ayah angkatnya, Rachel semakin tidak puas. 'Apa-apaan half-beast itu?! dia pasti sengaja menarik perhatian Paman dengan membuatnya merasa bersalah! Tidak bisa dibiarkan!'     

Rachel tidak bisa menahan diri lagi dan segera menjauh dari area kediaman. Tangannya memencet tombol ponsel dengan tegas, memulai sebuah sambungan telepon.     

"Ya—"     

"KAU BERBOHONG PADAKU!" teriaknya tanpa basa-basi, melampiaskan seluruh amarahnya yang sudah tertahan dari tadi.     

Orang di balik sambungan itu tidak berbicara untuk sementara waktu, seperti terkejut atau bingung dengan maksud Rachel.     

Rachel tidak menunggu jawaban dan segera menambahkan, "Aku bekerja sama denganmu karena kau bilang kau akan membantuku membuat Paman turun dari jabatannya dan aku bisa memilikinya untuk diriku saja tapi bukannya menjadi milikku, ia bahkan memiliki seseorang yang lebih menyebalkan menempel di sisinya! Kau bilang kau akan mengenyahkan serangga pengganggu itu tapi dia sekarang masih bernapas! Mana tanggung jawabmu?!"     

Mendengar omelan panjang lebar itu, orang tersebut akhirnya paham maksud Rachel. Ia segera menenangkan gadis itu. "Pada akhirnya, Steve akan menjadi milikmu sendiri seutuhnya tapi bersabarlah. Belum waktunya untuk mengenyahkan serangga pengganggu itu. Jika aku mengenyahkannya sekarang, semuanya akan menjadi sia-sia."     

Setelah melampiaskan seluruhnya, kepala Rachel menjadi lebih dingin. Alisnya berkerut dalam.     

"Apa maksudmu?"     

*****     

Steve menyambut pagi hari berikutnya dengan kantung hitam di bawah mata.     

Sebenarnya, kantung mata sudah biasa menghiasi wajahnya setiap pagi karena ia kerap kali begadang melakukan penelitiannya. Namun, untuk hari ini, alasan dari kantung hitamnya berbeda.     

'Hm? Kau bertanya apa itu?'     

Steve enggan mengatakannya.     

"Kau masih memikirkan masalah kemarin?" Tanpa memperhatikan keengganan Steve, Damian yang baru memasuki ruangan segera menusuk Steve dengan tepat sasaran!     

Yap! Steve tidak bisa fokus melakukan penelitiannya dan bahkan terganggu tidurnya oleh rasa bersalah sialannya terhadap Ioan.     

Mendengarnya, Steve langsung cemberut. "Omong kosong!" hardiknya, tidak mau mengakui karena gengsi yang tinggi.     

Damian mengedikkan bahu dengan cuek. Steve dapat menyangkal terus menerus tapi Damian juga berhak untuk tidak menghiraukannya. Lagipula, sudah berapa lama ia bekerja bersama Steve? Jika ini adalah tahun-tahun awal ia menjadi dokter, mungkin ia tidak akan bisa membaca Steve yang hanya selalu berwajah cuek dan datar. Namun, setelah ratusan tahun, ia tentunya sudah cakap dalam membaca perubahan raut wajah yang sangat-sangat-sangat kecil itu.     

Layaknya menambah minyak pada api yang berkobar, Damian meletakkan beberapa carik foto yang ia ambil setelah Steve meninggalkan kediaman kemarin malam.     

"Sepanjang malam kemarin, temperamen Ioan benar-benar buruk. Wajahnya muram dan nafsu makannya sangat kecil. Padahal tubuhnya sudah lemah sampai kemarin aku harus membantunya berjalan kembali ke tempat tidur," ujar Damian sembari membolak-balik dokumen progress penelitian, berpura-pura cuek tapi diam-diam melirik Steve.     

Melihat alis Steve yang berkerut dalam, Damian bersorak 'yes!' di dalam hati. Ia semakin menikmati perannya sebagai mak comblang ini.     

Sejujurnya apa yang Damian katakan terdiri dari setengah fakta dan setengah dusta. Memang Ioan cemberut dan lemas kemarin malam hingga ia harus membantu harimau itu ke dalam kamar. Nafsu makannya juga kecil tapi sebenarnya itu bukan murni karena masalahnya dengan Steve.     

Malam itu, efek dari kehamilannya, morning sickness-nya kembali kambuh jadi ia merasa mual hanya dengan mencium bau makanan. Jadi, wajah Ioan terlihat semakin buruk di foto dan itu membuat rasa bersalah Steve semakin besar.     

Steve tidak menanggapi dan segera mengubah topik. "Bagaimana perkembangannya darimu?"     

Damian masih ingin bermain-main jadi ia pura-pura tidak paham. "Perkembangan Ioan?" godanya.     

Kernyitan Steve semakin dalam. "Aku bilang penelitiannya!" ujarnya, penuh kejengkelan.     

Damian tertawa terbahak-bahak di dalam hati tapi di permukaan, ia hanya tersenyum tipis.     

"Oh, kalau itu…."     

*****     

Ioan kembali mengurung dirinya di dalam perpustakaan kediaman, menenggelamkan dirinya di dalam buku-buku kuno yang selalu berhasil menarik perhatiannya. Namun, hal itu tidak terjadi hari ini.     

"Hah…." Punggungnya terhempas lembut ke sandaran sofa yang empuk. Tangannya memijit bagian di antara kedua alisnya.     

Benaknya terus membawanya kembali ke kejadian kemarin.     

Sejujurnya, Ioan sendiri juga merasa bersalah. Padahal ia sudah tahu bahwa alasan ia bisa hamil ini adalah karena jebakan dari seseorang dan seseorang itu bersembunyi di rumah sakit itu. Seharusnya ia lebih waspada dan memastikannya terlebih dahulu kepada Damian.     

'Aku berharap tidak ada yang mencurigai statusku karena kejadian kemarin…,' harapnya penuh kecemasan.     

Jika sampai semuanya ketahuan, ia berarti mengingkari janjinya dengan Steve. Itu tidak baik dan ia juga mencemaskan masa depan dirinya dan anaknya yang belum lahir ini.     

Entah dibunuh Steve atau dibunuh oleh kaum incubus atau bahkan kaumnya sendiri, masa depannya hampir 99 persen adalah kematian.     

Mengelus perutnya lembut, Ioan bersumpah akan melindungi bayinya ini apapun yang terjadi.     

Akan tetapi, bagaimana dengan Steve?     

'Mengapa aku harus memikirkan masa depan pria brengsek itu?!'     

Walaupun ia merasa bersalah karena hampir mengingkari janjinya tapi itu hanya sebatas karena ia tidak ingin menjadi pria yang tidak bertanggung jawab. Bukan karena mengkhawatirkan Steve!     

"Yap! Benar!" serunya sembari kembali fokus pada buku yang ia baca.     

'Tapi … walaupun dia brengsek, aku masih mengapresiasi dia yang tidak memaksaku menggugurkan anak ini….'     

Tiba-tiba, bel pintu kediaman berbunyi, menyadarkan Ioan dari lamunannya.     

'Siapa?' Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.     

'Sudah sore?' Batinnya heran. Ia tidak menyadari cahaya jingga yang sudah mulai merembes masuk dari kaca jendela perpustakaan.     

Meletakkan kembali bukunya ke atas meja, ia berdiri dengan susah payah lalu berjalan pelan menuju pintu dengan tangan menyangga perut besar dan beratnya itu. Diam-diam, ia melirik jendela yang terletak di samping pintu, memastikan bahwa orang yang memencet bel bukanlah orang yang tidak semestinya mengetahui tentang keberadaannya di sini.     

Ternyata itu adalah kurir yang biasa mengirimkan barang untuknya.     

'Mengapa dia datang lagi hari ini?' Keperluannya sudah dikirim kemarin dan biasanya kurir ini akan datang di pagi hari. Tidak pernah ia datang sesore ini.     

Walaupun heran, Ioan tetap membuka pintu, mengingat bahwa kurir ini sudah bukan lagi orang asing baginya.     

"Selamat sore! Maaf mengganggumu," sapa kurir itu, ramah seperti biasa.     

"Ada sesuatu yang ketinggalan dari pengantaran kemarin?" Ioan berusaha menduga.     

Kurir itu segera menggeleng. "Tidak! Barang ini baru diperintahkan untuk dikirimkan kepada Tuan hari ini," jelasnya dengan senyum lembut penuh arti.     

Ioan merinding melihat ekspresinya, bukan dalam arti ketakutan tapi ada suatu kehangatan yang berlebihan dari pandangan mata kurir itu tapi Ioan tidak bisa menggambarkannya dengan baik.     

"Silahkan!" seru kurir itu dengan riang.     

Sebuket besar bunga putih muncul dari balik punggung sang kurir, menutupi seluruh sosok pria itu.     

Ioan tercengang melihatnya. Otomatis ia menerima buket bunga itu tapi otaknya kosong, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.     

Di sisi lain, senyum hangat kurir itu semakin lebar. "Apakah Tuan sedang bertengkar dengan pasangan Tuan?"     

Ioan berkedip dua kali, bingung mengapa tiba-tiba topiknya berubah. Saking bingungnya, ia hanya bisa mengucapkan "Ha?"     

"Ah maaf! Sepertinya aku sudah melewati batas!" Kurir itu buru-buru membungkuk penuh penyesalan.     

"Ti—tidak! Tidak apa-apa!" Ioan segera menyuruhnya kembali tegak. "Tapi … mengapa kau bertanya seperti itu?"     

"Ah … itu…." Kurir itu melepaskan topinya lalu menggaruk bagian belakang kepalanya dengan malu-malu. "Aku suka membaca buku tentang bunga dan ini adalah peony putih. Bunga ini berarti sebuah permintaan maaf. Jadi aku menduga apakah Tuan sedang bertengkar dengan pengirim bunga ini."     

Ioan tidak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar itu. Ia menyukai bunga tapi tidak memiliki pengetahuan dalam mengenainya. Tidak ia sangka, sebuket bunga putih yang indah ini memiliki makna seperti itu.     

'Berarti ini dari Tuan Steve Pavel?' Pikirnya, entah mengapa suasana hatinya yang berat seketika menjadi ringan. Kecemasan yang terus menghantuinya hilang bagaikan sebuah halusinasi belaka.     

"Begitu," ujarnya setelah beberapa saat hening dengan suara yang sekecil semut.     

Semburat merah muda tipis menghiasi kedua tulang pipinya….     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.