This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Aku Marah



Aku Marah

0["Aku tidak tahu keputusanku akan membuat kalian bersedih … aku telah bertindak gegabah…."     
0

'Siapa?' Ioan mendengar suara lembut seseorang bergema di sekelilingnya tapi pandangannya gelap gulita.     

"Tapi aku berhasil. Akhirnya aku bisa kembali menemaninya...."     

Pipinya diusap ringan. Jari jemari itu hangat sekaligus menyejukkan. Sensasi yang aneh.     

"Maafkan keegoisanku," bisik suara itu sebelum angin kencang menerpa, menyentak Ioan untuk kembali membuka mata.]     

Langit-langit yang asing menyapanya ketika ia terbangun. 'Ini….' Walaupun asing, entah mengapa ada rasa familiar.     

Ingatan kabur kembali terputar di benaknya. Ingatan yang penuh dengan gairah dan erangan memalukan membuat wajahnya memanas. Di dalam ingatan itu, di tengah pandangan kaburnya, ia melihat langit-langit yang sama.     

'Ah … ini gudang halaman belakang.'     

Ioan ingin bangun dari tempat tidur tapi seluruh tubuhnya segera berteriak sakit. "Aa!" Yang paling parah adalah tubuh bagian bawahnya. Ioan tidak tahu sekacau apa bagian itu tapi yang pastinya tidak dalam keadaan yang baik.     

"Io?! Kau sudah bangun." Steve, yang ternyata sedang duduk di tepi tempat tidur, segera mengulurkan tangannya untuk membantu Ioan mengambil posisi duduk.     

Ioan meringis kesakitan beberapa kali sebelum akhirnya berhasil duduk dengan posisi yang baik. Punggungnya tersandar pada bantal yang didirikan pada kepala tempat tidur.     

Melihat keadaan Ioan yang sangat lemah, Steve semakin merasa bersalah. Tangannya yang terkepal erat ingin sekali menampar wajahnya sendiri.     

Tiba-tiba, Ioan menggenggam tangannya dengan lembut. "Jangan berwajah seperti itu," ujarnya menyadarkan Steve kembali.     

Steve tidak tahu bagaimana wajahnya sekarang tapi ia menduga bahwa itu sangatlah buruk. "Aku … maafkan aku. Aku sudah menyakitimu."     

Ioan tersenyum lemah. "Aku sudah mendengarnya berkali-kali. Tidak perlu mengucapkannya lagi. Ini adalah keinginanku juga."     

Kepalan tangan Steve semakin erat. Kukunya menancap kuat hingga telapak tangannya memerah. Amarah tiba-tiba memuncak di dalam dirinya membuat ia memukul permukaan tempat tidur dengan kuat. "Mengapa kau tidak pergi ketika aku memanggilmu pergi?! Mengapa kau seperti ini?! Padahal aku sudah menahan diri—"     

"Itu pertanyaanku!" sela Ioan ikut marah. Tangannya menarik lengan Steve kuat. Pria itu terpaksa condong ke arah Ioan membuat wajah mereka saling berhadapan dalam jarak yang dekat.     

Kedua bola mata jingga itu mengilat sedih dan kesal membuat Steve tertegun.     

"Mengapa kau tidak memberitahuku hal ini lebih cepat?! Mengapa kau harus menanggung efek samping seperti ini sendirian?! Ini juga dikarenakan olehku dan seharusnya aku berhak menanggung bebannya juga!"     

"Tapi kau harus mendapatkan perlakuan seperti ini! Lihat tubuh kau sekarang! Aku … aku tidak ingin melihat kau dalam keadaan seperti ini. Lebih baik aku menahan diri dan menanggungnya seumur hidup!"     

Ioan tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan seluruh tenaga yang ia punya, ia memukul kedua pipi Steve secara bersamaan. "BODOH! AKU TIDAK MAU MELIHAT KAU LUKA-LUKA HANYA KARENA AKU!"     

Keheningan melanda ruangan itu.     

Steve tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia terlalu terkejut melihat Ioan yang seperti ini. Ia tidak pernah membayangkan pria yang selalu cuek itu akan begitu emosional oleh karena melihat penderitaan Steve.     

Ioan juga tidak menyangka akan kehilangan kontrol dirinya. "Ma—maaf," ujarnya setelah beberapa menit berlalu. Ia menarik kembali tangannya yang memerah karena menampar Steve dengan sangat kuat.     

Steve tanpa sadar menangkap kedua tangan itu. Ia tidak tahu mengapa tapi ia sangat ingin menggenggamnya.     

Setelah menyatukan kedua tangan itu dan menyelimutinya dengan kedua tangannya yang lebih lebar. Steve menjatuhkan ciuman lembut di atasnya.     

Ioan tersentak kaget dan refleks menarik tangannya tapi Steve menahannya dengan kuat.     

"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku," bisiknya lembut.     

Jantung Ioan berdesir. Ia tidak pernah melihat Steve yang seperti ini. Wajahnya datar tapi tidak ada jejak dingin yang biasa pria itu perlihatkan.     

"Bu—bukan masalah. Kau sudah mengorbankan dirimu untukku. Aku … aku tidak keberatan untuk memiliki satu anak lagi denganmu jadi…." Semakin Ioan membuka mulutnya, semakin ia tidak tahu omong kosong apa yang ia ucapkan dan akhirnya ia terlalu malu untuk melanjutkan kata-katanya.     

Steve juga tidak sanggup menatap wajah Ioan. Ucapan Ioan terlalu memberinya harapan sehingga ia sedikit takut.     

Selama hubungan intens yang mereka lakukan – mereka menghabiskan lima hari hingga dorongan seksual Steve benar-benar hilang dan selama masa itu, mereka hanya makan pil stamina yang diciptakan khusus oleh Steve untuk membantunya melewati masa lapar – Steve menyadari kebodohannya.     

Selama ini ia mengira dorongan seksualnya adalah akibat dari efek samping yang ia miliki ini tapi ternyata ia sudah terlalu tidak peka terhadap perasaannya sendiri. Entah sejak kapan, ia telah mulai jatuh hati kepada Ioan.     

Walaupun menyadari itu, ia tidak bermaksud menyatakannya karena ia tahu Ioan hanya bersama dengannya demi kedua putra mereka.     

Itulah mengapa kata-kata Ioan akan sangat mudah membuatnya salah paham. Seperti Ioan sebenarnya menyukainya dan ingin memiliki anak dengannya lagi.     

'Bodoh! Kau terlalu pandai berhalusinasi!' Ia tahu itu hanyalah bentuk kebaikan dari Ioan dan ia sangat mengapreasiasi kebaikan hati pria itu.     

Setelah berhasil menekan rasa malunya, Ioan kembali bertanya, "Apakah aku berhasil hamil?" Mendengarkan kata hamil dari mulutnya sendiri kembali memanaskan wajahnya hingga ke telinga.     

Steve juga ikut memerah. "Aku … aku belum mengeceknya." Ia terlalu menyesal dengan perbuatannya sehingga ia takut menemukan Ioan hamil. Rasanya seperti berhasil memanfaatkan Ioan dan itu adalah perasaan yang tidak menyenangkan.     

Namun, ia tidak bisa lari dari hal itu lagi karena Ioan melakukan ini hanya dengan tujuan membantunya keluar dari efek samping.     

"Sebelum mengecek, kita makan dulu. Pil stamina tidak cukup untuk membuat seseorang merasa kenyang."     

*****     

Ioan berhasil hamil anak ketiga.     

Ia bahagia dengan kenyataan ini tapi ia tidak tahu apakah Steve juga memiliki perasaan yang sama. Namun, sejak kehamilannya, Steve kembali mengunjungi kediaman secara rutin. Ia bahkan terkadang memasak dengan Ioan dan sering bermain dengan kedua putranya sambil menemani Ioan. Kediaman itu menjadi ramai oleh gelak tawa. Walaupun cuaca menjadi semakin sejuk karena musim gugur hampir tiba, suasana di dalam kediaman menjadi lebih hangat daripada sebelum-sebelumnya.     

Tidak hanya itu, tidak seperti ketika ia mengandung Viorel, Steve bahkan mulai tidur satu kamar dengannya. Pria itu, yang sangat workaholic dan selalu begadang melakukan penelitiannya itu, benar-benar menyelesaikan pekerjaannya tepat jam 6 malam setiap harinya lalu menemani Ioan dan kedua putranya makan sebelum bersantai beberapa saat dan tidur. Steve tidak pernah absen kecuali ketika ada kesalahan yang terjadi pada penelitiannya dan memaksanya untuk lembur, tapi itu sangat jarang.     

Seperti malam ini, setelah menidurkan Cezar dan Viorel di kamar anak-anak, samping kamar pribadi Ioan, keduanya kembali ke kamar tidur dan bergulung di dalam selimut.     

"Selamat tidur," gumam Ioan dengan semburat merah di wajah. Ia masih tidak terbiasa dengan keberadaan Steve. Untungnya, kamarnya hanya disinari cahaya bulan sehingga tidak begitu terang jadi Steve tidak dapat melihatnya.     

"Selamat tidur," balas Steve lembut, suaranya hampir mendekati berbisik. Kepalanya berposisi di atas kepala Ioan sehingga nafas panasnya menerpa langsung daun telinga Ioan.     

Kedua telinganya bergetar sebelum menekuk ke bawah. Steve menyadari pergerakan kecil itu dan entah mengapa, hatinya menghangat.     

Tanpa mengatakan apa-apa, Steve memasukkan tubuh Ioan yang memunggunginya di dalam pelukan. Ioan tersentak kaget dan refleks meronta.     

Steve sedikit tersakiti oleh respons Ioan tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Tangan kanannya bergerak naik, menepuk lembut kepala Ioan dengan irama pelan yang sama. Tangan lainnya mengelus perut Ioan yang mulai menonjol sedikit.     

Steve dapat merasakan tubuh Ioan yang berangsur-angsur rileks di dalam pelukannya. Melihat itu, Steve mengeratkan pelukannya. Keduanya dapat mendengarkan debaran jantung masing-masing yang sangat cepat membuat wajah keduanya diam-diam semakin memerah.     

Namun, tidak ada yang berani meninggikan harapan mereka untuk mendapatkan balasan dari rasa cinta mereka. Dengan lihai keduanya meyakinkan diri bahwa itu hanyalah respons refleks karena keduanya berada dalam jarak yang dekat.     

Dada Steve terasa sesak tapi ia mengabaikannya.     

"Kau sudah tidur?" Steve bertanya setelah periode hening yang cukup lama.     

Ioan tidak menjawab tapi salah satu daun telinganya kembali berdiri tegak.     

Steve tanpa sadar tersenyum tipis. Sayangnya Ioan, yang sudah cukup lama mendambakan saat-saat dimana Steve tersenyum padanya, malah tidak melihatnya.     

"Besok aku memutuskan untuk libur sebentar. Aku ingin berkunjung ke Kota. Kalian mau ikut? Cezar dan Vio pasti senang untuk mengunjungi kota untuk pertama kalinya."     

Ioan masih memunggungi Steve dalam diam. Steve tidak mendesaknya karena ia tahu pria itu sedang berpikir.     

Setelah beberapa saat, Ioan akhirnya mengangguk. "Mereka pasti akan senang."     

Steve merasa bisa melihat senyum lebar di wajah Ioan saat mengucapkannya. Sudut bibir Steve terangkat semakin tinggi.     

"Ya," gumamnya singkat. Ia bergerak semakin dekat hingga punggung Ioan menempel erat pada dada Steve.     

Steve mendaratkan kecupan pada rambut Ioan lalu turun pada tengkuknya. Keduanya tidak lagi berbicara dan memejamkan mata erat.     

Hanya suara debaran jantung yang menemani mereka hingga keduanya menyelam ke dalam alam mimpi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.