Tante Seksi Itu Istriku

Penolakan Usman



Penolakan Usman

1Walaupun tidak berharap dihadapkan situasi yang tidak diinginkan, Usman harus tetap menghadapinya. Ia sudah datang ke rumah pamannya sebelum jam dua belas siang. Sementara Bahar dan Sarini datang dengan waktu yang lebih lama. Keduanya tidak perlu terburu-buru dan dengan percaya dirinya, mereka turun dari mobil. Pakaian mereka pun cukup rapi.      1

"Apa si Usman itu sudah pulang?" tanya Bahar sebelum masuk ke dalam rumah. Ia sudah berada di depan pintu masuk yang terbuka. Menunggu yang punya rumah keluar dari dalam.     

Tak berselang lama, Warni keluar dengan tergopoh-gopoh. Ia segera menyambut kedatangan Bahar yang terdengar suara mobil dari luar. Warni mempersilahkan Bahar untuk masuk ke dalam rumah itu. Di dalam sudah ada Usman dan Kardi yang tengah duduk di sofa. Kedatangan Bahar dan Sarini adalah sebuah hal yang tidak diharapkan oleh Usman. Tetapi ia juga tidak akan bersikap kurang ajar terhadap orang yang lebih tua. Namun ia akan tetap menolak pernikahannya dengan perempuan yang hendak dijodohkan dengannya.     

"Pak, itu beneran Usman, kan? Lho kok semakin ganteng saja, yah? Dulu kan dia orangnya jelek banget, deh," ungkap Sarini melihat Usman dengan mulut yang melongo. Ia tidak menyangka lelaki yang hendak dijodohkan dengannya ternyata sudah tidak burik seperti dulu. Pantas jika ia jadikan sebagai suami.     

Di sini Usman yang tidak suka dengan hanya melihat saja. Wajah Sarini memang sudah seperti itu dari sejak dulu. Bukan Usman ingin menghina fisik, tapi kenyataannya telah jelas di depan mata. Dulu, walaupun masih jelek, tetap saja wajah Usman masih diterima oleh orang lain. Biarpun dibilang jelek pun Usman tetap ada yang mau. Tentu tidak sejelek itu, wajah Usman. Itu karena pekerjaannya yang membuat dirinya memiliki wajah yang lebih gelap dan kusam. Ada jerawat tetapi tidak banyak. Orang-orang desa juga mungkin akan mau menikah dengannya jika kaya. Tapi bahkan untuk Sarini yang merupakan anak seorang juragan cendol, bahkan orang miskin sekalipun tidak mau menikahkan anak lelakinya pada Sarini.     

Hanya Kardi dan Warni saja yang tega melakukan itu pada Usman. Walaupun Usman telah memberikan semua hasil kerjanya pada mereka, tetap saja Usman masih harus menikah dengan Sarini. Ini adalah permintaan Kardi dan Warni sendiri yang sudah tidak ingin hidup susah. Tentu mereka hanya memiliki Usman, keponakannya yang juga tidak mungkin menemukan perempuan yang mau dengannya.     

"Oh, kamu yang namanya Usman itu? Baiklah ... kalau begitu, tidak perlu lama-lama! Saya akan umumkan pernikahan kalian dua minggu dari sekarang. Dan untuk maskawin, saya mau tanah yang ada di pinggir jalan itu!" Lalu Bahar duduk di sofa dengan tatapan menghina.     

"Bapak ..." lirih Sarini yang juga duduk di samping Bahar. Ia bergelayut manja pada Bahar yang terlihat garang.     

"Anak goblog, diam!" bentak Bahar pada putrinya. Ia memang terlihat kejam pada semua orang termasuk anaknya sendiri. "Kamu duduk jangan dekat-dekat! Di sana kan ada tempat kosong."     

Bahar tidak akan mau menerima Usman begitu saja. Selain ia harus menikahkan anaknya, ia juga harus mendapatkan jaminannya. Jelas itu ia lakukan juga tidak ingin merugi karena hanya menikahkan anaknya dengan orang miskin.     

Kardi dan Warni seakan tidak percaya, orang paling kaya di desanya itu malah membuat pikiran mereka kalut. Tanah milik Kardi adalah tanah warisan yang merupakan hak dari ayahnya Usman. Tetapi karena sudah meninggal di dalam penjara, maka seharusnya itu dilimpahkan pada Usman.     

"Ke-ke-napa harus begitu, Gan? Apa harus menyerahkan kebun itu? Tidaklah, Juragan! Itu tidak mungkin!" protes Kardi tidak terima. Ia merasa tertekan karena melihat anak buah Bahar yang terlihat bengis dan kekar itu menunjukkan ototnya.     

"Hei, Kardi! Saya tahu, tanah itu milik bapaknya Usman. Dan itu sudah menjadi miliknya. Dan kamu mau mengambil harta warisan yang bukan hak kamu? Mana mungkin saya mau menerima menantu tanpa mahar, kan? Sangat bodoh, kamu Kardi! Semua orang juga tahu, mahar atau maskawin yang menyiapkan adalah calon pengantin laki! Masa saya yang harus memberikan maskawin? Tidak tahu malu! Lagian kan itu anak saya yang pegang. Dan Usman juga bisa pakai untuk usaha jika anakku setuju!"     

Ucapan Bahar memang ada benarnya. Memang seharusnya pihak dari lelaki yang memberikan mahar itu. Namun Kardi enggan untuk melepas tanah itu untuk menjadi mahar pernikahan Usman dengan Sarini. Melihat perempuan berusia tiga puluh tahun lebih itu, membuat Kardi mau muntah. Ia bahkan tidak rela jika Usman menikah dengan Sarini. Tapi ia tidak ingin menjadi berbuat kesalahan pada Bahar. Ia tidak takut pada Bahar tetapi lebih takut melihat Sarini yang seperti alien menurutnya. Benar yang pernah dikatakan oleh Usman beberapa tahun lalu, Usman juga pernah mengatakan mirip alien untuk Sarini.     

"Maaf, Pak Bahar. Saya tidak bisa menikah dengan putri Bapak," ungkap Usman dengan pelan. Ia sudah memiliki seorang istri yang begitu cantik. Tentu siapa saja orangnya, tidak akan mau berpaling hati dari wanita seperti Farisha itu.     

"Apa yang kamu katakan? Kenapa kamu tiba-tiba mengatakan itu?" Bahar berkata lirih pada Usman. Lalu ia dengan keras, membentak, "Apakah kamu menolak pernikahan ini, hah? Dasar orang miskin tidak tahu diuntung!"     

Walaupun Bahar sudah naik pitam, tetap tidak bisa merubah pendirian Usman. Ia tetap tidak akan mau menikah dengan Sarini. Itu semua hanya akan menjadi perusak hubungannya dengan sang isteri, jika perjodohan itu tetap dilanjutkan. Usman harus berkata jujur atas ketidakmauamnya itu.     

"Maafkan saya, Pak Bahar. Saya sudah punya istri dan seorang anak. Jadi saya tidak akan menikah untuk ke dua kalinya. Mohon Bapak mengerti, saya tidak mungkin menyakiti hati putri Bapak." Masih dengan rasa takut yang muncul, membuat Usman agak ragu jika meneruskan kalimatnya.     

"Kurang ajar kamu, Usman! Apa kamu tidak mau mengerti, saya sudah menunggu kamu dan sudah memberikan uang banyak pada paman kamu si Kardi? Saya sudah menolong dia dari kecelakaan hanya demi menikahkanmu dengan putriku yang jelek ini! Sungguh tidak tahu malu!"     

Sarini juga kaget dengan sikap Usman yang mulai berani tidak seperti dulu. Yang paling ia kagetkan adalah dengan perkataan Usman yang sudah menikah. Tentu ia tidak akan terima istri dan anak dari Usman. Ia tidak akan membiarkan lelaki yang akan dinikahkan dengannya menjadi milik orang lain.     

"Hei ... Bocah goblok! Apa kamu masih mau menikah dengan anak tidak tahu diuntung itu? Bapak mau menikahkan kalian jika Usman menceraikan istrinya dan tinggalkan anaknya!" Bahar sudah tidak mau lagi berdebat. Ia sudah merasa sangat kesal dengan semua itu.     

Sementara di luar, seorang wanita dan seorang pria paruh baya keluar dari mobil. Mereka adalah Menik dan juga Rinto. Niat kedatangan mereka adalah menuju ke rumah Kardi yang masih terlihat sama, seperti dua puluh lebih yang lalu.     

"Apakah ini rumah yang kita tuju? Tapi mengapa di dalam terdengar sangat ribut?" ungkap Rinto sambil menuntun istrinya untuk datang bertamu.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.