Tante Seksi Itu Istriku

Makan Di Rumah Karyan



Makan Di Rumah Karyan

0Tidak ada yang ingin ditanyakan oleh Karyan terhadap Usman. Ini karena ia merasa memang pemuda itu belum memiliki istri. Meski begitu, ia hanya diam setelah mendapatkan informasi dari cucu perempuannya. Ia menatap Usman yang terlihat mematung di tempat duduknya.     1

"Oh iya, kamu minum dulu kopinya, Man! Kamu tidak perlu memikirkan lagi. Kita akan menemui orang yang ingin menemuimu, besok." Karyan mempersilahkan Usman untuk meminum kopi di meja. Ia juga mengambil kopi yang sudah disediakan oleh cucunya dan meminumnya.     

"Oh, iya Pak. Kalau begitu, saya minum sekarang, yah," balas Usman. Ia melihat ke arah Karyan dan istrinya sambil menundukkan kepala. Ia melirik sedikit ke arah perempuan yang bernama Clarissa itu. Tidak tahu mengapa perempuan itu sudah membencinya dari awal bertemu, karena apa. Tapi tentu saja, masalahnya tidak ada pada dirinya sendiri.     

Hari ini Usman bersama keluarga itu, mengobrol tentang apa saja tentang rumah yang dimiliki Karyan. Juga tidak lupa Usman yang telah menceritakan dari mana dia berasal. Menceritakan dirinya yang tinggal bersama paman dan bibinya di desa. Tentu ia tidak menceritakan tentang keburukan sang paman yang semena-mena padanya. Ia juga menceritakan bagaimana bertemu dengan Farisha dan diangkat menjadi karyawan. Baru sampai disitu, cerita pun diakhiri karena istri Karyan mengajak makan.     

Hari itu mereka seharian berada di rumah itu dengan saling bercanda dan saling bersenda gurau. Siang harinya, setelah makan siang, Karyan membawa jalan-jalan istri serta sang cucu. Tentu saja Usman turut dalam perjalanan itu. Hingga hari mulai gelap dan akhirnya mereka kembali ke rumah. Setelahnya, Karyan mengajak Usman untuk menginap di sana.     

"Kenapa dia harus menginap di sini, sih? Tidurnya juga, kenapa di tempat tidur yang sering dipake sama ibu, sih? Dasar anak aneh. Sudah dapat istri cantik begitu, masih saja keluyuran. Mukanya juga jelek amat," keluh Clarissa di kamarnya. Besok ia harus bekerja kembali karena ia memiliki jatah libur setiap sebulan sekali. Biasanya ia sudah menyelesaikan pekerjaan untuk esok harinya. Sementara yang lain, akan diurus asisten rumah tangga yang juga bekerja di tempat yang sama.     

Kekesalan Clarissa, tidak serta merta ia tunjukan langsung kepada Usman. Karena masih menghormati kakeknya yang selalu baik padanya. Ia juga mengingat kejadian, di saat Usman bersama mereka dalam satu mobil. Walau itu adalah mobil milik bos sang kakek, ia tahu kakeknya mengisi bensin sendiri jika dibawa pulang ke rumah. Apalagi ia pernah diceritakan kalau bos dari kakeknya memang orang baik.     

Keesokan harinya, Clarissa mandi pagi-pagi sekali dan segera menuju ke tempatnya bekerja. Setelah berganti pakaian, tanpa makan dahulu, ia mengambil kunci dan tancap gas motornya. Apalagi ia tidak ingin mengantar Usman ke swalayan milik Farisha. Karena ia yakin, Usman hanya menjadi masalah baginya. Nanti ia juga akan malu sendiri ketika membonceng pemuda itu. Padahal dirinya harus bekerja secepatnya.     

"Daripada disiruh yang tidak-tidak, lebih baik kabur saja dari sini. Toh, dia juga tahu ke mana ia harus pergi. Sudah kerja juga, toh. Enak saja, kakek sama nenek kan orangnya baik banget. Pasti dia bakalan menyuruh aku mengantar si anak itu. Walaupun sekarang tampilannya lebih putih daripada dulu. Tapi tetap saja wajahnya enggak banget."     

Dalam perjalanan dengan motornya, Clarissa tidak hentinya berceloteh sendiri. Adapun orang-orang yang melihat, merasa kalau perempuan itu tidak waras. Kebanyakan dari mereka bahkan ada yang mengatai gila, walaupun cantiknya standar.     

***     

Sementara itu, Karyan yang baru selesai mandi, mendengar suara motor. Ia tidak berharap kalau itu adalah motor cucunya atau memang cucunya yang sedang menanakan motor di pagi hari sekali. Ia pun tidak menduga kalau Clarissa telah pergi begitu saja. Ia baru tahu ketika mau makan, ia tidak melihat cucunya itu.     

"Eh, ke mana si Clarissa? Apa dia tidak mau makan dengan kita? Usman, kamu coba lihat di depan! Anak itu tidak biasanya nolak untuk makan!" titah Karyan yang tengah duduk di kursi, depan meja makan.     

"Iya, Pak. Saya lihat dulu, yah," jawab Usman. Ia berdiri lagi dan keluar dari rumah. Di luar rumah, hanya ada mobil saja. Tidak ada siapapun di depan rumah itu. Karena tidak melihat siapapun di luar rumah, ia kembali ke dalam rumah untuk melaporkan.     

Di rumah itu pun Usman membantu bersih-bersih rumah. Walaupun tidak ada yang menyuruhnya, ini karena sudah kebiasaannya untuk bersih-bersih. Selama di rumah besar, tempatnya bekerja, ia sudah hampir setiap hari melakukan pekerjaan itu. Jadi ia bawa kebiasaan ini hingga sampai di rumah orang.     

"Di mana Clarisa, Nak Usman? Kenapa tidak bersama anak itu?" tanya istri Karyan, setelah melihat Usman tidak bersama dengan pemuda itu.     

"Tidak ada siapapun di depan. Motornya juga sudah tidak ada, kok. Apa mungkin sudah pergi dari sini, Pak? Buk?" Usman menjawab pertanyaan, menunggu mereka memberi tanggapan.     

"Yah, mungkin dia sedang sibuk. Dia tidak biasanya pagi-pagi sudah pergi. Kamu duduk saja di sini, makan lebih dahulu. Nanti kita akan antarkan kamu ke swalayan, tempat kamu kerja dulu." Karyan mempesilahkan Usman untuk duduk.     

"Terima kasih, Pak. Tapi apa benar, dia mau menyambutku? Dia yang dulu mengusirku dan aku tidak tahu dia tinggal di mana. Aku tidak tahu jalan di Jakarta juga, Pak." Karena dipersilahkan untuk duduk, Usman pun duduk di kursi. Ia belum berani mengambil piring sebelum tuan rumah yang duluan.     

"Kita biarkan saja Clarissa. Nanti dia juga makan di tempat kerjanya. Ayo, dimakan dulu, Nak! Setelah makan, kan bisa beraktifitas lainnya," tutur wanita yang menjadi istri Karyan itu. Ia mengambil nasi dalam piring dan memberikan pada sang suami. Lalu ia mengambil untuk dirinya sendiri.     

Melihat sepasang suami-istri yang terlihat sangat serasi di usia senja, membuat Usman iri. Berbeda dengannya yang harus menjadi seorang yang gagal dalam pernikahannya. Namun ia tidak bisa berharap sesuatu yang indah itu kembali lagi. Apalagi jika berharap untuk bersama atau bahkan untuk sekedar bertemu dengan sang istri, entah ia masih dianggap sebagai suami atau tidak. Namun ia berharap agar Farisha baik-baik saja di manapun berada. Ada juga Bram yang ia ketahui, selalu mengejar-ngejar Farisha. Dengan tidak adanya Usman, ada kemungkinan bagi pria tampan dan tinggi itu untuk mendapatkan wanita cantik nan seksi itu.     

'Apakah aku harus mengatakan, kalau aku sudah menikah dengan tante Farisha? Tapi aku juga tidak ingin dicap pembohong. Karena tante juga mungkin tidak mengakuiku. Jadi ... ah, kenapa aku harus memikirkan hal yang tidak mungkin itu?' ujar Usman di dalam hati.     

"Apa kamu tidak suka dengan makanannya? Kenapa kamu bengong saja, Usman? Kan kamu juga ikut membantu memasaknya, kan? Laki-laki bisa masak juga harus makan juga, lah." Karyan mengingatkan Usman. Ia menunjuk ke arah nasi dan mengatakan, "Ayo diambil itu nasinya. Nanti kalau tidak mau makan, tidak ku antar kembali."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.