Tante Seksi Itu Istriku

Rumah Lainnya



Rumah Lainnya

2Saat meninggalkan kamar, mereka berpapasan dengan beberapa orang. Melewati koridor yang panjang, di mana orang-orang saling berpapasan tapi tidak saling menyapa. Usman mengikuti ke mana tiga orang yang lebih tua darinya. Dengan membawa satu tas berisi pakaian dan semua uangnya. Dan satu lagi berisi pakaian dan barang milik Menik. Mereka menuju ke mobil yang terparkir di dekat gerbang.      0

"Masukin tasnya ke sini, Man! Nanti beneran kalau ada waktu saya kenalkan ke cucuku," kata Karyan yang membuka bagasi mobil. Setelah melihat tas sudah di dalam, lalu ia menutup kembali dan menuju ke depan.     

Usman duduk di samping sopir. Sementara Menik bersama Rani yang duduk di belakang. Segera setelah semua masuk ke dalam, Karyan memarkir mobilnya lalu meninggalkan rumah sakit.     

"Nah, kamu sudah bisa nyetir mobil atau belum, Dek?" tanya Karyan sambil memegang kendali setir. Lalu menggerakkan tangannya dengan ulet agar bisa menjalankan dengan lancar.     

"Nggak bisa bawa mobil, Pak. Saya berasal dari desa dan tidak pernah belajar nyetir. Lagian nggak ada waktu untuk belajar," balas Usman sambil menundukkan kepala. Lalu ia meneruskan, "Lagian. Sekolah saja hanya lulusan SD. Jadi tidak tahu apapun."     

"Beneran hanya sampai sekolah dasar? Wah, orang tua kamu ngapain aja? Maaf, nih. Bukannya mau apa, yah. Kan bisa orang tua mengusahakan agar anak-anak bisa sekolah. Lagian sekarang ada sekolah gratis. Ada beasiswa juga, kan? Jadi orang tuamu bisa lah. Atau kamu malas sekolah, yah? Pasti menyesal tidak mau sekolah."     

"Aku nggak punya orang tua, Pak. Saya nggak tahu orang tuaku di mana. Tidak tahu wajahnya seperti apa bentuknya. Mungkin mereka sudah meninggal saat aku masih bayi. Ketika ku tanya sama paman dan bibi, mereka malah memukulku. Jadi tidak pernah aku mengungkit itu lagi."     

Mendengar pengakuan Usman, membuat Menik mengingat masa lalunya. Sekarang ia tahu kalau Usman tidak bersama dengan dua orang tuanya. Mengingatkan dia tentang anaknya yang ia tinggal di desa. Anak yang ia kandung selama sembilan bulan dan hanya bersama dalam waktu singkat.     

'Apa yang dikatakan anak itu benar atau hanya kebohongan? Aku sebaiknya berhati-hati dengan anak ini. Walaupun tampak meyakinkan dengan menceritakan masa lalu yang bisa saja membuktikan kalau Usman adalah anakku,' kata Menik di dalam hatinya.     

"Wah, berarti kamu tidak tahu orang tuamu di mana? Dan bagaimana dengan pamanmu? Bukankah dia memiliki kewajiban untuk membiayai sekolah kamu juga?" ujar Karyan. Masih tidak menyangka ada kisah seperti yang dialami Usman. Walaupun banyak di luaran sana, kisah yang menyerupai. Namun malah bertemu dengan salah satunya.     

"Wah, kasihan sekali nasibmu, Man? Seharusnya itu tugas pamanmu. Tapi kamu tenang saja, yah! Nyonya kita orangnya baik pada bawahan. Kamu tidak perlu khawatir kalau ikut dengan nyonya. Iya kan, Nyah?" tanya Rani kepada Menik.     

Tidak disangka, Menik malah menanggapi dengan acuh. Ia melihat ke jendela dan hanya mengeluarkan suara, "Hemm ..." dari mulutnya. Menik tidak tahu apa yang terjadi pada anaknya yang ia tinggal. Bisa saja anak itu akan sama nasibnya dengan Usman. Misteri ini membuat jiwanya terganggu.     

"Enggak. Enggak perlu sekolah lagi. Kalau aku sekolah, kan sudah bukan umurnya dan tidak bisa bekerja. Bukannya kerja malah belajar yang membuat repot," tolak Usman dengan rasa takut. Ia takut akan dimarahi. Apalagi sopir yang ia tolong telah mengatakan dengan tegas. Usman tidak lupa dengan perkataan sopir itu.     

Yang dirasakan Usman dan dikatakan oleh sopir itu sungguh berbeda jauh. Kendati demikian, ia harus tetap menjaga sopan santun. Ia tidak tahu kalau bisa saja mereka sedang mengetes saja. Dengan melewati semua tes, mungkin saja ia bisa bekerja lama dan bisa dipercaya baik oleh Rinto, Menik maupun orang lain.     

"Itu terserah kamu saja! Kalau mau sekolah ya akan saya usahakan. Kalau tidak mau, kerja saja dengan benar! Dan kamu itu adalah anak yang baru dipekerjakan oleh suamiku. Kamu juga yang telah menolongku dari kecelakaan. Jadi kurasa itu sudah setimpal, kan? Ingat, kamu tugasnya hanya bekerja dengan baik." Menik tidak ingin mengingatkan dirinya tentang anaknya yang bernasib sama dengan Usman. Meyakinkan dirinya kalau ia bukanlah anaknya yang telah ia kandung dan ia lahirkan ke dunia.     

"Iya, Bu. Saya akan bekerja dan melakukan apa saja. Yang penting memiliki pekerjaan dan bisa mengumpulkan uang dan tidak akan dipandang remeh sama orang-orang desa lagi."     

Mereka terdiam dengan perkataan Usman. Untuk mencapai itu semua, orang harus bekerja keras untuk menggapainya. Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Asalkan orang itu mau tuk berusaha menggapainya.     

Perjalanan terasa panjang dan hanya suara mesin mobil yang terdengar halus dan suara deru kendaraan lain. Di terik matahari menjadi panas di luaran sana. Meskipun mobil dilengkapi dengan AC, Menik membuka pintu mobilnya. Ia lebih menyukai melihat di luar walaupun keadaannya terlihat tidak enak dipandang mata.     

***     

Setelah menjalani perjalanan yang panjang, tibalah mereka di depan gerbang tinggi. Pintu gerbang segera terbuka dan mobil memasuki rumah besar. Rumah itu tidak jauh berbeda mewahnya dengan rumah orang tua Farisha. Mungkin ada perbedaan tapi itu tidak mengurangi kemewahan masing-masing.     

"Selamat datang di rumah besar ini, Usman! Kamu pasti belum pernah masuk ke dalam rumah yang segede ini, kan?" ujar Karyan dengan nada mengejek. Entah mengejek atau merasa bangga bisa tinggal di rumah besar itu. Walau mereka sudah lama di sana. Mereka yakin akan melihat Usman terkejut.     

Mobil masuk ke dalam dan disambut oleh dengan baik oleh seorang satpam yang menjaga gerbang itu. Karyan membawa mobil yang dikendarai ke depan pintu depan. Ia berhenti lalu keluar dari mobil untuk membuka pintu belakang.     

"Usman, kamu keluarkan tasnya, yah! Dan kamu ikuti si Rani dan antarkan tas itu ke kamar Nyonya Menik. Kamar kamu biar tanya sama Menik saja!" ujar Karyan memberi instruksi. Tugasnya adalah kembali ke kantor untuk menjemput tuannya. Namun karena dari tadi menahan ingin buang air kecil, membuatnya berlari ke garasi. Dari garasi nantinya akan sampai ke dapur. Di dapur sebelahnya ada kamar mandi. Pria itu berlari ke arah sana.     

"Kita langsung ke kamar atau mau ke ruang makan dulu, Nyah?" tanya Rani kepada Menik. Karena tidak ada jawaban, ia pun memutuskan, "Kita ke kamar saja kalau begitu, Nyah. Biar nanti saya bawakan makanan ke kamar."     

"Iya, begitu saja, Ran. Seperti yang kamu katakan. Kepalaku pusing banget ini. Mau istirahat di kamar saja, yah." Menik merangkul pundak Rani. Melirik ke arah Usman sebentar lalu kembali pandangan ke depan untuk masuk ke dalam rumah.     

"Kamu ikuti kami ke kamar, Man. Kamu bisa letakan tas kamu di ruang tengah dulu. Nanti saya tunjukan di mana kamar kamu. Atau kamu tanya saja pada mbak Maemunah. Dia orang lama yang bekerja di sini. Kamu juga harus hormat ke dia karena senior dan cukup galak."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.