Tante Seksi Itu Istriku

Nyonya Yang Baik



Nyonya Yang Baik

2Siapa orang yang tidak marah jika dituduh tanpa ada kesalahan? Siapa orang yang mau mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukan? Ini terjadi pada sang tokoh utama kita, Usman Sayuti. Ia menatap ke arah wanita yang ia perkirakan berusia empat puluh tahunan itu. Seorang yang seenaknya menuduh yang tidak-tidak. Ini bukan masalah nama baik karena tidak diperlukan hal itu. Ia hanya tidak ingin masuk ke penjara dengan alasan konyol. Melibatkan orang tidak bersalah adalah sebuah kesalahan besar.      2

"Kalau tidak ada bukti dan tidak ada korbannya, anak ini tidak bisa dikatakan bersalah. Toh, ini anak sudah mengalami luka akibat pukulan orang-orang banyak. Jadi sebaiknya kamu jelaskan kenapa kamu berlari dan kenapa kamu diteriaki copet!" Satpam mendekati Usman dan menunggu penjelasan langsung dari terdakwa.     

"Aku sudah bilang, nggak tahu apa-apa kok dituduh gini? Orang aku lari karena buru-buru. Aku tidak tahu di mana rumah tempat ku bekerja nanti. Khawatir tidak kalau orangnya sudah pulang. Nanti nyasar di jalan karena tidak tahu jalan," pungkas Usman dengan jujur. Walaupun selain itu, ia merasa ngeri dengan apa yang dilihat saat itu. Ia ngeri dengan orang yang tengah dibawa dengan ranjang beroda itu.     

"Lah, kamu buru-buru, toh? Ini berarti hanya salah paham? Ya sudah kalau begitu, kamu bebas! Saya tidak akan mempermasalahkan lagi kasusnya. Kasihan juga, mau kerja malah ditiduh pencopet. Saya pamit undur diri." Ingin lari dari kenyataan, wanita peneriak copet itu pun meninggalkan ruangan. Ia merasa bersalah tapi juga malu karena telah membuat anak orang dipukuli.     

"Jadi ini hanya salah paham saja? Aduh, capek-capek mukuli orang, eh malah salah paham. Ya sudah, Dek. Kamu jangan salahkan saya. Yang harus disalahkan ya ibu itu!" tunjuk pemuda ke luar ruangan, di mana wanita itu telah berpaling dan berjalan cepat.     

"Kenapa ini hanya salah paham, sih? Pak satpam, kami serahkan saja padamu! Tolong ini anak, kembalikan nama baiknya! Kasihan ini anak orang, masa dituduh jadi pencopet? Sebenarnya mukanya juga cocok kalau jadi pencopet. Tapi kan tidak bisa dilihat dari mukanya saja. Ini agak sulit, sih. Karena mulut seorang wanita bisa jadi bencana."     

Lelaki satunya yang lebih tua dari pemuda penangkap Usman, bisa berbicara dengan bijak. Harusnya tidak terjadi lagi kejadian salah sangka itu. Lagipula kejadian itu sudah memperlihatkan banyak orang. Orang mengira anak muda yang mereka tangkap itu sebagai copet yang asli kalau tetap begini. Jadi bisa saja ada orang yang mempublikasikan melalui media online yang ada. Orang tidak bersalah itu akan disebarluaskan dan banyak mendapat komentar buruk dari netizen plus enam dua tersebut.     

"Aduhh ... ini masalah serius. Kalau begitu, kamu masih kuat berjalan, kan? Kami akan memperbaiki nama baikmu. Semoga saja orang-orang belum mengunggah berita yang tidak benar itu. Kasihan sekali kalau hidup di negeri ini. Apa-apa menjadi bahan uploadan dan takutnya dampaknya jadi buruk nantinya."     

"Kami akan ambil alih dari sini. Ayo kita bawa anak ini dan bilang ke orang-orang kalau dia tidak bersalah." Satpam pun membiarkan dua orang yang menangkap Usman pergi. Ia mengambil alih lelaki itu dan berniat membersihkan nama baiknya.     

"Nggak usah, Pak. Orang aku tidak salah, kok. Yang salah itu yang menuduh dan memukuliku. Aku mau lihat orang yang mau mengajak kerja di rumahnya. Semoga belum pulang dan tidak mempermasalahkan masalah yang terjadi." Karena tidak ingin repot dan diarak di setiap penjuru rumah sakit, Usman menolak niat baik satpam itu. Biarkan rasa sakit itu akan mereda dengan seiringnya waktu.     

"Oh, baiklah ... kami akan antar kamu dengan mengikutimu dari belakang. Jadi kalau ada yang masih menuduh kamu, kami akan menolong," ujar sang satpam dengan tulus.     

Dengan menahan rasa sakit di punggungnya, Usman berjalan di depan salah seorang satpam. Sakit di punggungnya tidak seberapa dibanding sakit di hatinya. Namun ia tidak ingin menyimpan dendam. Apalagi dendam pada seorang wanita. Dengan diikuti oleh seorang penjaga keamanan, orang-orang tetap masih mencibir. Tapi Usman tetap diam saja tanpa membantah sama sekali. Tidak ada yang memukul Usman karena satpam yang melarangnya. Sampai di ruangan di mana Menik di rawat, satpam akan mengikuti dan meninggalkan Usman setelah lelaki itu masuk ke dalam.     

"Di sini ruangannya, Pak. Jadi terima kasih karena sudah percaya kalau aku bukan copet. Saya ketuk pintu dulu, yah!" ujar Usman. Diketuknya pintu itu dengan pelan. Setelah mendapat jawaban untuk masuk, ia segera membuka pintu.     

"Kalau begitu, masuk ke dalam! Ingat, jangan lari-larian kayak anak kecil. Ini rumah sakit. Kalau mau main, bisa di lapangan atau di mana saja, tempat yang seharusnya."     

Disambut dengan senyuman oleh dua wanita di dalam, Usman masuk ke dalam. Punggung masih linu tapi nanti pasti akan bekerja di rumah besar. Dengan pelan, Usman menundukan kepala dengan sopan. Setelahnya ia menuju ke tasnya untuk mengambil uang. Ia menaruh semua uang di dalam tas. Walau di tempat yang berbeda. Perut pun terasa lapar, membutuhkan makanan agar memiliki energi.     

"Oh, kamu ... emm. Siapa namamu? Maklum sudah tua jadi nggak ingat namamu, hehehe," kekeh Rani dengan senyuman ramahnya yang ditunjukan pada Usman.     

"Namanya Usman, Rani. Masa kamu lupa namanya? Saya saja yang sakit tidak lupa namanya," celetuk Menik. Nama Usman sama dengan nama anaknya di desa. Ia tidak pernah lupa namanya sampai kapanpun. Memiliki nama yang sama, membuatnya mengingat bayinya yang ia tinggal.     

"Oh, Usman. Kok Nyonya sampai tahu namamu? Aku saja waktu pertama kali masuk dan memperkenalkan diri, dua minggu baru hafal namaku. Wah, kamu beruntung banget karena diingat namanya oleh nyonya," ungkap Rani yang cemburu pada Usman. Walaupun ia juga sudah dekat dengan Nyonya majikannya.     

Walaupun ia tidak terlalu lama bekerja di keluarga Rinto Sudarman, ia merasa lebih dekat ketimbang asisten rumah tangga senior. Maemunah, begitu nama asisten rumah tangga yang lama bekerja di rumah besar itu, hanya melakukan kewajiban tapi sikapnya yang kurang bisa menghangatkan suasana. Jadi Menik pun lebih dekat dengan Rani. Walau masih ada batasan antara ART dan majikan.     

"Saya tidak tahu pekerjaan apa yang mas Rinto maksudkan. Kamu bisa bantu-bantu di rumah atau nanti nunggu suamiku saja, yah! Ini masih lama juga kita pulangnya. Masih ada empat atau lima jam lagi, tepatnya," tutur Menik.     

"Iya ... kamu istirahat saja dulu, Mas! Atau kalau belum makan, nanti saya belikan makan sekalian, deh. Saya juga belum makan, sih. Hehehe," kekeh Rani. Ia mendapat makanan juga karena diantarkan oleh sopir rumah. Itupun hanya ada satu bungkus saja. Karena asisten rumah tangga yang di rumah memang tidak menyiapkan makanan untuk Rani.     

"Iya, ajak sekalian anak itu, Ran! Nanti pakai uang kamu dulu, di rumah saya ganti!" tandas Menik. Sebenarnya ia merasa aneh dengan Usman yang terlihat kesakitan. Ia mengira karena tidur yang tidak baik. Bisa saja menimbulkan salah urat dan akibatnya badan terasa sakit.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.