Tante Seksi Itu Istriku

Tingkah Di Depan Nyonya



Tingkah Di Depan Nyonya

0Waktu kepulangan Menik sudah dekat. Apalagi sopir yang akan menjemputnya sudah mengabari sedang dalam perjalanan. Sebentar lagi Usman akan bekerja di rumah orang. Menjadi langkah awal untuk mengumpulkan uang. Walaupun bagi mereka tidak seberapa, uang itu akan sangat berguna untuk masa depan Usman. Dia sudah berniat mengumpulkan uang sebanyak yang ia bisa dan akan melakukan pekerjaan apapun yang penting halal.     
2

"Sebentar lagi pak Karyan akan datang. Kamu sudah membereskan semuanya kan, Ran?" tanya Menik kepada Rani. Tak sabar rasanya untuk memperkenalkan Usman pada orang-orang di rumah. Ia tidak tahu alasan mengapa ia ingin semua orang tahu, Usman sedang bersamanya. Ia cukup senang jika ada penghuni baru di rumah yang sepi itu.     

"Sudah beres semua, Nyah! Kita bisa berangkat sekarang juga kalau mau. Tapi nunggu pak Karyan kayaknya akan lama, deh," ujar Rani. Karena sopir itu baru saja menelpon, kemungkinan baru akan berangkat ke rumah sakit.     

Usman hanya diam saja di kursi yang ada di ruangan tersebut. Mendengar mereka mengatakan hal demikian, berarti ia harus menunggu lama lagi. Padahal dirinya sudah tidak ingin lama-lama berada di rumah sakit. Usman tidak tahan dengan bau obat yang menyengat.     

"Kamu juga tidak tahan sama bau obat, Man? Iya, di sini bau obatnya menyengat banget. Jadi bikin tidak betah berada di sini." Karena melihat gelagat Usman yang sama dengannya, Menik mengambil kesimpulan seperti itu dan bertanya langsung. Ia tahu bagaimana rasanya jika berada di tempat yang pengap oleh bau obat-obatan.     

"I-iya, Bu," balas Usman terbata. 'Mengapa orang ini tahu kalau aku tidak suka dengan bau obat-obatan? Ah, mungkin dia juga sama saja,' pikirnya lalu menutup hidungnya.     

"Iya, berarti kita sama, yah, hehehe. Kamu juga sudah beresin semua barang bawaanmu? Semua dimasukan ke dalam tas. Dompet, hape jangan lupa," cetus Menik mencoba mengingatkan.     

"Enggak punya hape dan dompet, Bu. Belum sempat belinya," tutur Usman lirih. Lagipula memang tidak ada yang ingin ia hubungi dengan ponsel. Ia hanya khawatir terhadap Farisha, istrinya. Sedang apa wanita itu? Apa hidupnya baik atau tidak? Bagaimana keadaan ibunya yang tiba-tiba menghilang? Dan masih banyak pikiran lain.     

Tiba-tiba saja ada orang yang mengetik pintu. "Tok tok tok tok ... permisi ... ini saya Karyan. Apakah saya bisa masuk ke dalam?" Suara seorang lelaki yang meminta izin masuk. Dengan rasa sopan, lelaki itu pun menunggu jawaban dari dalam. Ia tahu yang di dalam adalah wanita. Jangan sampai ada kesalah pahaman di antara mereka.     

"Itu pak Karyan sudah datang aja," kata Rani lirih, menengok ke arah Menik. Setelah mendapat anggukan dari majikannya, ia lalu membalas, "Iya, masuk saja ke dalam, Pak! Kita sudah siap untuk pulang!" Segera setelah mengatakan itu, Rani mengambil tas dan menuntun Menik.     

"Biarkan saya yang bawa tasnya, Bu," ungkap Usman menawarkan diri. "Biar nggak repot-repot kan saya juga akan kerja di rumah Bu Menik dan pak Rinto." Ia mengambil tasnya juga dan meminta tas berat yang tadinya akan dibawa oleh Rani.     

"Oh iya, yah. Ini kamu yang bawa, yah!" Rani menyerahkan tas kepada Usman. Dengan begitu bebannya tidak terlalu berat. Ia hanya perlu membantu Menik berjalan. "Sekarang Nyonya, ayo kita pulang ke rumah. Saya tahu Nyonya tidak suka bau obat."     

Karyan membuka pintu dan melihat tiga orang di dalam ruang rawat. Ini kali pertama melihat Usman yang kemarin sudah diceritakan oleh majikannya, Rinto. Rinto mengatakan kalau akan ada penghuni baru di rumah mereka. Mereka harus menyambut baik siapapun yang datang ke rumah. Asalkan dengan niat yang baik.     

"Selamat siang, Nyonya. Saya sudah menghubungi tuan Rinto barusan. Saya sudah sampai di sini untuk menjemput Nyonya dan dua orang lainnya. Kalau begitu, mari saya bantu bawakan barang."     

"Kamu jalan saja di depan, Pak Karyan! Kurasa kamu tidak perlu lagi membawanya. Kamu bawa mobil saja dengan hati-hati! Saya tidak ingin kecelakaan lagi. Soalnya di rumah sakit bikin tidak betah saja." Tampak sumringah dari raut muka Menik karena akan segera meninggalkan tempat yang baginya seperti neraka.     

"Iya, Pak Karyan! Ini namanya Usman. Nggak tahu nama lengkapnya siapa. Tapi anak ini baik dan sepertinya pekerja keras kalau dilihat dari badannya. Walau kecil begini tapi ototnya besar." Rani bicara secara blak-blakan saat memapah Menik. Tanpa rasa khawatir akan ditegur oleh wanita itu.     

Pria yang bernama Karyan merupakan seorang sopir keluarga Rinto. Usianya sudah tidak muda lagi dan sudah mengikuti keluarga itu sebelum Rinto menikah dan akhirnya bercerai. Hingga kembali menikah untuk yang ke dua kalinya. Karyan memberi jalan agar dua wanita itu lewat terlebih dahulu. Melihat pemuda berusia dua puluh tahunan, membuat dirinya tersenyum. Sudah lama mereka tidak ada anak muda di rumah.     

Usman menganggukkan kepalanya di depan sang sopir untuk memberi hormat. Lalu diulurkan tangan kanannya untuk bersalaman. Ia sebagai junior, harus menghormati para senior. Apalagi dirinya satu-satunya yang masih muda. Usman memperkirakan usia mereka lebih dari empat puluh tahunan. Apalagi Karyan yang sudah memiliki uban yang menandakan penuaan.     

"Selamat siang, Pak. Nama saya Usman. Saya datang dari desa dan baru pernah bekerja di swalayan sebelumnya. Mohon tegur kalau aku ada kesalahan." Sikap sopan santun Usman tunjukan pada Karyan. Awalnya ingin dekat dengan orang-orang yang bekerja. Ia berharap pria di depannya tidak seperti sopir sebelumnya.     

"Oh, kamu yang namanya Usman? Ya sudahlah ... nggak perlu berbasa-basi denganku." Tanpa ba-bi-bu, Karyan meraih tangan Usman dan saling bersalaman. "Seperti yang kamu dengar, namaku Karyan. Panggil saja pak Karyan atau kakek Karyan. Hehehe, saya sudah punya dua cucu. Yang satu perempuan berumur lima belas tahun. Dan satunya berusia enam tahun. Kapan-kapan kamu main ke rumahku, yah! Siapa tahu bisa akrab."     

Mendengar perkataan Karyan, Rani menengok ke belakang. Tidak habis pikir dengan lelaki tua itu. "Itu cucunya baru lima belas tahun, malah mau dicarikan calon suami? Nunggu sukses dulu, Pak! Lagian juga belum tentu mereka mau dan memikirkan soal begituan. Mereka masih terlalu muda untuk menikah."     

"Jangan syirik kamu, Ran! Bilang saja kamu juga berharap Usman menjadi menantu kamu! Anakmu itu juga sudah mau menikah, kan? Ya sudah, saya biarkan biar menjadi istri ke duanya," cetus Karyan.     

Kelakuan asisten rumah tangga dan sopir keluarga itu membuat Usman kaget. Padahal mereka berada di dekat nyonya majikannya. Ia tidak tahu mengapa sikap yang ditunjukan sangat berbeda dengan orang lain ketika di hadapan atasan. Ini sungguh terlalu keterlaluan. Kedua orang terus ribut sampai mereka keluar dari ruangan tersebut.     

"Kalian ini sudah tua! Masih saja tingkahnya seperti anak-anak, yah! Lebih baik bertengkarnya buat nanti saja di rumah! Saya sudah tidak tahan dengan bau obat ini. Cepat, Rani!" Kalau ia tidak melerai keduanya, mungkin mereka tidak akan berhenti.     

"Maafkan saya, Bu. Ini semua gara-gara si perempuan ini. Ayo Usman, kamu harus bawa cepat-cepat! Nanti kita bisa ngopi bareng sebelum saya kembali ke kantor! Biar Rani yang membikinkan kopi."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.