Tante Seksi Itu Istriku

Menemui Sopir Itu



Menemui Sopir Itu

2"Kamu membawa tas besar itu bersamamu, Usman?" tanya Menik yang melihat seorang anak lelaki menggendong tas di sampingnya. "Sebenarnya itu isi di dalam tasnya apaan?" tanyanya lagi dengan penasaran.     1

"Oh, ini ... anu, aku tadi pagi kan keluar dari pekerjaanku. Jadi sekalian berberes pakaian." Dengan masih gugup, Usman menjawab pertanyaan dari Menik.     

"Oh, jadi itu barang-barangmu? Baguslah ... jadi kamu bisa langsung datang ke rumah besok. Kalau tidak, nanti saya telponkan sopir suamiku untuk membawamu ke rumah. Saya belum bisa pulang malam ini. Besok siang baru bisa pulang ke rumah."     

Paras ayu dari Menik, meneduhkan Usman begitu melihatnya. Seperti sosok orang yang harus ia hormati. Sementara Menik melihat Usman, seperti melihat anaknya sendiri. Bukan hanya nama dan umur yang cocok, itu terlihat seperti mantan suaminya saat ia melihat Usman. Bedanya anak muda di hadapannya berpostur lebih pendek dan sikapnya terlihat lebih sopan. Ia ingat mantan suaminya dulu yang selalu keras kepala dan sulit diikuti.     

'Anak ini kenapa bikin aku penasaran? Sebenarnya siapa anak ini sebenarnya? Mungkinkah ada hubungannya dengan lelaki brengsek itu? Atau ini–' Menik melihat Usman lebih dalam. Semakin ia melihatnya, semakin ia terbawa suasana pilu. Terbayang-bayang perlakuan mantan suami pertamanya yang tidak tahu ada di mana. Terakhir kali ia tahu pria itu telah dipenjara.     

Melihat wanita itu terus menatapnya, membuat Usman tidak nyaman dan menyeletuk, "Ada apa, Bu? Maafkan saya, nggak tahu mungkin aku bersalah. Aku akan keluar dari kamar ini." Ia berniat meninggalkan ruangan karena tidak tahu apa yang harus dikatakan.     

"Kenapa mau keluar? Saya nggak akan memakanmu atau apa. Lagian saya juga nggak mungkin suka sama anak muda sepertimu ... tapi kamu mengingatkan pada anakku. Yah, seorang ibu mana yang tidak ingat sama anaknya? Namun saya adalah ibu yang paling jahat di dunia."     

Asisten rumah tangga yang merupakan seorang wanita tiga puluh tahunan mendekat ke arah Usman. Dilihatnya anak muda itu memang tidak ada yang menarik. Penampilannya juga biasa saja. Dirinya juga tidak tahu nyonya majikannya memiliki anak. Yang ia tahu, Menik menikah dengan tuannya yang sama-sama pernah menikah sebelumnya. Soal ada anak atau tidak, ia tidak pernah tahu. Hanya saja ia sudah tahu, tuannya tidak bisa memiliki keturunan. Sehingga tidak akan ada yang mewarisi harta warisannya kelak.     

"Kamu tidur di sini saja, Usman. Sekalian menjagaku di sini. Rani membawa tikar juga kayaknya. Jadi bisa tiduran di tikar atau di sofa. Ini sudah malam, dingin kalau ada di luar," ujar Menik dengan senyuman tulus. Dipegangnya tangan Usman dengan tangan yang diperban. Matanya melihat anak muda itu dengan tatapan berkaca-kaca.     

"Nggak, Bu. Aku akan bersama orang di luar. Kalau begitu, saya titip tas di sini saja, deh. Biar besok bisa ikut ke rumah ibu sekalian, boleh?" Dengan begitu, Usman tidak perlu mencari-cari alamat rumah, tempat ia bekerja esok hari.     

"Hehehe ... ya sudah kalau begitu. Kamu bisa bersama dengan para security. Besok siang kami baru meninggalkan rumah sakit. Jadi kamu harus ke sini sebelum kami pulang, oke?" pungkas Menik.     

"Iya, Bu," jawab Usman singkat sembari mengambil jaket di dalam tasnya. Setelah mengenakan jaket, ia pun izin keluar. "Saya keluar, Buk, selamat malam." Dengan ucapan terakhirnya, ia keluar dari kamar dan mencari dua satpam yang bertugas malam ini.     

Tidak mungkin Usman berada di dalam ruangan bersama dengan wanita yang tidak dekat dengannya. Apalagi dengan statusnya yang bukan siapa-siapa. Di luar, tidak ada siapapun juga. Dua penjaga keamanan itu sudah tidak terlihat lagi. Sementara dari kamar sebelah, Usman melihat seorang wanita keluar dari kamar. Itu adalah kamar di mana seorang pria paruh baya terbaring. Seorang sopir yang mengalami kecelakaan bersama Menik.     

Tanpa ada kata yang diucapkan oleh wanita itu kepada Usman. Sebaliknya, Usman juga hanya diam melewatinya. Karena bukan hanya seorang yang dirawat, ia merasa harus mengunjungi juga. Untuk bisa saling mengenal satu sama lain karena akan bekerja di majikan yang sama. Mungkin dengan mendekati orang itu, ia akan tahu bagaimana sifat orang-orang sebagai majikan mereka. Juga berapa anggota keluarga dan sebagainya.     

"Atau mungkin aku nggak jadi bareng satpam untuk berkeliling? Ah, nggak tahu akan tidur di mana. Yang penting mata ini terpejam malam ini. Bukankah sudah biasa tidur di mana saja?" tekad Usman, meyakinkan diri sendiri.     

Sebelum masuk ke dalam ruangan, tentu harus ada sopan santun terlebih dahulu. Perlahan pintu diketuk dan menunggu respon orang di dalam. Takutnya orang yang di dalam sudah terlelap. Jadi Usman tidak bisa mengganggu orang yang sedang sakit itu.     

"Iya, siapa? Masuk!" Dari dalam terdengar suara lelaki, mempersilahkan Usman untuk masuk ke dalam.     

Setelah diperbolehkan masuk, lantas lelaki dua puluh tahun itu membuka pintu dan melengokan kepalanya. Melihat ke ruangan yang serba putih dan rapih. Di dalam, seorang lelaki paruh baya sedang duduk di ranjang rumah sakit. Melihat Usman yang baru masuk ke dalam ruangan. Hal itu membuatnya berpikir tentang seorang anak muda yang menyelamatkan dirinya. Karena pada saat itu dirinya masih sadar saat kecelakaan berlangsung. Ia juga melihat pemuda itu menyelamatkan dirinya sebelum keadaan ramai.     

"Permisi, Pak. Boleh saya masuk ke dalam, kan? Apa luka Bapak sudah tidak apa-apa, sekarang?" tanya Usman dengan hati-hati. Tidak ingin mengganggu namun malah sudah mengganggu orang yang akan istirahat.     

"Oh, kamu ... kayaknya yang sudah menyelamatkan ku, kan? Ayo masuk ke dalam, Mas! Untung ada kamu, sehingga bapak bisa selamat dan kurasa ini tidak terlalu parah. Mungkin nyonya yang terluka parah." Pria itu merenung memikirkan kesalahannya. Tentu ia tidak sengaja dan tidak ada niat untuk mencelakai orang.     

Sebagai seorang sopir, harusnya lebih teliti dengan mobil. Harus ada pengecekan setiap akan digunakan agar tidak ada kecelakaan seperti itu lagi. Karena kelalaiannya itu, membuat nyawa majikan wanita dalam bahaya. Juga membuat mobil itu rusak dan tidak mungkin baginya untuk mengganti rugi.     

"Apakah kamu tahu, bagaimana keadaan nyonya saat ini? Saya mungkin akan segera dipecat karena keteledoran saya. Juga akan sulit seandainya mencari pekerjaan lain di luar sana. Hahh, bagaimana bisa menjadi seperti ini?" Dipegangi kepalanya yang sakit. Selain kepalanya yang terbentur, dadanya juga mengalami luka memanjang. Ini karena sabuk pengaman yang dipakainya. Mungkin akan lebih parah jika tidak memakai sabuk pengaman waktu itu.     

"Mungkin bu Menik baik-baik saja. Katanya besok siang sudah boleh pulang. Semoga saja Bapak ini nggak dipecat oleh ibu Menik dan pak Rinto. Aku akan bicara sama mereka agar tidak memecat karena ini kan kecelakaan," cetus Usman. Ia tidak tahu akibat dari yang ditimbulkan akibat kecelakaan itu. Sang sopir juga merasa sakit akibat kecelakaan. Semua orang tentunya tidak ingin mengalami kecelakaan.     

"Memang kamu siapa? Sok-sokan bilang ke mereka segala? Huh, anak seperimu lebih baik jangan ikut campur masalah orang tua!" bentak sopir itu. Beban hidupnya sekarang sedang di masa sulit. Tidak ingin ada masalah lagi ke depannya. Ia tahu, anak muda di depannya tidak bisa membantunya saat ini.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.