Tante Seksi Itu Istriku

Tak Terduga



Tak Terduga

1Farisha menggenggam tangan Usman dengan gemetaran. Tapi ia tidak mengerti, mengapa pria yang berbicara dengannya tahu namanya. Tak terasa, terurai air matanya karena rasa khawatir yang berlebihan. Selama hidupnya, ia hanya memiliki satu orang tua yang menjaganya. Yang selalu ada untuk dirinya. Bagaimana nanti kalau dirinya kehilangan sosok ibu? Mungkin hidupnya akan menjadi semakin kacau.      0

"Bagaimana ini, Man?" Sambil terisak, dipeganginya telapak tangan Usman. "Apa yang terjadi sama ibu? Apa dia baik-baik saja, skkk! Ya Tuhan ... tolong hambaMu ini, Ya Allah. Semoga tidak terjadi apapun kepada ibu ... huhuhuhuuu ...."     

"Tenangkan dirimu ... ku yakin, ibu baik-baik saja. Percaya, semoga beliau baik-baik saja di sana. Mungkin ini hanya salah paham. Mungkin ibu sedang pergi dan kehilangan hapenya. Dan kebetulan yang mengangkat telepon itu orang lain yang sedang sakit dan–"     

Sebelum menyelesaikan ucapannya, Farisha menangis sejadi-jadinya. Ia tidak mau berandai-andai tapi rasa khawatirnya lebih dalam dari andai-andai itu. Ia harus segera pulang, apapun yang terjadi. Dan saat perasaan yang tidak menentu itu, membuat Farisha merasa sakit di hatinya. Nafasnya semakin memburu, jantung berdebar kencang.     

"Pak, mungkin perempuan itu sedang ada masalah. Biar ibu saja yang mengurusnya. Bapak lebih baik jaga di depan!" Wanita istri pemilik rumah makan memegang pundak sang suami. Ia merasa masalah wanita harus diselesaikan atau ditenangkan oleh wanita juga. Juga tidak ingin melihat suaminya bersama wanita lain. Apalagi wanita yang sedang menangis itu lebih cantik dan muda darinya.     

"Ya terserah ibu saja, lah. Kalau begitu tolong dibantu! Mungkin mereka bukan orang sini. Biar bapak yang memerankan tiket untuk mereka!" pungkas pria paruh baya tersebut. Ia kembali ke belakang untuk menelpon pembelian tiket.     

"Neng ..." sapa wanita pemilik warung dengan suara lembut. "Boleh saya duduk sebentar?" ungkapnya lalu ia duduk di samping Farisha. Ia tahu ada kesedihan mendalam dengan wanita itu. Terlihat sedang menggenggam tangan Usman yang ditaksir adalah adek atau saudara jauhnya. Walau mereka terlihat berbeda jauh.     

"Bu, apa ibuku tidak apa-apa di sana, yah? Kenapa aku telpon ibuku, yang jawab orang lain? Kenapa hatiku merasa sangat pedih? Ohhhh ... shhh ... ssskkk!" Farisha terisak lalu menempelkan kepalanya di telapak tangan Usman. Ia rebahkan kepalanya di atas meja makan itu.     

"Tenangkan dirimu, Nduk. Berdoa saja, semoga ibumu tidak apa-apa. Mungkin saja beliau sedang kecopetan atau menitipkan teleponnya pada orang lain. Yah, mungkin itu tidak benar. Tapi saat ini hanya ketenangan yang bisa membuat kamu lebih menerima. Jangan telan mentah-mentah hanya karena dugaan saja. Yah, pasti orang tuamu sekarang baik-baik saja. Maka dari itu, kamu harus hubungi lagi atau kamu segera pulang! Mungkin Tuhan sedang mengujimu. Atau sedang menegurmu untuk selalu mengingat kedua orang tuamu. Ya sudah, suami saya sedang memesankan dua tiket bus ke Jakarta. Tapi kami tidak tahu, apa hanya kalian berdua yang berasal dari Jakarta?" tanya wanita itu lembut.     

"Iya, hanya kami saja di sini, Bu. Terima kasih banyak atas bantuan bapak dan Ibu! Tidak disangka, kami akan bertemu dengan orang baik di sini. Dan kebetulan sekali kalau ada bis yang lewat sini ke Jakarta. Jadi nggak perlu repot-repot mencari tahu," kata Usman menjawab pertanyaan wanita paruh baya itu.     

"Ya sudah ... pikrkan saja begini ... ibunya pasti baik-baik saja. Dengan begitu, tidak akan mempengaruhi pikiran." Wanita itu mengusap rambut kepala Farisha sambil tersenyum. Dirinya memang tidak mengenal wanita di sampingnya. Namun melihat seorang anak yang peduli dengan orang tua, batinnya bergerak untuk membantu.     

"Terima kasih, Bu. Oh iya, ini semuanya berapa? Makanan dan untuk tiket busnya?" tanya Farisha yang berusaha untuk tenang. Biarkan perasaannya mengalir keluar. Tapi ini bukan saatnya untuk bersedih. Ia adalah wanita dewasa yang sudah tiga puluh tahun usianya. Bukan lagi anak ABG yang berusia belasan tahun. Tidak ada tangisan seperti ini lagi. Karena dari kecil pun ia tidak pernah atau lebih tepatnya jarang menangis.     

"Ini untuk nanti saja sekalian, Nduk. Lebih baik tenangkan diri saja dulu! Kami percaya pada kalian. Saya doakan, semoga ibunya baik-baik saja, yah! Saya akan melayani orang makan dulu. Nanti saya buatkan teh manis, yah!" tandasnya lalu meninggalkan Farisha dan Usman.     

Farisha dan Usman saling pandang. Mereka yakin kalau dua orang pemilik rumah makan itu baik-baik. Bahkan mau membantu dan memberi kepercayaan pada orang yang tidak dikenal. Mereka tentu tidak hanya mendapatkan perlakuan baik, juga belajar tentang bagaimana berbuat baik yang sesungguhnya. Dua orang itu membuka mata dan pikiran, bahwa meskipun kita tidak saling mengenal, alangkah baiknya kalau saling membantu dan mengerti keadaan orang lain. Walau terlalu percaya itu juga tidak baik. Karenanya akan membuat orang mudah tertipu oleh pihak tidak bertanggung jawab.     

"Tenangkan dirimu, Tante ... kita akan segera pulang! Pasti kita bisa bertemu dengan ibu dalam keadaan baik-baik saja. Bukankah akan membuat ibu senang kalau anaknya pulang dengan selamat dan bahagia?"     

Farisha tidak menjawab, hanya menganggukkan kepalanya. Mereka berdiam diri selama setengah jam. Namun Farisha mulai berpikir tidak banyak waktu tersisa. Mereka harus kembali ke rumah untuk membereskan barang-barang yang ada di rumah untuk dibawa pulang. Tapi ia bingung karena tidak tahu, mereka harus membawa barang-barang itu dengan apa. Bisa saja mereka tidak membawa barang-barang di rumah itu. Tapi ia tidak bisa pergi begitu saja tanpa memberi kabar. Sekarang yang ada di pikiran Farisha adalah kembali pulang.     

"Ya sudah, Man. Kita harus pulang dulu sekarang! Dan harus cepat-cepat kembali ke sini sebelum jam lima sore. Jadi kita bisa langsung berangkat ke kota. Semoga ibu tidak apa-apa di sana, yah? Hehh, hehhh hhhh," desah Farisha dan bernafas dengan perlahan namun dalam.     

"Iya, ayo kita kembali dan mengambil barang-barang kita dan pamitan pada bu Kasmiyah. Mungkin kita bisa saja meninggalkan desa ini begitu saja. Tapi tidak baik kalau kita tidak pamit. Mungkin kita tidak bisa lagi berada di sini. Tapi aku berjanji, akan melanjutkan bulan madu kita ke tempat yang tidak kalah serunya dari sini."     

Mendengar kata bulan madu, membuat pemilik rumah makan itu terlonjak kaget. Tidak pernah mereka sangka, lelaki yang terlihat lebih muda itu adalah suami dari wanita dewasa dan matang itu. Tapi tidak mungkin telinga mereka yang bermasalah. Hingga orang yang makan di sana pun kaget karena ada saja pasangan beda usia yang ada di depan mata mereka. Dan pasangan itu juga bukan pasangan beda usia pada umumnya. Biasanya pria yang lebih tua dari wanitanya. Dan sang pria yang lebih kaya. Namun ini kebalikan dari semua ekspektasi semua orang yang berada di tempat itu.     

"Beneran mereka pasangan suami-istri? Ah, lebih baik tanya saja langsung pada mereka," lirih wanita pemilik rumah makan sederhana tersebut. Ia lalu mendekati Farisha dan Usman dan melontarkan beberapa pertanyaan.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.