Tante Seksi Itu Istriku

Keputusan Pulang



Keputusan Pulang

0Usman tidak berani mengatakannya pada pemilik warung itu. Karena ia harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu untuk mengatakannya. Tapi pada akhirnya Farisha sendiri yang mengatakan yang sebenarnya kalau mereka adalah pasangan suami-istri yang baru menikah beberapa minggu yang lalu. Membuat mereka menjadi pasangan yang tidak terduga dari orang lain. Mungkin semua yang melihat keduanya, tidak ada pemikiran tentang hubungan mereka sedekat itu. Tapi inilah kenyataannya, inilah hal yang sebenernya terjadi.      3

"Kalau begitu, tidak mengapa kalau kalian adalah suami-istri. Jadi tidak akan menimbulkan masalah jika kalian bersama. Maafkan saya yang terlalu kepo dengan kehidupan unik kalian, hehehe." Bukan untuk mengejek mereka berdua tapi memang terlihat unik dan berbeda. Seperti sinetron atau drama saja. Tapi kebanyakan drama pun tidak seperti itu juga kisahnya. Ini malah lebih ke drama nyata yang berbeda dengan yang lain. Atau lebih tepatnya kebalikan dari ekspektasi setiap orang.     

"Iya, Bu. Nggak apa-apa kalau kami dianggap unik. Walau kami seperti ini, inilah yang namanya cinta. Meskipun kami berbeda, tetap saja bisa bersama. Ibuku juga berharap kami bahagia dan selalu mendukung apa yang menjadi keputusanku. Makanya sedih kalau terjadi apa-apa terhadap ibu. Sepertinya kami juga harus pamit dulu, Bu. Kami mau kembali ke rumah ibu yang ada di desa ini."     

"Ya ... kalau begitu, kalian cepat bergegas beres-beres. Atau kalau tidak, barang-barang tidak perlu dibawa. Bisa suruh orang untuk membereskan dan kirim lewat jasa antar barang. Mungkin akan membantu sekali," saran pemilik rumah makan.     

"Oh, ini juga solusi yang baik. Sekali lagi terima kasih dan saya mohon pamit. Ini aku titipkan dahulu kartu ATM dan kartu kreditku di sini. Nanti saat kembali ke sini, saya bayar semuanya karena kami tidak bawa cukup uang. Kami taruh di tas di rumah," pungkas Farisha.     

Setelah berpamitan, Farisha dan Usman pun meninggalkan tempat mereka makan. Walau pemilik rumah makan itu menolak untuk dititipkan kartu-kartu itu, Farisha tetap menaruh kartu-kartu itu ke atas meja. Membuat wanita paruh baya itu mengambil dan menyimpannya. Karena percaya pemilik rumah makan itu orang baik, Farisha harus percaya sepenuhnya. Ia sudah memikirkan segala cara untuk menyelesaikan semuanya. Pertama-tama, ia akan pulang dan berpamitan pada keluarga Kasmiyah serta suaminya. Juga pada anak-anak yang sering bermain dengan mereka.     

Pengalaman di desa selama hampir dua pekan, membuat hati senang walau dalam kesederhanaan. Nyatanya mereka menikmati bulan madu yang bahagia. Dan mungkin ke depannya mereka bisa saja pergi ke luar negri atau tempat lain yang masih di dalam negri. Yang tidak kalah membahagiakan dari desa Tapangwaru.     

Farisha mengendarai sepeda motornya bersama dengan Usman. Hingga hari ini Usman belum mahir mengendarai sepeda motor. Karena Farisha harus mengajari dari awal. Karena lelaki itu sebelumnya juga belum bisa naik sepeda. Dan sekarang pada dampaknya, belum bisa mengimbangi dalam berkendara.     

Sebelumnya Farisha membawa motornya dengan acak dan mutar-mutar saja. Namun memang susah mendapatkan jaringan internet, membuat dirinya hanya mondar-mandir. Karena lelah pun asal mencari makanan. Setelah melalui perjalanan panjang, keduanya sampai di desa Tapangwaru. Segera saja mereka masuk ke desa itu dan melewati rumah Kasmiyah. Ia menghentikan motornya di depan rumah yang terlihat kosong itu.     

"Sepertinya mereka tidak ada di rumah. Kalau gitu, kita pulang saja dulu, yah? Kita akan kembali setelah beres-beres barang-barang kita! Ayo naik lagi, Usman!" titah Farisha. Setelah suaminya naik, ia segera melajukan motornya ke rumah.     

Rumah itu juga terlihat sepi tanpa ada kehidupan. Keduanya masuk ke dalam. Tujuan yang sebenarnya adalah kamar mereka. Dengan cepat, membereskan pakaian dan dimasukan ke dalam tas. Mereka hanya membawa barang-barang seadanya. Farisha sebenarnya memiliki banyak pakaian dan barang-barang lain. Namun ia memilih untuk membawa beberapa saja. Ia juga menyuruh Usman untuk membawa seperlunya saja. Karena bisa saja mereka akan kembali ke tempat itu lagi. Sebuah tempat yang dipenuhi dengan kenangan yang indah. Keputusan untuk kembali ke kota, tidak seperti rencana awal, sebelum Farisha hamil, mereka belum boleh kembali. Tapi saat ini tidak ada pikiran lain, selain keselamatan Azhari.     

"Sudah beres semua barangnya? Kamu bawa seperlunya saja, Man! Sepertinya kita harus segera berangkat! Kita akan merasa tenang kalau kita segera sampai ke rumah makan itu!" tutur Farisha. Ia melihat suaminya yang membawa tas ransel yang berisi beberapa potong pakaian.     

"Iya, aku tahu lah, Tante. Ayo kita segera kembali ke rumah makan! Tapi kamu apa nggak merasa lelah? Kamu yang membawa motornya terlalu jauh. Apa nggak capek? Apa aku saja yang bawa motornya?" tawar Usman dengan bermodalkan nekat. Walau ia juga tahu kalau memang belum bisa mengendarai sepeda motor.     

"Iya, nggak apa-apa kok, Sayang. Nanti di bis, kamu pijitin aku, yah!" pinta Farisha dengan senyuman menggoda. Lalu ia melanjutkan dengan berkata, "Kalau perlu, pijat yang ini juga, hehehe." Farisha menarik tangan Usman dan menempelkan tangan itu ke dadanya. "Ini akan enakan kalau kamu urut. Apalagi ini yang bisa membuat wanita melayang."     

Karena tidak bertemu dengan Kasmiyah juga, Farisha kecewa dan tidak bisa pamitan. Untungnya ada seorang anak yang menuju ke rumah Kasmiyah. Pasangan suami-istri itu menghampiri anak lelaki itu. Dengan bertanya nama dan nama orang tua terlebih dahulu. terlebih dahulu.     

"Oh, Tante sama Masnya? Ini, ibu dan bapak mungkin belum pulang. Tapi kenapa kalian bawa ini banyak banget? Apa kalian mau pergi dari sini, kah?" tanya anak berusia belasan tahun itu.     

"Apa mereka pulangnya lama? Kalau iya, saya titipkan surat saja, yah? Kamu ada kertas, nggak? Sama pulpen sekalian untuk menulis pesan untuk ibu dan bapak kamu."     

"Iya ada lah! Orang aku anak sekolah, masa nggak ada buku, sih?" Anak itu membuka tasnya dan mengambil buku dan pulpennya. Ia menyerahkan pada Farisha. "Nih, mau nulis apa saja terserah. Kebetulan aku disuruh nulis surat. Jadi kesempatan untuk dibikinkan, hehehe," kekeh anak itu dengan riang.     

Tanpa buang waktu, Farisha menerima kedua benda itu dan mulai menulis di kursi depan rumah. Ia juga menyiapkan sejumlah uang tanpa dilihat anak kecil itu. Ia sudah menyiapkan terlebih dahulu dan baru mengambil uang yang dimasukan ke dalam amplop beberapa hari lalu di mesin ATM. Ia masukan juga surat yang ia tulis ke dalam amplop itu juga.     

"Dek, kamu sekolahnya yang rajin, yah! Ini saya titip surat ini untuk orang tuamu. Dan juga saya kasih kunci ini. Semua ada di dalam amplop dan untuk hari ini mungkin pertemuan kita untuk terakhir. Bilang pada teman-teman kamu dan yang penting, orang tuamu harus baca ini. Gitu saja, semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu," tandas Farisha. Ia membawa Usman bersama dengannya.     

"Baik, terima kasih kalau begitu. Tante dan Mas, semoga selamat sampai tujuan. Kalian kenapa mau pergi, sih? Pasti anak-anak akan merindukan kalian."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.