Tante Seksi Itu Istriku

Permintaan Tolong Di Ujung Telepon



Permintaan Tolong Di Ujung Telepon

3Di desa Tapangwaru, Usman dan Farisha hidup dengan cukup bahagia. Mereka menikmati bulan madu di desa itu dengan kesederhanaan dalam hidup. Itu tidak seperti orang-orang kaya yang seringkali melakukan itu di luar negri. Farisha pun tidak tahu alasan sebenarnya, mengapa ibunya mengirimnya ke tempat seperti saat ini. Kecurigaan Farisha mulai dipikirkan kembali. Mengapa dipilihkan ke tempat seperti sekarang. Karena itu, Farisha membawa Usman ke tempat lain yang dirasa sebuah kotamadya atau tempat yang mungkin menerima jaringan ponselnya.      1

"Kenapa kita jauh banget dari desa? Apa kita akan jauh dari tempat tinggal atau bagaimana?" Begitulah reaksi Usman ketika ia menyadari kalau mereka semakin menjauh dari desa.     

Peradaban sekarang lebih maju dari desa Tapangwaru yang masih terlalu jarang rumah. Farisha memutuskan untuk berhenti di depan sebuah rumah makan. Orang-orang melihat dua orang yang tidak dikenal. Tidak seperti warga setempat tapi hanya tatapan sejenak saja yang dirasakan. Menit berikutnya, Farisha mengajak sang suami masuk ke dalam.     

Saat masuk ke rumah makan, seorang pria paruh baya menyambut keduanya. Selain itu, suasana di dalam pun sedang ramai dengan orang yang sedang menikmati makanan yang tersedia. Ada canda dan tawa serta beberapa orang lain, hanya makan dengan diam. Melihat orang yang datang, pandangan ke arah Farisha dan Usman.     

"Mau makan apa, Neng? De? Di sini makan sepuasnya dan harganya terjangkau." Pria itu tahu kalau keduanya berniat makan karena terlihat Usman yang menatap makanan dengan senang.     

Hari sudah siang dan mereka belum makan siang. Farisha juga sudah berpesan pada Kasmiyah agar tidak menyiapkan makan siang karena akan makan di luar. Farisha memperhatikan makanan yang berada di dalam kaca. Dan mulai menyebut satu persatu menu yang ada di dalamnya. Pria paruh baya itu mengambil nasi dan lauk yang disebutkan oleh Farisha lalu disusul oleh Usman.     

Farisha melihat ke sekeliling yang sudah tidak melihat tempat duduk. Setelah menerima makanan di piring, ia belum memikirka ke mana ia akan duduk. Lalu ia pun bertanya, "Kita duduk di mana, Man? Sepertinya sangat ramai di sini." Celingukan ke kanan dan ke kiri sekedar untuk mencari tempat kosong.     

"Sepertinya di sana ada tempat yang kosong. Ayo kita ke sana duluan!" balas Usman menunjuk ke arah di mana ada kursi kosong. Walaupun letaknya ada di pojok paling belakang. Dan sudah penuh dengan orang yang sedang makan     

"Oh, di sana ana tempat duduk yang kosong, toh. Ya sudah, tunggu apa lagi? Ayo kita ke sana, Man!" ajak Farisha dengan membawa makanannya sendiri.     

Orang-orang yang makan kebanyakan adalah kaum laki-laki. Terlihat mereka adalah para pekerja. Entah kuli bangunan atau orang pekerja kasar. Di rumah makan itu terlihat sederhana dan harga pun dibandrol murah. Walau tempatnya cukup luas dan dapat menampung puluhan orang di dalamnya. Seorang pemuda yang berumuran dengan Usman, menggeser duduknya, mempersilahkan mereka untuk duduk.     

"Terima kasih, Mas," ungkap Usman dan Farisha bersamaan. Keduanya pun duduk di tempat duduk paling pojok tersebut. "Mari makan, Mas." Keduanya lalu memakan makanan mereka.     

Suasana ramai dengan suara riuh karena ada beberapa orang tertawa dan saling lempar candaan. Ada juga yang sedang makan dengan tenang. Bahkan ada yang memesan makanan lagi. Sebut saja seorang pria gemuk yang meminta nasi dan lauk yang lebih banyak. Dan seorang pria berkacamata dengan tampilan lebih rapih, memainkan ponselnya.     

Setelah selesai makan, Farisha tidak langsung mengajak Usman keluar. Namun nampak orang-orang itu bergegas pergi karena jam istirahat telah selesai. Piring dan gelas berantakan di setiap meja dan sisa makanan yang tercecer membuat pemilik rumah makan membersihkan segera. Farisha mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi sang ibu. Namun tidak ada jawaban dari wanita paruh baya itu. Setelah beberapa kali menghubungi, akhirnya terhubung juga. Namun bukan suara Azhari yang terdengar. Melainkan seorang pria dengan suara serak.     

"Maaf, ini dengan siapa, yah? Kenapa yang mengangkat bukan ibuku? Halo! Halo! Ini siapa, yah?" tanya Farisha dengan nada khawatir. Ia khawatir terjadi apa-apa terhadap ibunya. Selama ini tidak pernah Azhari mempercayakan ponselnya atau menitipkan pada orang asing.     

"Ha-ha ... ha-lo ooo ... Fa-ri-shaa. Tolong, Nak. A-ayah–" Sambungan telponnya tiba-tiba terputus begitu saja. Dan tidak ada suara lain setelahnya. Karena itu, tidak ada hal yang membuat takut Farisha selain ibunya. Ia takut terjadi apa-apa terhadap wanita yang telah melahirkan Farisha tiga puluh tahun lalu.     

Setelah selesai, Farisha mencoba menghubungi nomor Azhari kembali. Tapi sayangnya tidak ada jaringan internet. Hal itu membuat Farisha frustasi. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana nasib Azhari sekarang. Apakah baik-baik saja atau entah apa yang terjadi. Tapi mengingat suara itu, Farisha hanya berpikiran kalau itu suara Benny. Walau suaranya agak mirip tapi Benny tidak memiliki suara serak.     

"Ah, sialan! Kenapa harus tidak ada sinyal segala, sih? Ahhh, bagaimana ini, Usman? Aku khawatir dengan ibu. Apa kita pulang saja malam ini, yah?" tanya Farisha dengan rasa khawatir yang tinggi.     

"Iya, Tante ... mungkin lebih baik kalau kita segera pulang. Tapi bagaimana caranya? Apa bisa menelpon pak Lukman? Apakah beliau bisa dihubungi? Tapi mungkin akan memerlukan waktu yang lama. Mungkin kalau pak Lukman dihubungi sekarang, sampainya besok pagi. Dan harus menyetir lagi ke Jakarta. Ya kita mungkin sampainya bisa saja lusa," ungkap Usman, memperkirakan. Kalau tidak seperti ini keadaannya, mungkin ia juga tidak khawatir. Namun karena kondisi yang terdesak, membuat bingung.     

"Ah, ke mana harus mencari kendaraan? Apa kita naik kereta atau bis saja, yah? Tapi tidak tahu ke mana kita harus mencari terminal atau stasiun. Kalau ke bandara juga tidak mungkin karena di sini pasti tidak ada."     

Pria paruh baya yang mendengar apa yang dikatakan Farisha, mendekat ke arah wanita itu dan mengatakan, "Kalau mau ke Jakarta, di sini tidak ada angkutan yang cepat. Stasiun di sini tidak ada. Apalagi bandara, tidak tersedia di tempat yang seperti ini. Harus ke kota besar dulu kalau mau ke bandara. Itupun memakan waktu lama. Dan paling cepat, hanya bisa lewat bus transit. Tapi yah, datangnya nanti sore jam lima. Di sini juga bisa transit soalnya."     

Farisha merasa tertolong dengan kehadiran pria paruh baya itu. Ini adalah pertolongan yang tidak terduga. Apalagi di waktu yang sangat dibutuhkan, ada penolong yang dikirim Tuhan pada mereka. Walau hanya transit, tidak masalah, yang penting mereka bisa pulang dengan selamat dan lebih cepat. Walau mereka harus menunggu sampai besok. Sekarang hari masih siang dan harus menunggu sore hari nanti.     

"Terima kasih, Pak. Jadi apa kami juga harus beli tiket? Apa di sini jual tiketnya? Kalau iya, mohon pertolongannya, Pak," pinta Farisha dengan penuh harap. Ia harus pulang secepatnya dan harus menemui Azhari. Tidak ada jalan lain selain bertanya lagi.     

"Wah, kalau begitu sih kami nggak jual tiketnya, yah! Tapi saya bisa pesankan untuk kalian. Tapi yah, tahu sendiri, lah." Pria itu mengambil piring dan membawanya di tangannya. "Sebentar, yah! Saya masukan ini ke belakang. Jika sudah beres semua, kan kita bisa ngobrol dengan tenang."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.