Tante Seksi Itu Istriku

Pembicaraan Di Mobil



Pembicaraan Di Mobil

0Sikap orang-orang itu tiba-tiba berubah kepada Farisha. Saat mereka belum melihat wanita itu, orang-orang itu tidak menyangka kalau pengendara mobil itu adalah orang cantik. Mungkin akan berbeda jika orang yang keluar adalah seorang lelaki. Bisa saja mereka menghajarnya karena emosi.     
0

"Saya benar-benar meminta maaf atas kesalahan saya, Pak. Kalau begitu, aku harus membayar kerugian atas rusaknya fasilitas atau entah apa yang memang aku ganggu." Farisha tidak tahu harus dimulai dari mana, seakan orang-orang itu melihatnya dengan nyalang.     

"Oh, ini tidak perlu, Mbak. Kita nggak ada yang terluka sediktpun. Kan tadi sudah Mbak jelaskan kalau Mbaknya terpaksa. Kalau gitu, mari kita bantu parkirkan, Mbak!" ujar salah seorang pemuda yang menawarkan diri.     

Wanita itu merasa lega karena sikap mereka yang baik. Sementara sang suami yang masih sembunyi pun keluar dari mobil. Dengan keluarnya Usman, membuat orang-orang terbengong. Mereka tidak tahu kalau masih ada orang di dalam mobil.     

"Oh, Usman! Baru keluar, kamu? Dari tadi kamu ketakutan mulu!" ketus Farisha. "Pak, kalau begitu terima kasih, yah! Aku dan suamiku sedang buru-buru. Jadi hanya ini yang bisa aku berikan." Farisha mengambil uang beberapa lembar ratusan ribu kepada seorang yang terlihat paling tua.     

Sebagai seorang lelaki, seharusnya Usman membantu Farisha. Tapi ia malah ketakutan seperti itu. Saat orang yang diberi uang, ia menolaknya. Tentu akan disetujui oleh orang-orang itu. Karena orangnya cantik dan mengatakan alasan dikejar-kejar, membuat mereka luluh tanpa meminta ganti rugi. Walau Farisha juga tetap memaksanya untuk menerima.     

"Pak, mohon diterima, yah! Kalau misalnya kurang, tidak apa-apa, aku bisa memberikan lebih banyak lagi. Ini bisa untuk membeli kopi dan kacang untuk Bapak-bapak sekalian," ujar Farisha.     

Akhirnya mereka mengangguk kepada orang yang diberi uang itu. Maka uang itu diterima untuk membeli kopi atau makanan. Di gang sempit itu dihuni oleh orang-orang yang ekonominya menengah ke bawah. Mendapatkan uang, mereka cukup bersyukur. Walau hanya melihat Farisha juga merupakan satu hiburan tersendiri.     

Setelah memberikan uang itu, Farisha masuk ke dalam mobilnya untuk meneruskan perjalanan pulang. Ia memutar arah dengan dibantu oleh beberapa orang yang mengarahkan. Mereka yang menggunakan flash ponselnya untuk menerangi bagian yang gelap. Karena di tempat itu lampunya sedang mati dan belum diganti. Membuat mereka harus menggunakan flash ponsel.     

"Untunglah mereka baik pada kita. Jadi nggak dihukum atau dibawa ke tempat yang tidak diinginkan." Farisha keluar dari gang itu, melihat ke kiri dan ke kanan. Setelah dirasa aman, ia menyebrangi jalan dan berputar arah. Ia kembali ke tempat di mana mereka datang. Karena arah rumah Farisha memang bukan lewat jalan itu.     

"Kita kembali lagi, Tante? Apa kita nggak akan pulang ke rumah atau mau kembali menonton?" tanya Usman penasaran. Karena Farisha yang membawa mobilnya meninggalkan tempat itu kembali ke arah bioskop.     

"Lah, rumah kan memang arahnya ke sana, Man! Apa kamu lupa, sih? Oh, kamu nggak tahu jalan, aku sampai lupa. Lain kali, kamu juga harus menghafal jalan dan belajar menyetir. Eh, ngomong-ngomong, kamu bisa pakai motor, enggak?" Farisha menengok ke samping, Usman yang sedang melihat pemandangan di luar.     

"Eng ... enggak bisa kayaknya, Tante. Aku nggak pernah naik motor. Di desa nggak punya motor dan tidak pernah sempat untuk belajar. Padahal banyak teman-teman yang pada dibelikan motor." Teringat tentang hidupnya dulunya sudah harus bekerja saat ia lulus sekolah dasar. Bahkan saat sekolah pun ia sudah diajarkan oleh paman dan bibinya untuk berjualan. Ia berjualan makanan kepada teman-temannya.     

Kehidupan Usman saat masih kecil, terbilang sebagai masa-masa yang sulit untuk dilupakan. Karena ia sudah terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Membuatnya bertahan hingga saat ini. Untuk bisa makan pun ia dari kecil harus menghasilkan uang dengan berjualan. Pernah suatu hari ia menolong seorang gadis yang tingkahnya aneh dan sering dihina jelek oleh anak-anak sekitar. Seorang anak juragan cendol yang telah dijodohkan dengan Usman itu.     

Farisha melirik Usman yang terlihat melamun. Ia juga tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu. Tampak murung dan bersedih. Tapi Farisha tidak terlalu ingin perduli. Ia fokus menyetir mobilnya dengan benar. Agar ia bisa cepat sampai ke rumah.     

"Susah kalau harus ngajarin kamu. Aku juga tidak setiap hari bisa ke swalayan. Kalau bisa, kamu yang ngehandle swalayan itu. Kalau perlu kamu rekrut satu atau dua orang yang mau bekerja di sana. Mungkin karena Swalayan itu jarang buka, membuat orang-orang enggan untuk berbelanja. Mereka was-was kalau saat mereka sampai ke swalayan tapi swalayannya tutup."     

Usman memahami kekhawatiran Farisha. Memang benar apa yang dikatakan wanita itu. Untuk menarik pelanggan, membutuhkan ketelatenan dalam bekerja. Harus setiap hari membuka swalayan untuk selalu mendapat pelanggan. Karena banyak saingan yang setiap hari membuka lapaknya, hasilnya lebih banyak dan harus membutuhkan orang untuk membantu. Sedangkan swalayan Farisha, hanya orang-orang terdekat atau hanya orang lewat saja yang datang. Mereka tidak mau kecewa karena sudah jauh-jauh, akhirnya kecewa karena swalayan tidak buka hari itu.     

"Jadi ... aku harus belajar mengendarai motor atau mobil?" tanya Usman. '"Aku benar-benar tidak tahu semuanya. Orang sepeda saja aku tidak bisa membawanya."     

"Astaga! Usman! Bahkan kamu tidak bisa bersepeda. Gini, loh. Kamu kan harus memegang swalayan itu. Jadi kamu harus bisa menghitung uang. Dan mungkin kamu sudah bisa, bersikap ramah juga kamu bisa. Kamu juga bekerja keras. Tapi kamu tidak tahu cara memakai alat kasir. Itu yang harus kamu pelajari, Usman."     

Lelaki itu mengangguk. Selama ini ia hanya melihat Farisha yang melakukan semua yang mengenai perhitungan. Dirinya hanya membantu mengangkat dan menata barang. Serta bagian bersih-bersih tempat saja. Wajar kalau dia tidak tahu mesin kasir karena untuk menyalakan perangkat itu pun tidak tahu banyak. Walau ia sering melihat Farisha.     

Malam itu Farisha terus menjelaskan tentang bagaimana yang harus Usman pelajari. Itu juga berguna untuk hidupnya saat berpisah dengan Farisha. Jadi Usman sudah mendapatkan banyak ilmu.     

"Maafkan aku, Tante. Aku memang tidak bisa melakukan itu semua. Tapi aku akan berusaha apapun yang terjadi. Tante percaya saja padaku tentang itu." Walau agak takut juga, ia tidak akan menyerah sampai akhir. Terus berusaha pantang menyerah.     

"Iya, Man. Masa hanya jadi orang bodoh saja? Kan tidak baik jika kamu begini terus. Kamu juga bisa tunjukan pada pamanmu itu. Bagaimana kamu bisa hidup dengan sukses di kota. Mungkin kamu pendidikan hanya sampai sekolah dasar. Tapi setidaknya kamu sudah punya dasar ilmu yang kamu miliki. Dengan dasar ilmu itu, kamu bisa kembangkan sendiri di luar pendidikanmu. Banyak kok, orang yang hanya lulusan SD dan SMP tapi dia sampai bisa jadi seorang bos besar. Pendidikan memang penting. Tapi pendidikan saja tidak cukup. Harus ada pengalaman dan ilmu yang berguna agar bisa menghadapi persaingan bisnis ataupun."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.