Dunia Online

Patahkan Dulu Sebelah Tangannya



Patahkan Dulu Sebelah Tangannya

3Kota Rabat, Kasbah Udaya.     
1

Perang tidak akan berhenti hanya karena kejadian di dunia luar, perang juga tidak akan melambat hanya karena adanya idealisme pribadi. Ketika para Penguasa Mediterania tengah terlibat diskusi mendalam, Rabat tengah terbakar.     

Yang paling pertama runtuh adalah Kasbah Udaya.      

Menghadapi serangan diam-diam yang terencana dengan matang, Kasbah Udaya terlihat tidak berdaya. Meriam yang berjumlah sekitar 20an di atas benteng hanya bisa menembak sebanyak dua kali sebelum akhirnya hancur. Dengan begitu, mereka telah kehilangan satu-satunya jalan untuk balik menyerang.      

Tembakan meriam Squadron Mediterania yang bertubi-tubi melintasi tembok kota dan meledak di dalam benteng.      

Peluru meriam yang kejam seakan memiliki mata saat mereka terus mengincar para prajurit Pasukan Pengawal di dalam kota. Sebelum mereka bisa melawan, mereka sudah menderita kerugian berat.     

Yang terjadi berikutnya adalah kekacauan massal.     

Kasbah yang sempit diserang dari segala arah dan dikepung oleh peluru meriam yang tidak terhitung banyaknya, dan tidak ada lagi tempat yang aman. Ini benar-benar merupakan pertempuran yang berat sebelah.     

Squadron Mediterania telah merencanakan semuanya dengan terlalu baik. Sebelum pertempuran dimulai, Alvaro menggunakan informasi yang telah mereka terima, sehingga dia tahu kapal dan meriam apa yang tepat untuk digunakan dalam menyerang target tertentu.      

Pasukan yang melindungi Kasbah berada dalam kondisi yang sangat buruk. Tanpa daya, mereka hanya bisa menyerahkan Kasbah Udaya dan mundur ke Ibu Kota Kerajaan. Jika mereka bertahan di sana, mereka hanya akan dikubur bersama dengan Kasbah Udaya.     

Dalam waktu kurang dari satu jam, Kasbah Udaya yang dianggap sebagai benteng besi dari Rabat telah jatuh ke dalam lautan api dan dibakar hingga menjadi reruntuhan. Perang sangat kejam dan begitu juga dengan api.     

Kurang dari 40 ribu Pasukan Pengawal melarikan diri dari dalam Kasbah Udaya, dan masing-masing dari mereka sudah menjadi hitam oleh asap. Tapi bagi mereka, bencana baru saja dimulai.     

Kasbah Udaya dibangun pada sebuah tanjung, dan di sana hanya ada satu jalan sempit menuju jalan utama. Agar mereka dapat mundur, mereka harus melewati jalur tersebut. Bagaimana mungkin Squadron Mediterania akan melewatkan kesempatan seperti itu untuk menyerang mereka?     

Begitu mereka berjalan keluar dari gerbang Kasbah, tembakan meriam segera merubah sasaran dan mengikuti mereka.     

'Duar! Duar! Duar!'      

Kurang lebih di waktu yang sama dengan ketika Pasukan Pengawal menerobos keluar, peluru-peluru meriam meledak di tengah formasi pasukan. Para prajurit yang sial langsung terkenal tembakan langsung, sementara yang cukup beruntung jatuh dan terluka.     

"Brengsek!" Bagaimana mungkin ini bisa disebut jalan untuk mundur? Ini lebih mirip jalan menuju neraka.     

"Serbu, mari kita berjuang untuk bisa bertahan hidup!"      

Jenderal dari Pasukan Pengawal tersebut memutuskan untuk mencoba peruntungannya ketika dia melihat bahwa tidak ada lagi jalan keluar. Yang lebih berani akan menyerbu di barisan paling depan untuk mendapatkan kesempatan bertahan hidup, sementara pengecut hanya akan mati.     

"Serbu!"      

Sekelompok Pasukan Pengawal tanpa jalan keluar dengan gigih melewati tembakan meriam dan melangkah di jalur yang sudah ditakdirkan akan penuh oleh darah. Di jalur mereka, peluru meriam terus berjatuhan dan darah serta daging bertebaran ke segala arah. Terkadang, bisa dilihat sosok prajurit yang terlempar ke udara dengan darah menyembur ke semua arah.     

Bahkan jika mereka melompat ke lautan, sangat sulit bagi mereka untuk dapat meloloskan diri. Squadron Mediterania bukan hanya dipersenjatai oleh meriam, tapi ada juga puluhan ribu prajurit yang bersiaga dengan panah mereka.      

Tanjung yang kurang dari lima kilometer telah dipenuhi oleh darah dan mayat yang dilempar ke semua arah. Tempat ini bagaikan neraka dunia. Bahkan air laut di sekitar mereka juga diwarnai oleh warna merah pekat. Hanya satu dari sepuluh yang bisa beruntung untuk bertahan hidup.     

Ketika Pasukan Pengawal lolos dari jarak tembak meriam, kurang dari lima ribu yang berhasil bertahan hidup. Meski begitu, banyak dari mereka yang terluka, dan jenderal mereka bahkan telah tewas.     

Kedua belah pihak bahkan belum berhadapan secara langsung, tapi Pasukan Pengawal Maroko telah kehilangan 20% dari jumlah mereka.      

Kekuatan dari meriam memang sebesar itu.     

Wajah para prajurit yang tersisa sudah terlihat pucat pasi, dan beberapa dari mereka bahkan melihat kembali ke arah jalur yang baru saja mereka lewati. Melihat mayat-mayat dari kawan mereka, mereka semua segera memuntahkan isi perutnya. Yang mereka sesalkan sekarang mungkin adalah sarapan.     

Bahkan jenderal yang telah berpengalam sekalipun belum pernah melihat pertempuran sedahsyat ini. Pertempuran itu bahkan sudah bukan lagi sebuah pembantaian; ini hanyalah pembunuhan tanpa ampun.      

Pasukan Pengawal Maroko tidak memiliki cara untuk melawan, sehingga mereka hanya bisa menerimanya dan menggunakan tubuh mereka untuk menahan serangan dan berusaha terus melarikan diri.      

Meski begitu, seorang prajurit benar-benar merasa bersyukur. "Setidaknya kita selamat? Ini saja sudah merupakan sebuah mukjizat."     

Setelah beristirahat, Pasukan Pengawal Maroko kembali bergerak.      

"Maju, menuju gerbang kota!"     

Prajurit yang tersisa tidak berani lagi mendekati gerbang utara Ibu Kota Kerajaan karena area itu masih dipenuhi tembakan meriam. Mereka memutuskan untuk memutar menuju gerbang barat. Legiun Perang Dinasti Xia Raya masih belum tiba, sehingga mereka cukup beruntung dan berhasil masuk ke dalam kota.     

Setelah mengetahui bahwa Kasbah Udaya telah jatuh dan 50 ribu Pasukan Pengawal telah nyaris hancur sepenuhnya, wajah Mohammed VI terlihat pucat pasi. Dia merasa Maroko tidak akan bisa lolos dari bencana ini.      

Babak pertama Perang Negara berakhir dengan kekalahan mutlak dari Maroko!     

…     

Setelah selesai merebut Kasbah Udaya, Divisi 2 Squadron Mediterania berlayar menuju Sungai Bou Regreg.     

Ketika Divisi 1 melihat hal tersebut, mereka menghentikan serangan mereka di tembok utara dan terus naik ke arah hulu. Dalam waktu singkat, mereka sudah membuat banyak lubang di tembok utara. Terdapat tidak kurang dari 20 lubang besar, dan gerbang kota kurang lebih sudah menjadi tanah datar sekarang. Puluhan ribu rakyat jelata terkena meriam dan tewas di tempat.      

Di hadapan Dinasti Xia Raya terdapat sebuah kota yang tidak berdaya.      

Ketika Mohammed VI melihat hal tersebut, selain menyimpan 50 ribu Pasukan Pengawal untuk mempertahankan istana dan 50 ribu lainnya untuk mempertahankan ketiga tembok kota, dia sendiri memimpin 100 ribu prajurit untuk mempertahankan wilayah utara.      

Mereka akan menggunakan rumah-rumah di dalam kota dan jalanan sebagai dasar untuk mendirikan garis pertahanan. Jika tidak, maka perang ini tidak bisa diperjuangkan.      

Sedangkan untuk pertahanan dari ketiga sisi tembok lainnya, Mohammed VI hanya bisa mengandalkan para Petualang.     

Dalam waktu satu jam, 500 ribu pemain telah berteleportasi dari Kota Satelit. Para guild di Maroko telah mencapai kesepakatan. Dengan dipimpin lima pemimpin guild terkuat sebagai inti, mereka menciptakan aliansi guild untuk memimpin semua pemain menuju kota dan mempertahankannya.     

Bagi semua orang, mereka tidak memiliki jalan keluar.      

Satu-satunya jalan hanyalah bertarung sampai mati. Karenanya, yang terjadi selanjutnya adalah pertempuran pertahanan; inilah babak kedua dari Perang Negara ini.     

…     

Sedangkan alasan kenapa Divisi 1 Squadron Mediterania bergerak ke hulu sungai, itu adalah untuk menyerbu Kota Satelit. Tanpa menyingkirkan Kota Satelit, Legiun Perang merasa tidak yakin dapat bertarung habis-habisan dengan Rabat.     

Jika mereka tidak menyingkirkan faktor yang satu ini, apa yang akan terjadi jika banyak pemain Maroko mendadak berteleportasi ke sana ketika mereka tengah menyerang Rabat? Pasukan ekspedisi ini tentu saja tidak akan melakukan kesalahan umum seperti ini.     

Sebelum menyerang Rabat, mereka harus menghancurkan Formasi Teleportasi di dalam Kota Satelit. Kali ini, Kota Satelit akan ikut menjadi hancur.     

Para pemain di dalam Kota Satelit sedang berada dalam kondisi berdesak-desakan, jadi bagaimana mungkin mereka berani tetap tinggal di sana ketika tiba-tiba muncul tembakan meriam? Mereka semua segera berdesak-desakan ke dalam Formasi Teleportasi. Hal tersebut menjadi sebuah kekacauan besar yang nyaris berakhir dengan para pemain yang saling mendorong.      

Di waktu seperti ini, para pemain hanya ingin menyelamatkan nyawa mereka, dan mereka tidak mau mengantri. Hanya ada satu Formasi Teleportasi, sehingga di sana semua orang saling berdesakan, mendorong dan menginjak. Sehingga yang terjadi adalah para pria berteriak, para wanita menjerit, manula saling berdebat, anak kecil menangis, dan sejenisnya; semuanya benar-benar kacau.     

Anak- anak kecil yang tidak berdaya gemetar ketika mereka terjepit di dalam kerumunan. Selain dari orang tua mereka, tidak ada lagi yang memedulikan anak-anak kecil tersebut.      

Di saat seperti ini, tidak ada siapa pun yang bisa bersikap tenang. Keburukan umat manusia seringkali akan muncul di saat seperti ini.     

Untunglah, di saat-saat paling krusial, tetap ada orang-orang yang masih bisa bersikap tenang di dalam Kota Satelit.     

Setelah menerima berita tersebut, Guild Pelindung segera maju, mereka membentuk regu elit untuk mempertahankan ketertiban. Siapa pun yang memotong antrian akan dilempar ke barisan paling belakang. Jika ada yang tidak terima, mereka akan dimandikan dengan darah sebagai peringatan.     

Kedua pemain yang paling berisik langsung dibunuh di tempat. Darah mereka mengalir dan mayat mereka hanya terbaring begitu saja di atas tanah. Pada waktu seperti ini, jika mereka tidak membunuh orang-orang itu, mereka tidak akan bisa memberikan peringatan pada yang lain dan menenangkan semua orang.     

Seperti yang diharapkan, dengan dukungan dari Guild Pelindung, situasi itu berangsur-angsur menjadi terkendali. Jika para pemain Maroko saling membunuh satu sama lain demi dapat menggunakan Formasi Teleportasi lebih cepat, maka mereka tidak akan bisa membuka mata mereka di dunia [1][1]     

Dalam waktu singkat, beberapa ratus orang mengalami luka-luka karena diinjak orang-orang. Ketika para pemain yang sudah menjadi tenang melihat hal tersebut, mereka semua merasa malu. Para anak muda bahkan mengizinkan para manula dan anak-anak untuk berteleportasi terlebih dulu.     

Para pemain dengan profesi Dokter memutuskan untuk tetap tinggal demi merawat yang terluka.      

Kejayaan dan cahaya kemanusiaan kembali bersinar sekali lagi.     

Para pemain tidak menyangka bahwa mereka akan menjadi begitu gila hingga kehilangan akal sehat. Ini semua adalah karena perang yang terjadi dengan tiba-tiba yang membuat mereka tegang dan tidak terkendali.     

Jika tidak, para pemain tidak akan menjadi begitu panik hanya karena satu putaran tembakan meriam. Tidak peduli sekuat apa pun meriam yang dimiliki Squadron Mediterania, tetap saja memiliki kemampuan terbatas untuk menyerang bagian dalam kota.      

Meski begitu, para pemain Kota Satelit tetap mempercepat kecepatan langkah mereka dan tidak merasa ragu. Melihat situasi sekarang, tidak ada artinya bertahan di dalam kota. Daripada begitu, kenapa tidak mundur saja ke dalam Ibu Kota Kerajaan?     

Dinasti Xia Raya yang cermat dan penuh tipu daya membuat semua penduduk Maroko merasa ketakutan.      

Pada pukul 10 pagi, selain dari sedikit orang yang masih berada di dalam Dunia Bawah Tanah, seluruh Kota Satelit bisa dibilang telah dikosongkan     

[1] ungkapan yang berarti mereka tidak bisa lagi menunjukkan diri di dunia karena malu     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.