Memanggil Pedang Suci

Sebuah Kejutan



Sebuah Kejutan

0"Apa-apaan ini?"     
0

Ketika masuk ke dalam aula markas, Rhode memandang dekorasi dinding yang baru dengan wajah yang heran. Dekorasi tersebut berupa lukisan pemandangan-pemandangan Kota Deep Stone. Gunung yang menembus awan, tambang bawah tanah yang dalam dan tak berujung, taman tengah kota dan pemandangan indah yang ada di dekat markas kelompok Starlight. Lukisan-lukisan itu memberikan kesan hangat terhadap aula yang luas tersebut.     

Tapi darimana asal ukisan-lukisan ini?     

Rhode mengerutkan keningnya saat memikirkan hal tersebut. Seingat Rhode, dia tidak pernah membeli lukisan-lukisan seperti ini. Apakah Marlene dan kawan-kawan yang membeli lukisan-lukisan ini? Sepertinya tidak mungkin. Sebagai wakil kapten, Marlene sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga dia tidak mungkin sempat membeli sesuatu yang remeh seperti ini.     

"Apa kalian tahu darimana asal lukisan-lukisan ini?"     

Rhode membalikkan badan dan bertanya kepada prajurit bayaran lainnya. Shauna dan Kavos saling melirik dan menggeleng. Mereka berdua adalah prajurit bayaran biasa yang tidak tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan seni. Di sisi lain, Lapis tentu tidak akan menyadari perubahan di aula karena dia lebih senang mengurung diri di kamarnya sepanjang waktu.     

Tapi kalau begitu…Darimana sebenarnya asal lukisan-lukisan ini?     

Pertanyaan Rhode terjawab ketika seseorang mendadak muncul di hadapan mereka.     

"Ah, Tuan Rode, kawan-kawan…Akhirnya kalian kembali."     

Marlene sedang membawa sekumpulan gulungan ke aula. Dia terkejut ketika melihat bahwa Rhode dan prajurit bayaran lainnya telah kembali. Marlene pun segera menyapa mereka.     

"Apakah misinya berjalan dengan baik?"     

"Ya, misinya berjalan dengan cukup lancar. Bagaimana kabarmu? Bagaimana dengan latihan kalian selama 10 hari terakhir ini?"     

"Latihannya berjalan dengan sangat baik, Tuan Rhode. Semua orang hampir menguasai gaya bertarung yang baru. Kami akan segera menunjukkan hasil latihan padamu."     

Marlene tersenyum dengan penuh percaya diri ketika melaporkan hal tersebut kepada Rhode. Mereka memang telah berkembang dengan pesat setelah menjalani latihan yang keras. Terutama Marlene. Dia adalah orang yang mendapatkan banyak pengalaman bertarung dari latihannya.     

"Bagus, aku akan menantikan hasilnya….Tapi…"     

Rhode mengangguk puas. Setelah itu, dia menunjuk lukisan-lukisan di dinding aula.     

"Darimana asal lukisan-lukisan ini? Seingatku aku tidak pernah membelinya."     

"Fufufu…"     

Marlene tertawa dengan lembut sehingga Rhode kaget. Setelah itu, Marlene menjawab pertanyaan Rhode dengan angkuh.     

"Semua lukisan ini digambar oleh Christie."     

"Eh?"     

Rhode terkejut ketika mendengar jawaban Marlene. Gillian bahkan melompat ke dinding dan mulai mengagumi lukisan-lukisan itu dari dekat.     

"Jadi, semua lukisan ini digambar oleh Christie? Wow, indah sekali….Aku tidak tahu jika Christie memiliki bakat melukis seperti ini…"     

Rhode bahkan juga heran. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Christie memiliki bakat melukis seperti ini. Selama ini, Rhode hanya mengkhawatirkan tubuh Christie yang lemah sehingga dia selalu menyuruh Christie beristirahat dan tidak terlalu banyak beraktivitas. Alis Rhode berkerut ketika memikirkan hal tersebut. Lukisan-lukisan itu memang terlihat indah. Tapi di saat yang bersamaan, dibutuhkan waktu yang lama untuk membuat lukisan-lukisan itu. Jangan-jangan Christie….     

Ketika melihat wajah Rhode, Marlene buru-buru menjelaskan.     

Sebenarnya, ketika Rhode pergi, Marlene dan lainnya berlatih di dalam fatamorgana sesuai dengan perintah Rhode. Sedangkan Christie, seperti biasanya, mengurung diri di kamarnya untuk beristirahat. Meskipun Christie adalah gadis yang penurut, namun menghabiskan waktu sendirian di kamar tanpa melakukan apa-apa jelas membuatnya bosan. Selain itu, Rhode sedang pergi sehingga Christie merasa tidak nyaman. Walaupun Lize, Anne dan Marlene sering datang menemani Christie di waktu senggang, namun Christie hanya merasa nyaman ketika berada di samping Rhode.     

Pada suatu hari, Christie tiba-tiba mengatakan bahwa dia ingin menggambar. Permintaan ini membuat Marlene dan yang lainnya terkejut. Namun mereka tidak langsung menolak. Lagipula,Christie tidak perlu berdiam diri di kamar tanpa melakukan kegiatan apapun. Setelah Christie mengetahui apa yang ingin dia lakukan, maka Marlene dan lainnya tidak akan menghentikannya. Oleh karena itu, Marlene dan yang lainnya membantu Christie membeli beberapa peralatan melukis agar dia bisa menggambar sepuasnya.     

Christie pun menunjukkan bakatnya sehingga semua orang terkejut.     

Walaupun dia belum pernah melukis sebelumnya, Christie ternyata mampu melukis dengan sangat baik. Ketika dia sedang melukis, Christie melakukannya dengan sangat mahir. Christie sendiri bahkan tidak menyadarinya. Ketika Marlene menanyakannya tentang hal tersebut, Christie terlihat bingung seolah-olah Marlene sedang menanyakan hal yang aneh.     

"Jujur saja, sejak awal, kami semua sangat terkejut. Namun…kami sudah terbiasa sekarang. Christie tidak hanya bisa melukis dengan bagus. Tapi dia bisa melukis dengan sangat cepat. Dia hanya membutuhkan waktu 2 hingga 3 jam untuk menyelesaikan satu lukisan. Selama 10 hari terakhir ini, hubungan kami dengan Christie semakin erat. Lize tentu juga terus mengawasinya agar Christie tidak kelelahan menjalakan hobi barunya. Oleh karena itu, kau tidak perlu khawatir, Tuan Rhode."     

"Yah. Baguslah kalau begitu."     

Setelah mendengar penjelasan Marlene, wajah Rhode berubah menjadi lega. Ketika melihat wajah Rhode, Marlene ikut lega. Dia benar-benar sangat peduli pada Christie.     

Ketika memikirkan hal tersebut, perasaan aneh muncul di dalam hati Marlene. Tapi dia berusaha untuk segera menyingkirkan perasaan tersebut. Saat itu, Rhode kembali bertanya.     

"Apakah ada lukisan yang lain?"     

"Eh?"     

Wajah Marlene agak berubah. Kemudian, dia mengerutkan keningnya ketika mengingat sesuatu.     

"Memang ada lukisan lainnya, tapi…"     

Marlene terlihat ragu. Kemudian, dia menghela napas panjang.     

"Aku rasa Tuan Rhode lebih baik melihatnya sendiri."     

Kamar Christie terlihat lebih cerah sekarang. Rak kayu besar yang digunakan untuk cat lukisan diletakkan di depan tempat tidur Christie. Cat dengan berbagai warna diletakkan di sampingnya. Ruangan itu juga dipenuhi oleh berbagai kanvas putih. Beberapa lukisan tersebut masih berbentuk sketsa. Beberapa lukisan yang lainnya sudah selesai.     

Tapi tujuan Marlene membawa Rhode ke kemar Christie bukan untuk memperlihatkan kondisi kamarnya yang sekarang.     

"Aku rasa kau telah melihat lukisan-lukisan Christie, Tuan Rhode."     

"Benar."     

Rhode mengangguk. Kemudian dia bertanya pada Marlene dengan heran.     

"Apakah ada masalah dengan lukisannya?"     

"Beberapa lukisan tidak masalah…Tapi ada beberapa lukisan yang bermasalah…"     

Marlene terdengar ragu sehingga Rhode semakin bingung ketika mendengar ucapannya. Namun, Marlene akhirnya berjalan ke arah kumpulan kanvas dan menyerahkan salah satu kanvas tersebut pada Rhode.     

"Sebenarnya, selain lukisan-lukisan ini, Christie juga menggambar lukisan yang lain…"     

Marlene tidak menjelaskan dengan detail sehingga Rhode semakin penasaran. Dia mengambil gulungan yang diserahkan oleh Marlene dan membukanya. Setelah melihat isinya, kening Rhode berkerut.     

Berbeda dengan lukisan-lukisan di aula, lukisan yang dipegang oleh Rhode menunjukkan pemandangan yang sangat berbeda. Tanah hitam yang terhampar di bawah langit merah darah dan dikelilingi oleh pegunungan. Pegunungan itu dipenuhi dengan pohon-pohon layu dan tulang belulang. Cairan merah mengalir turun, entah itu darah atau lava. Dari kejauhan, ada bangunan tinggi samar-samar yang tersembunyi di balik asap debu. Dilihat pertama kali, lukisan ini menggambarkan sensasi suram dan sunyi.     

"Tidak hanya itu, ini juga…"     

Ketika Marlene bicara, Rhode mengambil gulungan itu satu per satu. Lukisan-lukisan yang dia lihat kurang lebih sama dengan lukisan pertama. Ada sedikit perbedaan dalam beberapa detail. Sebuah istana rusak yang dibangun di atas tumpukan tulang putih. Satu sosok tak diketahui tergantung di sebuah pohon mati yang membusuk. Sungai hitam berubah menjadi danau – semua lukisan itu dipenuhi oleh tangan-tangan yang terlihat menderita.     

"Lukisan-lukisan ini juga digambar oleh Christie?"     

Akhirnya Rhode mengerti kenapa Marlene terlihat gelisah. Jika lukisan-lukisan ini memang digambar oleh seorang gadis kecil, maka orang-orang jelas akan merasa ngeri. Lukisan Christie memang sangat bagus sehingga pada orang-orang akan mengira bahwa mereka sedang melihat sebuah foto pemandangan, bukan lukisan. Oleh karena itu, lukisan-lukisan ini lebih mirip dengan proyeksi dari dunia lain daripada karya seni biasa.     

"Benar. Tapi Christie sepertinya juga tidak tahu bagaimana dia bisa menggambar lukisan-lukisan seperti ini. Aku telah meminta Lize bertanya kepadanya namun Christie sendiri juga merasa heran. Dari penjelasannya, pemandangan-pemandangan dalam lukisan-lukisan tersebut sepertinya muncul begitu saja dalam pikirannya. Dan hal itu membuatku khawatir, Tuan Rhode….Selain itu, Christie juga terlihat sangat takut setelah menyelesaikan lukisan-lukisan ini. Bahkan, dia tidak bisa tidur karena takut dengan lukisannya sendiri. Ini…"     

Rhode tidak mendengar apa yang Marlene katakan selanjutnya karena dia memfokuskan perhatiannya pada gulungan yang ada di depannya. Lukisan-lukisan ini terlihat realistik. Entah kenapa Rhode sepertinya mengenali tempat - tempat yang digambarkan.     

Di mana tempat-tempat ini sebenarnya?     

Rhode memutar gulungan di tangannya. Dia berusaha mencari tahu tempat di dalam lukisan itu sambil mengingat pengalamannya di dalam game.     

Tapi sebelum Rhode bisa mengingat tempat tersebut, Gillian sudah melompat ke sampingnya. Kemudian, dia mengamati gulungan yang ada di tangan Rhode dan menggoyang telinganya dengan pelan.     

"Astaga, bukankah itu Infernal Abyss?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.