Singgasana Magis Arcana

Pengetahuan



Pengetahuan

0

Sinar matahari sore menerangi bar yang bising. Para bard sedang bernyanyi dan tentara bayaran pun sedang berbicara dengan keras. Lucien menyadari ada wanita cantik yang sedang duduk di samping meja bar.

0

Setelah menerobos kerumunan, Lucien akhirnya berhasil berjalan berdesakan menuju kasir.

"Mau minum apa?" Cohn bertanya tanpa mengangkat kepalanya yang dipenuhi rambut.

"Ini aku, Lucien."

Cohn terkejut ketika melihat wajah Lucien.

"Apa yang terjadi pada dirimu?" Jenggotnya tampik miring karena dia merasa khawatir, "Tunggu ... Jackson datang dan bertanya soal dirimu tadi. Kau ada masalah, Nak?"

Lucien tak mau menceritakan lagi apa yang terjadi. "Aku tak apa, Cohn. Masalahnya sudah selesai ... Aku ke sini untuk mencari guru yang bisa mengajariku membaca."

"Wow! Kau berhasil?! Kau tak merampok bandit, 'kan?" Sekarang Cohn bahkan merasa lebih terkejut lagi.

Lucien tak punya pilihan lain selain menjelaskan apa yang terjadi secara singkat pada Cohn. Setelah mendengar cerita Lucien, Cohn merasa sangat terkesan.

"Lucien! Kau dan John sudah jadi lelaki sejati sekarang! Aku bangga pada kalian!" Sambil meneguk birnya, wajahnya memerah, "Tapi hati-hati, baik kau dan John. Meski kemungkinannya kecil, tapi mereka berani balas dendam pada pengawal kesatria. Tetap waspadai para bajingan itu. Kau tak pernah tahu."

Lucien mengangguk dengan serius.

Cohn mengeluarkan secarik kertas, di mana ada daftar pola dan simbol aneh. "Aku tak bisa baca." Dia tertawa dan melanjutkan, "Tapi sebagai pemilik bar, kau harus mencatat sesuatu untuk membantumu mengingat."

Dalam daftar itu, ada sekelompok sarjana yang terdaftar di sini dan bersedia mengajar. Saat Cohn membaca nama mereka keras-keras, Lucien mengenali nama tak asing, yang tertulis pada catatan di samping daftar.

"Victor? Kau bilang Pak Victor?" Lucien menghentikan Cohn.

"Iya, kau kenal?"

"Aku bertemu dia sekali di asosiasi." Lucien menatap namanya, "Tapi dia seorang musisi, 'kan? Kau juga menaruh catatan di samping namanya."

Sambil memutar kumisnya, Cohn melihat lagi daftar itu dan mengangguk. "Iya, ini Victor yang sama dengan yang kau bicarakan."

"Aku dengar dia akan melakukan sebuah pementasan di Aula. Terakhir kali aku melihatnya ... dia lumayan sibuk."

Cohn tertawa. "Maka dari itu dia harus melakukannya. Punya kesempatan tampil di Aula Mazmur itu bahkan lebih sulit dari yang kau bayangkan. Aku dengar ini dari tamu lain juga." Cohn naik ke atas kursi bar, "Enam bulan lalu, Pak Victor dapat undangan dari Aula. Sejak saat itu, dia menolak semua pertunjukan lain, bahkan pertunjukan di Syracuse, agar bisa fokus pada pertunjukan itu. Dia menguras tabungannya beberapa bulan terakhir ini." Cohn mengangkat bahunya.

"Tapi kenapa dia tak cari pekerjaan yang berhubungan dengan musik saja?" Lucien bertanya.

"Aku tak tahu, Nak." Cohn meneguk lagi birnya, "Para musisi itu ... biasanya sangat sensitif, bahkan terkadang bisa disebut gila. Aku kira mungkin Pak Victor butuh sesuatu sebagai selingan. Siapa tahu, namanya juga seniman."

Pak Victor membuat Lucien terkesan terakhir kali saat mereka bertemu di Asosiasi. Dibanding dengan orang lain yang bahkan dia tak tahu, Lucien rasa musisi itu akan jadi pilihan yang baik.

"Bagaimana aku bisa menemui Pak Victor?" tanya Lucien.

...

Kawasan Gesu dinamakan dari instrumen yang paling terkenal, biola Gesu,. Kawasan ini juga jadi tempat di mana para musisi berkumpul di Aalto.

Pepohonan yang besar berdiri di kedua sisi jalan. Lewat ranting-ranting pepohonan itu, cahaya matahari tersebar jadi kepingan emas yang sedikit bergetar dan membentuk pola di tanah. Cahaya itu berbaur dengan bayangan pohon. Jalanan seakan tampak seperti sebuah lukisan.

Lucien butuh waktu cukup lama untuk menemukan alamat yang diberikan Cohn. Setelah tersesat beberapa kali, akhirnya dia berdiri di depan rumah Victor, Jl. Snehva, 12.

Bangunannya terdiri dari dua lantai dan diselimuti oleh tanaman hijau yang merambat. Semuanya tampak tenang dan elegan disini. Jika semuanya berjalan lancar, Lucien bisa belajar membaca untuk dua bulan ke depan. Ini tentu akan dapat membantu Lucien mengubah hidupnya.

Sambil mengetuk pintu dengan pelan, Lucien merasa agak gugup. Tak lama, seorang pelayan muncul di balik gerbang besi. Setelah melihat Lucien, pemuda yang memakai baju lusuh dan tua itu mengerutkan kening.

"Iya?" Dia bertanya dengan nada dingin.

Setelah Lucien menjelaskan, dia masih sedikit ragu, "Lima nar sebulan. Bayar dulu. Kau yakin?"

Lucien sudah menduga, kemudian dia mengeluarkan uang dari tasnya. "Aku yakin."

Pelayan itu tampak terkejut. Dia tak bisa percaya kalau pemuda miskin ini mampu membayar biayanya. Sebagai pelayan seorang musisi terkenal, dia memperoleh 10 nar sebulan dan dia hanya bisa menabung satu nar sebulan, terkadang bahkan kurang dari satu nar.

"Tuan Victor senang dengan reputasinya yang tinggi. Dia punya beberapa kenalan di balai kota." Sambil membuka gerbang, pelayan itu masih menatap Lucien dengan curiga. Siapa yang tahu dari mana pemuda miskin ini dapat uang sebanyak itu, pikirnya dalam hati.

Lucien hanya tersenyum tanpa bicara apapun. Sikap pelayan ini sudah diduganya. Tersinggung? Hanya orang kaya dan penguasa yang berhak untuk tersinggung.

Lucien mengikuti pelayan itu melewati taman dan berhenti di depan pintu gerbang. Dia kemudian menunggu disana. Beberapa menit kemudian, pelayan itu muncul lagi.

"Ikuti aku ke dalam. Nanti kau bisa berikan uang belajarnya pada Pak Athy, pelayan itu."

Aulanya cukup luas, didekorasi dengan meja teh, beberapa sofa coklat, dan meja kecil. Di seberang ruangan ada meja makan panjang, terbuat dari kayu warna kuning kemerahan yang halus.

Victor juga punya beberapa murid di sini. Ruang kerjanya terlalu kecil untuk mereka semua. Jadi mereka hanya duduk di aula. Ada lima lelaki dan tiga wanita di sana. Semua murid Victor cukup muda, mungkin antara 13 dan 20 tahun.

Pena bulu dan kertas-kertas tergeletak di depan mereka di atas meja bulat kecil. Beberapa murid sedang menyalin sesuatu, sementara beberapa murid sedang bersenandung atau membaca dengan suara lirih.

Menurut pengamatan Lucien, para murid Victor juga berasal dari latar belakang yang berbeda. Beberapa murid dilahirkan dari kelas bawah dan beberapa murid lain berpakaian cukup bagus. Kategori yang terakhir biasanya dari keluarga bangsawan. Sebagian besar murid bangsawan itu tak memenuhi syarat untuk mewarisi gelar keluarga dan tak dapat mengaktifkan 'Berkah' juga . Bagi anak-anak itu, menjadi musisi yang bisa bersikap baik adalah pilihan yang bagus.

Pak Victor, yang mengenakan jaket merahnya, sedang mondar-mandir dan membantu para murid satu per satu.

Setelah melihat sekeliling, Lucien melihat seorang pelayan dengan jas hitamnya yang cukup bagus. Dari rambut hitam dan putih di kepalanya dan wajahnya yang keriput, orang bisa tahu kalau dia sudah tak muda lagi. Pelayan itu sedang berdiri tegak di sana dengan serius.

Pelayan itu tampak seperti pria terhormat, pikir Lucien. Lucien berjalan ke arahnya dan bertanya dengan suara pelan.

"Maaf, apa kau Pak Athy?"

"Ya, benar. Boleh kutahu siapa namamu dan sejarah pendidikanmu? "

"Ya, tentu ... Aku Lucien. Lucien Evans. Aku tak pernah belajar membaca sebelumnya." Saat sedang bicara, Lucien mengeluarkan lima nar .

Setelah mengambil uang itu, Athy merasa terkesan. Rupanya, pemuda ini berasal dari kawasan miskin. Sebagian besar pemuda di Aderon sangat kasar, kalau berdasark pengalamannya, sementara Lucien cukup sopan dan dewasa.

Athy kemudian berjalan menghampiri Victor dan berbisik singkat. Victor berbalik dan mengangguk ramah pada Lucien, kemudian Victor menunjuk ke kursi kosong.

Para murid itu baru saja menyadari kehadiran Lucien. Mereka sedang menatap penasaran teman sekelas mereka yang berdiri di pintu itu. Rambut hitam, mata, dan garis wajah yang terbentuk dengan baik ... Pemuda baru ini punya wajah tampan, tapi dia memakai pakaian linen dan sepatu biasa. Meskipun terlihat bersih, tapi para murid tahu dari pandangan pertama jika Lucien berasal dari keluarga miskin.

"Orang miskin mau belajar membaca?" Itulah pemikiran pertama mereka.

Tak lama, sebagian besar murid menundukkan kepala dan kembali belajar lagi. Hanya murid dari keluarga biasa lah yang masih mengintip dan menatapnya lekat.

Begitu Lucien duduk, lelaki di sampingnya bergerak sedikit menjauh tanpa sadar seolah-olah Lucien bau.

Lucien tak merasa tersinggung. Dia mengibaskan tangannya pelan dan mengeluarkan kertas serta pena bulu baru. Kertas dan pena bulu ini baru. Lucien membelinya dengan fell yang tersisa.

Victor menghampiri Lucien beberapa saat kemudian dengan membawa sebuah buku hitam bersampul tebal di tangannya.

"Pengucapan standar Lingua Franca dan Tata Bahasa Dasar. Buku ini sangat cocok bagi pemula. Buka halaman 1, bab 1. Kita mulai dari pelafalan 32 huruf," kata Victor dengan lembut.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.