Singgasana Magis Arcana

Ini Takdir



Ini Takdir

0

Ini adalah pertama kalinya Lucien, seorang pria pemalu dan agak tertutup, mengekspresikan seluruh emosinya melalui musik. Kegigihan dan keyakinan Lucien ditampilkan sepenuhnya dalam permainannya.

0

Meskipun Lucien masih tidak terlalu terampil, hal itu tidak mempengaruhi para penonton di ruangan ini. Felicia, Lott, Herodotus, Rhine dan, tentu saja, Victor, semua merasakan apa yang ingin dikatakan Lucien kepada mereka, meskipun mereka memiliki pemahaman yang berbeda.

Felicia, sebagai satu-satunya gadis disini, menggenggam kedua tangannya dan menekuk jari-jarinya. Ayahnya tidak mewarisi gelar keluarga, jadi dia hampir menyerah tentang impian musiknya dan berniat menikah saja dengan sembarang bangsawan. Dia sering meragukan dirinya sendiri, bertanya pada dirinya sendiri apakah dia benar-benar dapat mewujudkan impiannya, apakah pilihannya benar.

Mendengar permainan Lucien yang penuh dedikasi, membuat semua kekhawatirannya muncul dalam kepalanya:

"Bisakah aku mengatasi semua kesulitan dan menjadi musisi wanita?"

"Akankah aku dihormati karena pencapaianku sendiri dan dapat memilih cintaku sendiri?"

Dia tidak tahu. Musik itu membuatnya senang.

Lott dan Herodotus juga memiliki tekanan sendiri dalam keluarga mereka. Nasib mereka juga hancur, mereka tidak akan bisa mewarisi gelar. Mereka bisa memanjakan diri dengan anggur dan wanita, atau mereka bisa melakukan sesuatu yang lebih besar, seperti menjadi musisi hebat.

Tangan Lott bergetar. Musik itu mengingatkannya pada sepupunya, Mekanzi.

Herodotus mundur beberapa langkah. Dia selalu menjadi orang yang lemah di antara keluarganya.

Bahkan Rhine merasakan sesuatu. Wajahnya, yang selalu tenang, sekarang dibumbui dengan kegembiraan. Dia menghabiskan waktu dengan musik, dan kini merasakan emosi yang telah lama hilang.

Victor yang paling bersemangat di antara mereka semua. Tangannya mengepal, wajahnya sedikit berubah, dan seluruh tubuhnya bergetar. Musik itu mengingatkannya pada banyak hal di masa lalu: konser gagal pertamanya; dukungan dari istrinya; kerja keras dan pertunjukan keduanya yang sukses. Dia memikirkan kesedihan yang dia rasakan ketika istrinya meninggal, dan seluruh usaha serta kesulitan yang disebabkan oleh Wolf dan Othello padanya...

Not-not musik itu seperti panah tajam, menusuk langsung ke jantungnya.

Victor bisa merasakan adanya desakan dan rasa kaku di dalamnya.

"Aku gagal berkali-kali, dan aku pulih berkali-kali juga."

"Lalu, mengapa menyerah kali ini?"

"Winnie, apakah kau yang memberiku semangat?"

Lucien mulai merasa lelah. Dia tahu itu karena cedera yang dia dapatkan sebelumnya, tetapi dia tidak bisa berhenti bermain. Sebagai seorang musisi, atau hanya seorang siswa musik untuk saat ini, dia punya tanggung jawab untuk menyelesaikan pertunjukannya.

"Aku harus membuat pak Victor merasakannya!" pikirnya.

Para pendengarnya tahu bahwa dia kelelahan, jadi mereka merasa agak khawatir. Pertunjukan Lucien seperti berjalan di atas tali, tetapi dia tidak berhenti.

Lucien memanfaatkan kesempatan untuk sedikit beristirahat melalui ritme-ritme yang relatif lebih lembut dan lambat di akhir gerakan pertama. Dan kemudian bagian yang kuat kembali lagi, yang tampak seperti pertempuran panjang.

Gerakan kedua lebih menenangkan, seperti sinar matahari yang mengusir awan gelap dan amukan ombak di laut yang mulai tenang, seperti tentara yang kembali ke perkemahan mereka untuk istirahat sejenak selama waktu istirahat mereka.

Gerakan ketiga dan keempat berikut nya terhubung satu sama lain, dan nadanya menjadi menekan dan meluap-luap lagi.

Sinar matahari menghilang dan awan gelap kembali lagi; lautan yang tampaknya sunyi diam-diam menciptakan ombak yang lebih besar; Para prajurit mengambil senjata mereka dan menuju ke medan perang.

Pertempuran terbesar dan terakhir akan segera datang.

Perasaan cemas, khawatir dan takut secara bertahap menumpuk sesuai dengan perkembangan musiknya.

Akhirnya badai datang, melemparkan perahu nelayan di atas ombak yang mengamuk, dan di detik berikutnya, menjatuhkannya dengan ganas. Dihadapkan dengan kekuatan alam, perahu kecil itu tampak begitu tak berdaya dan lemah. Di medan perang, babak terakhir akan menentukan nasib para prajurit yang bertempur, membunuh atau dibunuh, tetapi mereka masih berani.

Perahu nelayan tidak menyerah pada ombak yang menderu itu. Para prajurit menyerang balik musuh-musuh mereka.

Pada gerakan terakhir, musik menjadi lembut lagi, yang terdengar agak sedih, seolah-olah para prajurit meratapi kawan-kawan mereka yang meninggal di medan perang. Seolah-olah para pelaut merindukan keluarga mereka di tengah ombak.

Kemudian datanglah saat yang paling gelap sebelum fajar. Para pendengar merasa gugup lagi.

Apa yang menunggu mereka pada akhirnya? Kegagalan atau kemenangan?

Apakah mereka berhasil mengatasi kesulitan mereka, atau sepenuhnya dikalahkan oleh kesulitan itu?

Apakah mereka akhirnya bisa melawan takdir?

Atau apakah mereka menyerah pada takdir itu?

Tiba-tiba, bab yang menegangkan dan luar biasa itu tiba dan langsung menyentuh hati para pendengar. Itu adalah bab kemenangan besar!

Victor merasa gembira dan terdorong sampai-sampai tidak bisa menahan diri untuk tidak mengangkat lengannya. Dia ingin bersorak, bersorak karena sinar matahari mengusir awan gelap, untuk para pelaut yang selamat di kapal penangkap ikan mereka, untuk para prajurit yang berhasil melindungi tanah mereka!

Para pendengar yang lain juga merasa senang dan gembira, seolah-olah mereka mendapat keyakinan dan kekuatan untuk berjuang melawan penderitaan mereka sendiri.

Rhine, yang selalu terlihat lebih tenang daripada yang lain, juga tersenyum.

Lucien menurunkan tangannya dari keyboard dan ingin berdiri, tetapi ternyata dirinya sudah sangat lemah. Permainan itu menghabiskan seluruh kekuatan dan tenaganya.

"Ini ..." gumam Victor, seolah dia bertanya pada Lucien, atau bertanya pada dirinya sendiri.

Rhine, Lott, Felicia, dan Herodotus, semua memandang Lucien, menunggu jawabannya.

"Ini takdir." Lucien berusaha keras untuk berdiri, lalu menjawabnya.

Rhine adalah yang pertama yang bertepuk tangan, kemudian diikuti oleh para murid lainnya. Victor juga bergabung dengan mereka, bertepuk tangan dengan keras.

"Ini musik, musik asli!" Victor berjalan mendekati Lucien dan berkomentar.

Lucien tersenyum, dan dia berkata dengan tulus, "Terima kasih, Pak Victor. Karena Anda menyukai komposisiku, apakah aku bisa mendapat kehormatan supaya Anda merevisinya untukku. Kita bisa memberi tahu Pak Othello dan Yang Mulia bahwa kita ingin mengubah daftar lagunya. Aku yakin mereka akan setuju dan Anda akan menyadari bahwa ini karya yang bagus untuk konser Anda, Pak Victor."

Niat Lucien jelas bagi semua orang di ruangan itu. Dia ingin memberikan karyanya kepada Victor dan dia rela menyerahkan kehormatan dan ketenaran yang pantas diterimanya. Mereka mengalihkan pandangan ke arah Victor, menunggu responnya dengan semangat.

Campuran emosi tersebar di wajah Victor: kesenangan, kelegaan, kegembiraan, keserakahan, keragu-raguan ... Perjuangan batin terjadi di benaknya.

"Anda bisa menaruh namaku di posisi kedua, kalau mau. Aku tak bisa mengubahnya jadi lebih baik, dan pekerjaanmu lebih penting, Pak Victor." Lucien berusaha membuat gurunya agar tak terlalu merasa bersalah karena mengambil pekerjaan muridnya.

Setelah beberapa saat, dengan menghela napas panjang, senyum muncul di wajah Victor dan dia berbalik ke arah Lucien.

"Tidak, aku tidak akan melakukan itu. Ini milikmu. Ini adalah pekerjaanmu yang hebat. Aku sudah bisa melihat namamu terdaftar dalam sejarah musik. Selain dari Tuhan dan Winnie yang mendukungku, aku masih memiliki moral. Itulah yang paling dihargai Winnie."

Ini adalah Pak Victor, guru musiknya. Lucien bisa merasakan air mata muncul di matanya.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.