Singgasana Magis Arcana

Melawan Takdir



Melawan Takdir

0

Jam 11.20 pagi, di dalam kantor direktur di Asosiasi Musisi.

0

"Kau harus memilih satu sekarang. Ini semua adalah karya bagusmu di masa lalu," kata Othello dengan alisnya yang mengerut, "Kami sudah menunggumu selama sekitar dua puluh menit."

"Maaf, Pak Othello ... boleh … bolehkah aku berpikir lagi?" Wajah Victor sangat pucat. Matanya yang redup sudah agak lama kehilangan fokus, dan catatan musiknya terasa sama sekali tidak masuk akal lagi baginya.

Wolf juga ada di sana, dia duduk tepat di seberang meja bersama Direktur Othello. Senyum menghina muncul di wajahnya,"Tidak usah berpikir terlalu keras, Temanku. Pilih saja satu secara acak, soalnya semua catatan itu terlihat sama saja bagiku. Pak Othello masih perlu makan siang dengan Yang Mulia nanti."

"Yah ..." Othello mengeluarkan jam sakunya, "Makan siang akan dimulai di pukul satu. aku akan memberimu ... sepuluh menit lagi. Jika kau masih belum bisa mengambil keputusan saat itu, aku khawatir asosiasi mungkin akan menggantimu dengan orang lain untuk konser. Wolf baru saja kembali dari Istana Ratacia. Dia seharusnya bisa menangani ini."

Istana Ratacia adalah aula konser kerajaan milik Duchy Orvarit.

Wolf tidak bisa menahan kegembiraannya, "Victor, aku turut prihatin melihatmu kesulitan. Tapi sebagai seorang musisi di asosiasi, kita harus menempatkan prioritas asosiasi di urutan pertama. Bagaimana menurutmu?"

Victor tidak mengatakan apa-apa. Setelah dua menit, Victor terduduk kembali ke kursinya dan menunjuk selembar kertas, "Yang itu saja."

Tiga kata itu menghilangkan semua tenaganya, tetapi dia juga merasa sedikit santai. Victor tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu dan upaya mengejar karya yang telah dia kerjakan selama sembilan tahun.

"Mungkin lebih baik seperti ini," Victor berpikir pada dirinya.

"Bagus," Othello menepuk tangannya, "Aku senang kau akhirnya membuat keputusan. Aku punya beberapa obat yang dapat membantu kondisi mentalmu, tetapi mungkin punya beberapa efek samping. Omong-omong, aku harus tidur sebentar, kalian bisa pergi sekarang."

Setelah mereka meninggalkan kantor, Wolf melirik kesal ke arah Victor, "Nikmati kesempatan terakhirmu untuk tampil di Aula Pemujaan. Jangan mengecewakan istrimu di surga."

"Kau ..." Wajah Victor agak mengerut karena marah.

"Aku?" Wolf mendengus, "Kaulah yang akan mengecewakan istrimu, bukan aku."

Kemudian dia menuruni tangga dengan cepat.

Victor merasa sakit dan kepalanya menjadi pusing. Lott, Felicia, dan Herodotus yang sedang menunggu di luar, buru-buru mendekati guru mereka.

"Anda baik-baik saja?" tanya Felicia dengan cemas.

"Aku baik-baik saja. Hanya butuh sedikit istirahat. Kita akan mulai berlatih sore ini," jawab Victor dengan suara lemah.

...

Lucien berlari di tengah hujan lebat.

Dia belum sepenuhnya pulih dari cedera. Sambil memegang payung, dia tetap berlari dengan cepat meskipun angin yang kencang menahan kecepatannya. Semakin cepat dia sampai ke asosiasi, maka semakin baik peluangnya untuk memberi Pak Victor karya baru sebelum tuan putri melihat daftar lagunya.

Akhirnya, dia melipat payungnya dan diapit di bawah lengan, supaya dia bisa berlari lebih cepat.

Dia hanya ingin berusaha semaksimal mungkin, karena dia tidak ingin ada penyesalan.

...

Lucien hanya membutuhkan enam menit saja untuk sampai ke asosiasi dari tempat Victor, seperempat dari waktu yang biasanya.

Pukul 12.41 sore. Lucien mendorong gerbangnya hingga terbuka. Dia basah kuyup dengan tetes demi tetes air hujan jatuh dari wajahnya ke lantai.

"Lucien!" Elena mendekatinya dengan tergesa-gesa dari meja, "apa kamu baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja, Elena. Di mana Pak Victor?" Lucien langsung bertanya.

"Dia seharusnya ada di kantor. Aku melihat Felicia membawakannya makan siang," jawab Elena.

"Terima kasih!" Lucien meninggalkan payungnya di gerbang, kemudian bergegas ke lantai atas.

"Apa yang terjadi di sana?" Elena bertanya-tanya.

...

Lottlah yang membuka pintu dengan wajah yang terlihat sangat muram. Lott tidak menanyakan kenapa Lucien datang. Dia hanya mengangguk padanya.

Lucien memasuki kantor Victor. Dia melihat Victor sedang duduk di belakang mejanya, dia tampak sangat linglung. Baki makan siang terletak di depannya, tetapi masih tak tersentuh. Lucien melihat Rhine juga ada di sini.

"Apa Tuan Victor sudah memasukkan daftar musik untuk konser?" tanya Lucien.

Lott, Felicia, dan Herodotus mengabaikannya. Hanya Rhine yang mengangguk, "Benar, yang ketiga dari karya Pak Victor sebelumnya."

Dengan mengambil napas dalam-dalam, Lucien mendatangi Victor dan berkata kepadanya dengan keras, "Pak Viktor. Aku menulis musik yang bagus! Aku harap kau dapat memberiku kesempatan untuk mendengarkannya! Aku yakin karyaku ini dapat memberimu beberapa inspirasi! Apa kita bisa mengubah daftar musik nya setelah ini?"

Lucien terlalu terburu-buru dan gugup untuk memilih kata-katanya. Dia terdengar terlalu terus terang, bahkan hampir terdengar bodoh.

"Kau ini bicara apa?" Herodotus terkejut.

Lott berjalan menghampiri Lucien dan hendak menarik Lucien menjauh dari meja Victor.

Victor menjawab dengan lemah sambil menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangannya, "Tidak, tidak bisa. Direktur Othello pergi makan siang dengan Yang Mulia sepuluh menit lalu. Daftar musik nya sudah dikirim. kita tidak bisa mengubahnya lagi sekarang."

"Pak Victor, di luar sedang hujan deras! Tuan Othello mungkin masih dalam perjalanan. Kita masih punya kesempatan!"

"Tidak. Tidak ada lagi." Victor bergumam seperti berada dalam mimpi. Dia tidak mendengarkan.

Lucine ditarik oleh Lott, dia tidak tahu harus berkata apa.

Murid-murid yang lain juga sudah menyerah.

"Hentikan, Lucien. Kami sudah mencoba, dan hanya itu saja."

"Sudah terlambat. Tuan Othello pasti sudah ada di Istana Ratacia sekarang."

"Bahkan jika dia belum sampai, akan sudah terlambat untuk menulis sebuah simfoni baru. Lebih baik kita melatih yang kita punya sekarang ... mungkin masih bisa sukses."

"..." Lucien mundur beberapa langkah, merasa agak lelah. Mungkin ini adalah takdir dari Tuhan. Mungkin Tuhan yang mencegahnya bekerja di asosiasi hari ini.

"Lagipula ini bukan konserku, ini bukan urusanku," Lucien berpikir pada dirinya sendiri, dan menjadi muram juga, seperti orang-orang lain yang ada di kantor.

Namun, ketika Lucien sedang duduk di sofa, kenangan-kenangan Pak Victor yang sedang mengajarinya, merawatnya, dan memberinya semangat selama beberapa bulan terakhir tiba-tiba muncul di benak Lucien. Dia teringat akan kerja keras Pak Victor dan murid-murid lain. Bagaimana dia harus berlatih untuk konser, lalu usahanya untuk terus berlari dalam hujan deras.

Namun, melihat orang-orang di ruangan ini sekarang, kenapa upaya mereka tidak menghasilkan apa-apa?

Lucien tidak ingin berakhir seperti ini.

Selama masih ada sedikit peluang, maka dia tidak bisa menyerah begitu saja dan menerima hasilnya. Selama mereka masih di sini, maka pasti ada hal lain yang bisa mereka lakukan daripada hanya mengeluh. Selama dia masih memiliki harapan dan keyakinan, maka dia harus terus berjuang sampai detik-detik terakhir.

Dan ini belum detik-detik terakhir.

Mengambil napas dalam-dalam, Lucien melihat sekeliling kantor dan berjalan ke piano.

"Apa yang kau lakukan, Lucien?" Lott berteriak padanya.

Lucien tidak menjawab. Dia duduk di depan piano dan meletakkan kedua tangannya di atas keyboard.

Bahkan Rhine sangat terkejut. Dia tidak tahu musik seperti apa yang akan dimainkan oleh Lucien sebagai pelajar musik baru.

Namun, beberapa not pertama mengejutkan semua orang di kantor.

Not-not itu lebih kuat dari sebelumnya. Victor mengangkat kepala dan menoleh melihat pianonya. Dia terlihat bingung.

Beberapa bar simfoni yang berikutnya menggema seperti badai yang dahsyat. Cepat, kuat, dan ganas. Simfoni itu seperti kemalangan dalam hidup, satu demi satu, seperti ombak besar yang mengamuk di lautan, seperti panggilan terus-menerus ke medan perang, dan seperti musuh yang tak terhitung jumlahnya datang menyerangmu.

Ada beberapa bagian bar penenang, tetapi kemudian diikuti lagi oleh perjuangan yang lebih mati-matian dan besar.

Namun, pertarungan para pejuang tidak pernah berhenti. Tidak ada yang menyerah. Mereka terus berjuang: Pelaut berperang melawan ombak yang seperti monster di atas kapal mereka. Tentara bertempur melawan musuh-musuh mereka di medan perang. Orang-orang mati dalam gelombang dan panah, dalam tangis dan darah, tetapi ada lebih banyak pendatang baru yang mengikuti.

Para siswa terkejut dan Rhine berdiri dari sofa.

Lucien terus bermain dengan semua usahanya.

Kenapa menyerah? Mengapa?

Mereka masih punya waktu. Mereka bisa menyusul Baron Othello. Jika gagal, mereka masih bisa membujuk Putri Natasha dengan pesona simponi mereka.

Kenapa menyerah?

Masih ada sedikit harapan. Mereka tidak bisa menyerah begitu saja!

Bab pertama dari simfoninya menjadi semakin kuat. Lott dan Felicia gemetar karena ketakutan dan kegembiraan.

Apakah takdir yang membuatmu menyerah, ataukah dirimu sendiri?

Apakah takdir yang mengalahkanmu, ataukah kesulitan dan hambatan?

Musiknya bertanya. Pemainnya bertanya.

Victor berdiri tegak. Dia merasakan pertanyaan itu. Pertanyaan itu juga ditujukan kepadanya.

Jiwa Lucien baru saja dicurahkan sepenuhnya untuk musik ini. Lebih banyak pikiran muncul di benak setiap orang:

"Aku ingin punya kehidupan yang damai. Aku merindukan keluargaku. Tapi entah bagaimana aku datang ke dunia ini dan kehilangan segalanya."

"Aku melihat orang-orang di sini membakar seorang wanita hingga mati."

"Aku berjalan melalui selokan."

"Aku ingin belajar membaca dan menginginkan kehidupan yang lebih baik, tetapi malah di hajar oleh bandit."

"Aku ingin belajar sihir untuk melindungi diriku, tetapi menjadi penyihir di Aalto berarti aku harus mempertaruhkan nyawaku setiap hari, berkeliaran di antara cahaya dan kegelapan."

"Apakah aku menyerah? Apakah aku ingin menyerah?"

"Tidak!

"Aku akan terus berjuang melawan apa yang disebut takdir sampai detik terakhir hidupku!"

"Aku bisa mengubah takdirku. Aku bisa mengubah hidupku sendiri!"

Lucien hampir terkena serangan jantung. Dia baru saja mengeluarkan semua perasaannya. Dia ingin berbicara dengan lantang:

"Apakah takdir yang membuatmu kehilangan harapan, ataukah dirimu sendiri?"

"Apakah takdir yang membuatmu menundukkan kepalamu, ataukah dirimu sendiri?"

"Apakah takdir yang menentukan hidupmu, ataukah kau yang memilih takdirmu sendiri?"

"Aku, Lucien, Xiafeng, tidak akan pernah menyerah pada takdir."

"Aku akan melawan takdir dan melenyapkan segala kesulitan. Aku tidak akan berhenti bergerak maju!"

Victor berdiri dari kursinya, kedua tangannya mengepal erat.

--------


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.