Mahakarya Sang Pemenang

Keluarga George Wood Bagian 1



Keluarga George Wood Bagian 1

0

Karena pertandingan Liga Satu yang berikutnya baru akan terjadi empat belas hari lagi, pada tanggal 18 Januari, maka Tang En memberikan dua hari libur kepada tim usai pertandingan Piala FA. Pada hari pertama cuti, Tang En menyia-nyiakan waktunya dengan menemui dokter, menghadapi reporter dan menyalahkan keamanan yang buruk di Nottingham.

0

Untungnya, dia membawa uang receh bersamanya, jika tidak maka dia tidak akan bisa membeli karcis untuk pulang ke rumah.

Hari berikutnya Tang En pergi ke bank untuk melaporkan kartu kreditnya yang hilang, dan kemudian pergi ke polisi untuk melaporkan hilangnya kartu identitasnya. Setelah menyia-nyiakan waktunya seharian, disaat semua orang menikmati jamuan teh sore hari, dia sudah menyeret tubuhnya yang lelah untuk pulang ke rumah. Dia benar-benar bersyukur memorinya cukup bisa diandalkan, karena jika tidak maka dia tidak akan tahu kemana harus pergi atau kepada siapa dia harus melapor.

Saat tiba di pintu rumahnya, dia melihat seorang remaja lelaki berdiri disana.

Dia hampir setinggi Twain, tapi wajahnya masih kanak-kanak.

Tang En tidak paham apa yang dilakukan oleh remaja itu disana, berdiri di pintu depan rumahnya, dengan wajah sedikit kotor, rambut berwarna coklat dan kulit kecoklatan terbakar matahari. Apa dia anggota kawanan perampok yang bertugas mengawasi situasi? Dia melihat sekilas ke arah pintu rumahnya dan pintu itu masih tertutup rapat. Juga tidak ada tanda-tanda kerusakan disana.

Ketika remaja itu melihat Twain berjalan menghampiri, dia menatapnya, tapi tidak mengatakan apa-apa. Tang En tidak menyukai tatapannya, jadi dia balas memandang si remaja dan menghindarinya untuk mengarah ke dalam rumah.

Pada saat itulah remaja itu berbicara. "Apa kau manajer tim Forest, Tony Twain?"

Dia langsung memanggil namaku. Tidak ada "Mister". Dan tidak ada salam. Benar-benar tidak punya sopan santun!

Menggerutu di dalam hati, Tang En menghentikan langkah dan melihatnya di sudut matanya lalu berkata, "Memang benar. Aku sedang tidak mood untuk memberikan tanda tangan kalau itu yang kauinginkan."

Remaja itu menunduk dan mengeluarkan sebuah dompet hitam dari kantong celananya. "Aku tidak disini untuk meminta tanda tangan. Ini dompetmu."

Tang En mengambilnya dengan ragu dan melihat bahwa kecuali uang ratusan pounds yang hilang, kartu kredit dan kartu identitasnya masih ada di dalam!

Meski dia menghabiskan sepanjang hari mengurus laporan kehilangan, memperoleh kembali dompetnya membuat Tang En berada dalam mood yang lebih baik. Sekarang dia melihat ke arah si remaja dengan pandangan baru, dan bahkan ada senyum di wajahnya. "Oh, kau menemukan ini? Anak yang baik. Terima kasih banyak!" Dia menepuk kantong celananya tapi lalu menyadari bahwa menawarkan uang receh sebagai hadiah akan terlalu menyedihkan.

"Aku benar-benar minta maaf, tapi aku sedang tidak punya uang sekarang. Datanglah lagi besok, aku akan memberimu hadiah yang cukup."

"Tidak, aku tidak ingin hadiah." Si remaja itu menggelengkan kepalanya.

Pikiran pertama yang berkelebat di benak Tang En adalah bahwa Inggris memiliki warga negara teladan yang tanpa pamrih, seperti Lei Feng! Remaja ini kelihatan pantas, meski pakaiannya tampak usang dan wajahnya kotor. Tapi dia kelihatan seperti diusir dari rumah. Pasti berasal dari keluarga miskin. Dia mungkin miskin, tapi bukan berarti kurang kemauan. Menjanjikan, sangat menjanjikan malah!

Si remaja melanjutkan, "Kurasa tim Anda seharusnya mengontrak pemain sepakbola terbaik di Inggris."

Kata-katanya itu mungkin bisa menjelaskan ini, dia kelihatannya adalah fan setia tim Forest.

Tang En meringis. "Apa maksudmu adalah David Beckham? Aku minta maaf, kami klub kecil. Bintang besar tidak akan mempertimbangkan kami." Dia mengulurkan tangan dan menyentuh kepala remaja itu. Dia manis sekali. Meski tingginya hampir sama denganku.

Tang En tidak mengira remaja itu akan menghindari tangannya. "Siapa itu? Pemain sepakbola terbaik di Inggris ada disini!"

Tang En melihat sekeliling dan tidak menemukan siapapun.

"Kau mencari kemana? Disini, tepat di depanmu!" remaja itu berbicara dengan sungguh-sungguh dan menunjuk ke dirinya sendiri.

Sudut bibir Tang En sedikit berkedut dan dia meledak tertawa. Dia kemudian mengulurkan tangannya lagi, bermaksud menepuk kepala si remaja. "Kau anak yang menyenangkan."

Kali ini remaja itu memukul tangan Twain yang terulur. "Aku tidak bercanda! Aku serius!"

Sedikit canggung rasanya dipukul oleh seorang remaja. Senyum di wajah Tang En membeku dan kemudian dia berdehem. "Baiklah, tolong katakan padaku. Dimana kau bermain sekarang?"

"Aku tidak pernah bermain."

Tang En melihat ke arahnya selama beberapa saat, "Apa kau bercanda?"

Si remaja berkata dengan bersungguh-sungguh, "Aku belum bermain saat ini. Itu tidak berarti aku tidak akan bermain di masa depan. Selama aku bisa menerima pelatihan, aku jelas akan menjadi pemain sepakbola terbaik di Inggris!"

Nada suara Tang En melembut. "Dengar... Siapa namamu?"

"George, George Wood."

"Dengar, George. Aku benar-benar menghargai kau sudah mengembalikan dompetku. Tapi sepakbola profesional tidak sesederhana yang kau pikirkan. Terima kasih sudah mengembalikan dompetku. Aku akan mengantarmu pulang. Kau tinggal dimana?"

George Wood terdiam sejenak, menundukkan kepala dan kemudian berkata, "Sneinton."

Tang En mencari dalam benaknya dan menemukan bahwa tempat ini adalah area kumuh yang terkenal di Nottingham. Orang kulit hitam, orang India, keturunan dari semua jenis etnis mendiami daerah ini, serta mahasiswa. Itu adalah tempat dimana berbagai gangguan paling sering terjadi, meski letaknya hanya beberapa ratus meter dari daerah perumahan Nottingham yang paling mewah.

Melihat pakaian Wood, Tang En tiba-tiba merasa sedikit simpatik. Negara mana pun pasti memiliki area yang dihuni oleh orang miskin dan kaya, bahkan pusat bisnis terkenal di Inggris dan beberapa kota industri seperti Nottingham juga akan memiliki dua area semacam ini.

"Well, kau tahu, aku akan membantumu pulang." Tidak lama, sebuah taksi menurunkan seorang penumpang di dekat sana. Tang En memanggil taksi itu. Sneinton berada di sisi timur kota, dan rumahnya Wilford berada di sisi barat daya kota. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana bocah miskin itu bisa sampai kemari.

Taksi berhenti di dekat mereka. Wood tidak tampak keberatan dan mengikutinya masuk ke dalam mobil. Dia tidak berbicara di taksi; suasananya agak canggung. Tang En memutuskan untuk mengatakan sesuatu.

"George, kenapa kau harus bermain sepakbola?"

"Untuk menghasilkan uang."

Tang En melihat ke arah Wood. Jawaban semacam ini terhubung pada latar belakangnya.

"Kalau begitu kau bisa bekerja. Tunggu dulu, bukankah kau seharusnya masih sekolah? Berapa umurmu?"

"Tujuh belas. Aku tidak ingin pergi ke sekolah. Aku tidak bisa menghasilkan uang dengan pergi ke sekolah. Dan aku juga punya pekerjaan, tapi upahnya tidak cukup besar."

"Apa pekerjaanmu?"

"Tenaga pemindah untuk perusahaan jasa pindahan."

Di Inggris, pendapatan seorang tenaga pemindah adalah £ 10 untuk setiap pekerjaan, yang tidak termasuk tinggi atau rendah. Pekerjaannya hanyalah memuat barang-barang pelanggan ke dalam truk, dan kemudian menurunkannya dari truk di tempat tujuan. Jenis pekerjaan semacam ini membutuhkan seseorang dengan fisik yang kuat untuk melakukannya. Tang En melirik Wood, bertanya-tanya apakah bocah ini benar-benar melakukan pekerjaan itu untuk mencari nafkah. Melihat otot-ototnya, dia tidak kelihatan seperti anak laki-laki berusia tujuh belas tahun.

Upah minimum per jam di Inggris adalah £ 4.5. Upah yang diterima Wood lebih dari dua kali lipat upah minimum. Tang En tidak mengerti mengapa Wood berpikir uang itu terlalu sedikit.

"Kenapa kau menginginkan banyak uang?"

Wood tidak menjawab pertanyaan itu, dan suasana di dalam mobil tiba-tiba kembali menjadi canggung.

Tang En, yang lahir dan tumbuh besar di Red Flag, diajari bahwa seorang anak berusia tujuh belas tahun seharusnya belajar di sekolah dan bukannya bekerja. Jadi, dia menekankan, "Kurasa kau seharusnya kembali ke sekolah."

"Aku benci sekolah," kata Wood dingin.

Tang En menyadari bahwa remaja itu mirip seperti dirinya dulu, sumbatan di toilet – keras kepala dan menyebalkan. Merasa tidak akan bisa mengubah pikirannya, dia tidak mengatakan apa-apa lagi dan menolehkan kepala untuk menatap keluar jendela.

Dunia di luar jendela mobil tampak cerah dengan langit biru jernih diatas jalanan yang sibuk dan pusat perbelanjaan yang ramai, penuh dengan turis. Tang En bahkan bisa melihat turis Tiongkok dari taksi. Dengan matahari yang bersinar di abad ke-21, bisakah seseorang membayangkan daerah kumuh itu masih ada?

Tapi itu memang benar-benar ada di sini, di kota ini. Lanskap di luar jendela mobil berangsur-angsur berubah, melewati area perumahan yang paling mewah, di mana Tang En bisa melihat rumah-rumah besar bernilai jutaan pound di balik pagar besi hias, berkelip-kelip tertimpa sinar matahari. Daerah ini dulunya adalah pabrik dan gudang tekstil Nottingham dan memiliki nama yang sangat cantik, "The Lace Market."

Bahkan Twain, seorang manajer klub profesional, tidak mampu hidup di daerah seperti ini. Tempat di mana Twain sekarang tinggal dianggap sebagai tipe daerah hunian yang paling umum di Nottingham, di mana rakyat biasa dan kelas pekerja tinggal. Kecuali untuk rumah berlantai dua dengan halaman pribadi, tempat itu tidak berbeda jauh dengan daerah perumahan biasa di Cina.

Inggris juga punya orang miskin. Tapi di dalam sebuah masyarakat dengan tingkat kesejahteraan tinggi, hidup mereka tidak terlalu buruk. Seseorang bisa menjalani kehidupan yang layak jika bisa hidup dengan hemat. Sneinton, dimana rumah George Wood berada, tidak benar-benar dianggap sebagai daerah kumuh. Itu lebih seperti daerah bagi "orang-orang yang miskin". Di Inggris, daerah-daerah di mana terdapat kelompok orang dari etnis lain dan imigran ilegal, dianggap sebagai "daerah kumuh" tanpa kecuali. Manchester sekarang memiliki daerah kumuh terbesar di Eropa. Orang kulit putih yang miskin masih bisa dikatakan lebih kaya daripada orang miskin dari etnis lain karena adanya diskriminasi rasial.

George Wood termasuk multirasial dan akan dianggap sebagai orang kulit hitam. Tidak mengherankan jika dia tinggal di tempat seperti Sneinton.

Di Nottingham, daerah kumuh tidak hanya berarti miskin. Istilah itu juga menyiratkan "kekacauan". Keamanan publik adalah masalah terbesar bagi departemen kepolisian lokal di Nottingham. Seseorang bisa melihat adanya toko-toko senjata dan amunisi yang melayani orang awam di jalan-jalan, kelompok-kelompok hooligan berkeliaran di jalanan dan dengan niat jahat mengamati para pejalan kaki, perampokan, pencurian, narkoba, pelacuran, kekerasan ... Itulah yang terjadi di tempat seperti ini . Mereka adalah wilayah abu-abu kota, daerah terlarang dimana banyak orang sebisa mungkin berusaha menjauh dari sana. 

Meninggalkan area perumahan kelas atas di belakang, perjalanan taksi semakin terasa lebih bergelombang. Tidak ada lagi bangunan megah dekoratif yang dapat ditemukan di luar jendela mobil. Sebaliknya pemandangan itu digantikan oleh rumah-rumah bata merah yang lusuh, bingkai jendela kayu yang terkelupas dan dinding coreng moreng. Ketika taksi semakin memasuki lingkungan itu, rumah-rumah yang bahkan lebih bobrok semakin bertambah banyak, dan sosok-sosok mencurigakan yang hanya berkeliaran saja juga semakin banyak.

Seorang pejalan kaki, dengan perhiasan murah dan make-up tebal yang dimaksudkan untuk membuatnya terlihat lebih menarik, tetapi tidak bisa menyamarkan kaki besarnya yang lelah, sedang bersandar di ambang pintu untuk merokok dan mencari klien. Seorang pria yang tampak agresif (atau remaja laki-laki?), memakai jaket hitam, memiliki tato kasar di lengannya yang besar. Para pejalan kaki bergegas menyusuri jalan dengan kepala menunduk. Sekitar tiga atau empat anak kecil saling berkejaran dengan ribut. Mereka sedang berada di jalan sempit dengan tambalan aspal yang tidak rata. Angin menggerakkan kantong-kantong plastik warna warni dan surat kabar kemana-mana, membuatnya melayang di atas kepala orang-orang. Kehidupan orang-orang disini mirip seperti sampah warna-warni itu, melayang kemanapun angin bertiup tanpa bisa merasakan apa-apa. Pada akhirnya mereka akan hanyut dan jatuh di selokan, terlupakan tanpa ada seorang pun yang berduka untuk mereka. 

Tang En sedang memeriksa dunia diluar taksi itu dan orang-orang dari dunia itu menatap balik ke arahnya dengan niat jahat, seolah mereka melihat tumpukan poundsterling atau roti yang dioles mentega.

Wood meminta si pengemudi taksi untuk berhenti di depan sebuah rumah bata merah, dan Tang En membayar ongkos taksi. Dengan cepat si pengemudi pergi dari sana. Dia tadi hanya berhenti sebentar, dan sudah ada beberapa anak kecil yang memukuli jendela mobilnya berulang kali. Dia merasa takut dengan apa yang mungkin akan terjadi jika dia tinggal disana lebih lama lagi.

Wood tampaknya terkejut melihat Tang En mengikutinya turun dari taksi. "Kupikir kau akan langsung naik taksi itu untuk pulang."

"Kupikir juga begitu. Tapi aku terbiasa turun ketika mobil berhenti." Tang En menghindari tangan kotor anak-anak, mereka semua meminta uang darinya.

"Mister! Berikan aku satu pound, satu pound saja!" seru seorang anak berusia sekitar lima atau enam tahun dengan hidung beringus.

Bukannya Tang En tidak memiliki rasa kasihan. Dia tidak punya uang tunai di dompetnya. Dia masih punya uang kecil sekitar £50, yang akan dipakainya untuk pulang. Kalau dia memberikannya pada anak-anak itu, bagaimana dia bisa pulang?

Ketika suasananya hampir menjadi tidak nyaman, Wood memamerkan kepalannya kepada anak-anak itu. "Pergi sana!"

Anak-anak itu mengejeknya, memberinya jari tengah, dan kemudian bubar.

Sejujurnya, Tang En tidak menduga Wood akan bersikap sangat tidak ramah pada anak-anak yang tinggal di daerah yang sama. "Kamu benar-benar tidak ramah."

"Mereka juga tidak ramah padaku," Wood berhenti berjalan ketika dia menyadari bahwa Twain berdiri di jalan dan memandang sekeliling. "Tidak ada yang perlu dilihat. Disinilah aku tinggal. Pasti mengejutkan bagimu."

Tang En kembali menatap remaja itu dan meringis. "Tidak masalah. Bisakah kau membawaku ke rumahmu?"

Wood mengangguk dan mengeluarkan kuncinya untuk membuka pintu.

Bangunan itu adalah rumah bata dengan dua lantai. Setelah pintu terdapat koridor sempit dan tangga yang langsung dinaiki oleh Wood. Tang En, masih berada di pintu, berkata, "Maaf mengganggumu."

"Lantai pertama milik keluarga lain; tempatku di lantai dua." Wood menatap Twain dengan aneh. "Keluarga itu biasanya pulang larut."

Tang En menyentuh hidungnya karena malu dan mengikuti Wood ke lantai atas.

Mendengar suara langkah mereka, suara seorang wanita terdengar, "George?"

"Aku pulang, Bu."

Tang En berbisik dari belakang, "Dimana ayahmu?"

"Dia sudah meninggal." Berjalan terus, Wood bahkan tidak menoleh untuk menjawabnya.

"Oh... maafkan aku."

"Apa kita kedatangan tamu?" Tang En mendengar si wanita bertanya.

"Seorang manajer sepakbola."

Saat tanya jawab itu, keduanya telah tiba di pintu sebuah ruangan di lantai dua, yang tampaknya merupakan sebuah ruang makan. Seorang wanita berambut gelap duduk di meja makan, mengupas kentang. Tirainya tertutup rapat, lampu tidak dinyalakan, dan ruangan itu tampak remang-remang, tapi Tang En mengira wanita itu satu-satunya yang bersinar di dalam rumah... karena dia cantik. Jujur saja, melihat wajah persegi George Wood, dia tidak berpikir bahwa ibu remaja itu akan sangat cantik, begitu muda, seorang wanita muda di lingkungan sekacau ini, membesarkan seorang anak sendirian, berapa banyak kesulitan yang ditanggungnya? Dia bersimpati terhadap wanita itu.

Bertubuh kecil dan pucat, dia kelihatan sedang sakit. Tapi entah bagaimana, penyakitnya itu seolah meningkatkan kecantikannya. Dia juga tampaknya multirasial. Bagaimana dia bisa menggambarkan semua ini... sejak Tang En memasuki daerah kumuh, daerah yang sepi ini tampaknya didominasi oleh kesuraman, hingga dia melihat wanita ini. Dia seolah menjadi satu-satunya sumber cahaya di ruangan polos ini, satu-satunya warna di dunia ...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.