Mahakarya Sang Pemenang

Berjuang dengan Punggung Menghadap ke Sungai Bagian 1



Berjuang dengan Punggung Menghadap ke Sungai Bagian 1

0

Apa ada orang yang ingat tentang pertandingan yang terjadi tanggal 10 Mei? Pada minggu itu, semua orang seolah tak bisa mengingat banyak hal. Baik para pemain, manajer, dokter tim, dan bahkan penjaga gerbang, Ian MacDonald. Apa mereka tahu siapa lawan yang akan mereka hadapi, dan bobot pertandingan itu?

0

Tang En duduk di kursi manajer tim tuan rumah dan menatap kosong pada pertandingan yang terjadi di lapangan. Pikirannya benar-benar kacau, dan kemampuannya untuk mengarahkan tim secara langsung, yang sebelumnya sangat ia banggakan, telah menghilang ke sejumlah sudut atau celah entah dimana.

Tim Forest saat ini berada dalam posisi yang kurang menguntungkan, dan benar-benar dihancurkan oleh tim tamu, Sheffield United. Mereka sama sekali tidak bisa membuat pertahanan ataupun serangan yang efektif.

Pertandingan tidak boleh terus berjalan seperti ini, lubuk hatinya berkata kepada Tang En. Tapi, suara itu tampaknya bergema dari tempat yang jauh dan terdengar seperti ilusi.

Selama seminggu terakhir, tim hanya melakukan beberapa latihan sistematik reguler dan tidak melakukan latihan mengarahkan tendangan bola.

Sebagai manajer, Tang En juga kurang seksama dalam menganalisa lawan-lawannya di babak playoff. Bahkan, dia tidak bisa mengatakan kepada para pemain tentang bagaimana cara mereka mengatasi tim yang sedang mereka hadapi saat ini.

Kematian Gavin terasa seperti mimpi buruk yang menghantui mereka. Semua orang sedang tidak berada dalam kondisi puncak, dan pertandingan tampak seperti sebuah cobaan berat yang nyata bagi mereka.

Tribun penonton di stadion City Ground terisi hampir 90 persen, tapi skor yang diperoleh tak bisa memuaskan mereka. Skor saat turun minum adalah 0:1 dengan Nottingham Forest tertinggal satu gol.

"Tony, kita harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan situasi!" Walker mengingatkan Tang En dengan cemas, dia adalah salah satu dari sedikit orang yang telah pulih.

"Ya, kau benar, Des. Kita harus melakukan sesuatu." Meskipun Tang En mengatakan itu, tapi dia tetap duduk di kursinya, sama sekali tak bergerak. Dia hanya mengulangi kata-kata Des seperti robot.

Melihat kondisi Tang En saat ini, Walker hanya bisa menghela nafas tanpa daya.

Edward Doughty, yang duduk di ruang VIP, memandang sekilas ke seluruh stadion, sebelum menoleh ke arah ayahnya dan berkata, "Apa kau benar-benar memiliki harapan tinggi padanya?"

Nigel Doughty mengangguk. "Orang-orang yang sangat dihargai oleh Hart tak pernah mengecewakanku sebelumnya."

Edward menggelengkan kepalanya. "Kurasa dia tidak sebagus yang kau pikirkan. Mungkin penampilannya selama musim reguler memang sangat bagus. Tapi, apa gunanya bisa memenangkan 100 pertandingan tidak penting, sementara dia justru kalah di pertandingan yang paling penting?"

"Edward," nada suara pria tua itu menjadi sedikit lebih serius, "perhatikan pilihan kata-katamu. Tidak ada yang namanya 'musim reguler' di sini. Jangan membawa istilah bola basketmu kembali ke Inggris. Kau adalah orang yang akan menjadi pemimpin klub di masa depan. Mengatakan hal-hal seperti itu akan membuat media mengejek kita."

"Oh, maafkan aku, ayah."

"Kau tidak menyukai Twain?"

"Erm ... Bagaimana aku mengatakannya ya?" Edward memandangi pesawat televisi, yang kebetulan menunjukkan gambar Tang En dari dekat. Dia duduk tanpa ekspresi di kursi manajer tanpa bergeming, seolah-olah dia adalah orang mati. Mengenai kesulitan tim saat ini, Tang En tidak bisa menemukan solusi yang lebih baik untuk mengatasinya. "Aku pernah pergi ke London dengan Tony secara pribadi sebelumnya, dan aku menganggap dia adalah orang yang sangat menarik. Tapi, aku merasa kalau dia tidak cukup stabil. Aku tidak bisa memahami emosinya, karakternya dan hal-hal yang disukainya. Aku tidak memahaminya. Terkadang dia sangat baik, tapi kadang dia sangat buruk, seperti sekarang ini."

Nigel sedikit terkejut dengan penjabaran yang jelas dan logis dari putranya. Memalingkan kepalanya dan menatapnya, Nigel berkata, "Apa kau sudah bekerja dengan keras setelah kau kembali ke Amerika?"

Edward mengangkat bahu. "Putramu ini masih siswa berbakat yang pernah belajar di Harvard. Lagipula, Allan mengajukan rencana yang sangat rinci. Di dalam rencananya, dia juga merasa bahwa kita harus mempertimbangkan kembali manajer untuk tim."

"Allan? Allan Adams? Kenapa kau masih bersamanya?"

"Ayah, dia penasihat keuanganku." Edward terdengar agak kesal. "Sampai saat ini, bantuan Allan sangat penting bagi kesuksesan perusahaanku."

"Terserahlah." Nigel sedikit mengangkat bahu dan berkata, "Bagaimanapun, aku tidak suka orang Amerika yang bermulut manis itu." Seolah tiba-tiba dia teringat sesuatu, Nigel bertanya, "Apa Carrie masih menentang gagasan ini?"

Edward mengangguk. "Dia tidak suka cuaca atau makanan di Inggris, dan karena itu, dia akan tinggal bersama Ben di Amerika. Tapi jangan khawatir, aku akan mengunjungi mereka secara teratur."

Nigel bergumam pada dirinya sendiri, "Kau, istrimu, putramu ... kalian semua semakin mirip orang Amerika sejati."

Meskipun Nottingham Forest mampu mencetak gol di babak kedua, Sheffield United juga berhasil mencetak gol tambahan sebelum pertandingan berakhir. Pertandingan berakhir dengan skor 1:2, dimana Nottingham Forest dikalahkan di kandang mereka sendiri. Saat melihat senyum sombong Sheffield United ketika mereka meninggalkan stadion City Ground, semua penggemar Forest mengerutkan alis mereka.

Kalau keunggulan bertanding di kandang sendiri sama sekali tidak membuahkan hasil, maka nasib seperti apa yang akan menunggu mereka enam hari dari sekarang pada 16 Mei, di kandang Sheffield United, stadion Bramall Lane?

Selama konferensi pers, semangat tim Nottingham Forest yang tiba-tiba turun drastis ini menjadi titik fokus para wartawan, tapi Tang En menolak memberikan pendapat ataupun penjelasan tentang masalah tersebut. Terlepas dari bagaimana para reporter itu membombardirnya dengan pertanyaan, Tang En akan memberikan jawaban yang sama kepada mereka, "tidak ada komentar". Sementara tentang kalahnya mereka dalam pertandingan, Tang En mengarahkan semua tanggungjawab itu pada dirinya.

Pierce Brosnan awalnya tidak ingin ikut memberikan pertanyaan kepada manajer yang malang itu, tapi dia menyadari bahwa ada satu pertanyaan yang tidak diajukan oleh siapapun. Semua orang terlalu fokus pada alasan dibalik semangat rendah tim Nottingham Forest, sebuah pertanyaan yang sepele dan sangat membosankan. Profesionalismenya sebagai seorang jurnalis akhirnya mendorongnya untuk melontarkan pertanyaan yang sangat sulit ini kepada Tang En.

"Manajer Twain, setelah kalah dalam pertandingan kandang ini, apakah kemungkinan bahwa kita akan tetap berada di Liga Satu setelah akhir musim ini, terlintas di pikiran Anda?"

Tang En menatap Brosnan selama beberapa waktu, tapi pria muda itu balas menatapnya tanpa mengalihkan pandangan. Dalam pertukaran tatapan dalam diam ini, tak satupun dari mereka yang bisa menggertak yang lain.

Pada akhirnya, Tang En hanya meninggalkan satu kalimat, sebelum dia keluar dari ruangan konferensi pers.

"Aku takkan membiarkan itu terjadi."

"... meskipun Manajer Tony Twain menyatakan dalam konferensi pers bahwa timnya pada akhirnya akan muncul sebagai pemenang dan berhasil maju ke Liga Utama Inggris. Tapi, jujur ​​saja, saya tidak banyak berharap bagi timnya. Melihat mereka telah kebobolan dua gol atas Sheffield United di kandang mereka, dan mengingat keadaan kedua tim saat ini, sangat sulit untuk memastikan bahwa mereka akan bisa mengalahkan Sheffield United selama pertandingan tandang mereka."

Televisi menyiarkan segmen Match of the Day BBC, yang sedikit mirip dengan Total Soccer, yang tak pernah absen ditonton Tang En saat dia masih di China. Tapi, Match of the Day lebih mirip acara bincang-bincang, dan memiliki rating tertinggi di antara program-program televisi terkait sepakbola lainnya di Inggris. Pemandu acara itu untuk saat ini adalah "Green Gentleman", Gary Lineker, yang dulu sangat terkenal dan rekan pemandu acaranya adalah duo mantan gelandang terkuat Liverpool — Alan Hansen dan Mark Lawrenson.

Orang yang barusan mengatakan itu adalah orang yang jarang menunjukkan wajahnya di program ini, Mark Lawrenson. Dia memiliki sepasang mata berwarna abu-abu dan kumis besar yang mencolok.

Tapi Hansen tidak setuju dengan Lawrenson. Hansen merasa bahwa Tony Twain adalah orang yang dapat dipercaya, dan kalau dia mengatakan dia bisa, maka dia pasti bisa melakukannya.

Lawrenson merasa bahwa anggapan Hansen itu sepenuhnya tak berdasar dan terlalu idealis, dan karenanya dia tetap tidak merasa yakin.

Setelah itu, keduanya memulai argumen rutin mereka, tanpa ada pihak yang bisa meyakinkan yang lain. Pada saat itu, Lineker, yang menertawakan mereka dan menonton dari samping, melompat keluar dan berusaha menjadi mediator. Dia mengusulkan sebuah solusi.

"Karena kalian sama-sama tak bisa meyakinkan yang lain, bagaimana kalau kalian bertaruh?"

"Ide bagus, Gary." Keduanya menyetujui saran yang diajukan olehnya.

Lineker memandangi Lawrenson dan memberinya senyum sinis. "Mark, karena kau yang memulai topik ini, kau harus bertanggung jawab untuk itu."

Lawrenson menyentuh bibirnya sebelum memutuskan. "Baiklah! Kalau tim Twain dipromosikan ke Liga Utama Inggris setelah playoff musim ini, aku akan mencukur kumisku!"

Lineker dan Hansen bersiul, dan Hansen bahkan bertepuk tangan penuh semangat. "Mark, jangan pernah berpikir untuk menarik kembali kata-katamu. Ini siaran langsung, dan semua penonton di seluruh Inggris adalah saksi dari apa yang baru saja kaukatakan."

Lawrenson berkata sambil melotot, "Aku tak pernah menarik kembali kata-kataku." Setiap kali dia mengatakan sesuatu dengan suara keras, kumis di atas bibirnya sedikit berkibar. Seolah benar-benar menggambarkan kalimat 'meniup kumisnya dan menatap dengan matanya.'

Dari samping keduanya, Lineker tiba-tiba berkata, "Baiklah, Mark. Sebenarnya, aku selalu menganggap kumismu itu merusak pemandangan."

Melihat wajah Lawrenson yang terkejut, Hansen meledak tertawa di lokasi syuting.

Tawa itu terdengar keluar dari televisi dan bergema ke seluruh bagian bar Burns. Semua orang mengangkat kepala untuk melihat ke arah televisi, kecuali Tang En yang duduk di sudut, sedang makan. Dia tidak tertarik dengan percakapan para komentator itu, melainkan terus menggunakan sendoknya untuk menghabiskan butiran nasi berlapis saus dari atas piringnya.

Setelah selesai makan, Tang En meninggalkan uang di atas meja, dan langsung keluar dari bar, mengabaikan orang-orang yang menyapanya.

Burns hanya sedikit menggelengkan kepalanya, saat dia melihat Tang En pergi.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.