Mahakarya Sang Pemenang

Apakah Sepakbola Lebih Penting Daripada Hidup Dan Mati? Bagian 1



Apakah Sepakbola Lebih Penting Daripada Hidup Dan Mati? Bagian 1

0

Disaat dunia luar dipenuhi berita tentang kebangkitan hooligan sepakbola dan kematian seorang anak tak berdosa, George Wood masih melakukan latihan dasar yang membosankan dan yang diulangnya berkali-kali, hari demi hari, di lapangan kedua dalam kompleks latihan untuk tim pemuda. Seolah-olah dia dan dunia nyata berada di dua dimensi yang berbeda. Dia sama sekali tak peduli dan tak tertarik pada berita apa pun dari dunia luar. Dia hanya punya satu pikiran dalam benaknya: untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh manajernya, untuk bermain dalam pertandingan, dan mendapatkan uang untuk perawatan medis ibunya.

0

Twain, berpakaian serba hitam, muncul di pinggir lapangan dan memanggil pelatih Wood. Kedua pria itu berbicara beberapa patah kata kepada satu sama lain dengan suara rendah. Kemudian si pelatih pergi, dan Twain berjalan ke arah Wood. Meski Twain selalu mengenakan pakaian hitam — celana panjang hitam, sepatu kulit hitam, bahkan kacamata hitam di hari-hari mendung — menurut Wood, ia kelihatan berbeda hari ini. Setelan hitamnya kelihatan masih baru, masih kaku.

"George," dia berbicara pada Wood dengan suara rendah. "Besok kau tidak perlu latihan."

Wood tidak mengatakan apa-apa. Dia tahu bahwa Twain pasti memiliki sesuatu untuk ditambahkan.

"Apa kau punya setelan hitam?" Tang En bertanya sambil menunjuk ke arahnya.

Wood menggelengkan kepalanya.

Melihat arlojinya, Tang En memberi isyarat pada Wood. "Kau tidak perlu berlatih sekarang. Ikutlah denganku."

"Kita akan pergi kemana?" Wood tidak beranjak dari tempatnya.

"Aku akan membelikanmu jas, kemeja, dan dasi."

"Aku tidak suka memakai barang-barang itu." Wood tidak ingin pergi. Dia tidak ingin membuang waktunya untuk berdandan.

"Apa kau pikir aku mencoba mendandanimu untuk membawamu pergi ke pesta? Apa kau ingat saat kau memberikan tanda tangan untuk seorang anak kecil disana?" Tang En menunjuk ke arah pagar kawat di kejauhan.

Wood mengangguk. Itu adalah pertama kalinya ia memberikan tanda tangan untuk seorang penggemar. Itu adalah hal yang takkan pernah ia lupakan.

"Apa kau tahu siapa namanya?"

Wood menggelengkan kepalanya. Dia tidak bertanya, dan tidak ada yang memberitahunya.

"Gavin, Gavin Bernard. Ingatlah nama itu. Kita akan menghadiri pemakamannya besok pagi."

George Wood tampak terkejut.

Nenek Gavin berdiri di satu sisi sambil ditopang oleh lengannya. Dia memakai topi hitam dengan kerudung yang menutupi wajahnya hingga tak terlihat. Nanti, dia akan naik ke podium untuk berbicara, dan Tang En merasa cemas apakah wanita tua itu mampu menahan kesedihan yang mendalam seperti ini.

Istri Michael seolah lumpuh di lengan suaminya, dan matanya menatap kosong pada bibi Gavin yang berdiri di podium dan menangis. Sudah hampir seminggu sejak kematian Gavin, dan rasa sakit yang dirasakan oleh keluarga itu masih belum berkurang.

Di sisi kiri gereja, terdapat para kerabat, teman sekolah, dan guru Gavin. Teman-teman Michael dan pelatih serta pemain tim Forest berada di sebelah kanan gereja.

Wood duduk di samping Tang En dan mengenakan setelan hitam, kemeja putih, dan dasi yang dibelikan oleh Tang En kemarin. Sambil mengerutkan bibir, dia duduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak tampak sedih seperti orang-orang di sekitarnya. Tak ada ekspresi apapun di wajahnya.

Tang En berpikir mungkin dia bisa memahami anak ini, karena mereka mirip.

Satu-satunya penggemar George Wood sejauh ini, pengagumnya, sekarang terbaring di dalam peti mati hitam. Dia takkan pernah mencarinya untuk meminta tanda tangan dan takkan pernah berada di pinggir lapangan untuk melihatnya berlatih lagi.

Karena semua orang sangat sedih, para kerabat di atas podium dengan cepat mengakhiri pidato mereka, dan pendeta mengucapkan doa terakhir. Kemudian peti mati diangkat, dan semua orang menuju ke pemakaman di belakang gereja.

Tidak ada musik pemakaman saat prosesi pemakaman. Untuk Gavin, Michael memilih "Tears in Heaven" yang ditulis oleh Eric Clapton untuk putra kesayangannya yang meninggal di usia muda. Suara gitar yang suram mengiringi suara serak Clapton. Hati semua orang seolah hancur mendengarnya.

Apakah kau akan mengenaliku saat aku melihatmu di surga?

Akankah semua tetap sama saat aku melihatmu di surga?

Peti mati kayu hitam itu diturunkan dengan hati-hati, dan Tang En memperhatikan bahwa ada kaus jersey Forest berukuran kecil di atas tutup peti. Ada noda darah besar di bagian dada dan garis lehernya, dengan nama Wood masih tampak jelas terlihat di balik noda darah itu. Tang En dengan lembut meletakkan bunga lili putih di tangannya ke atas lambang Forest di tutup peti itu.

Di belakangnya, Wood berlutut dan dengan hati-hati meletakkan bunga di tangannya ke atas namanya sendiri di kaos jersey itu sebelum dia bangkit berdiri dan pergi bersama Twain.

Berdiri di tepi luar kerumunan, Tang En menyaksikan satu per satu pemain dari kerumunan itu melangkah maju untuk meletakkan bunga sebagai penghormatan. Mereka dengan sengaja pergi ke sisinya setelah meletakkan bunga-bunga itu sebagai penghormatan, sehingga semakin banyak orang berkumpul di sekelilingnya. Dia menghitung, dan semua orang dari Tim Pertama telah datang. David Kerslake, manajer tim pemuda, juga datang. Michael Dawson mungkin orang yang merasa paling sedih di tim. Di antara kelompok pemain ini, ia dan Michael Bernard saling kenal paling lama, dan hubungan mereka juga yang terbaik. Bisa dikatakan bahwa Michael telah menyaksikan Dawson berubah selangkah demi selangkah dari pemuda yang tak dikenal menjadi pemain bintang profesional. Michael kehilangan putranya, dan Dawson seolah kehilangan adik lelakinya.

Tang En menepuk pundak Dawson tapi tak tahu bagaimana dia bisa menghiburnya.

Pada akhirnya dia menghela nafas, "Sebaiknya kita semua pulang dan beristirahat. Kita akan bertanding besok."

Melihat kerumunan yang semakin lama semakin menipis, Tang En melihat Wood masih berada di sisinya. Dia kelihatan agak aneh. "Kau juga sebaiknya pulang. Tidak ada latihan hari ini. Kau bisa menghabiskan waktu dengan ibumu."

Wood mengangguk dan berbalik untuk pergi, tapi Tang En menghentikannya lagi. "George, pastikan kau menjadi bintang besar!"

George mengerutkan bibirnya dan mengangguk dengan penuh semangat.

"Pulanglah." Tang En melambaikan tangannya, dan Wood berbalik dan berjalan pergi dari tempat yang muram itu.

Ketika Wood pergi, Tang En melihat ke arah Michael, yang masih menghibur istrinya, dan merasa lebih baik dia tidak mengganggu mereka saat ini, bahkan jika hanya untuk mengucapkan selamat tinggal.

Dia memutuskan akan pergi ke bar milik Burns untuk minum dan mabuk. Dia seharusnya akan baik-baik saja usai bangun dari tidur setelahnya..

Ketika dia tiba di gerbang pemakaman, dia melihat Pierce Brosnan, reporter dari Nottingham Evening Post, terengah-engah sambil berlari ke arahnya. Karena Gavin, Tang En semakin tidak menyukai media. Dan hal ini menodai pandangannya tentang siapa pun yang bekerja di industri media.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.