Mahakarya Sang Pemenang

Seorang Pria Seharusnya Tidak Membiarkan Seorang Wanita Pulang Sendirian



Seorang Pria Seharusnya Tidak Membiarkan Seorang Wanita Pulang Sendirian

0Spekulasi tentang kembalinya Twain ke tim masih terus dibesar-besarkan oleh media, tapi Twain terlalu sibuk untuk memperhatikan. Jadwal pertandingan yang paling intens telah dimulai. Kalau dia dan para pemainnya masih ingin menikmati liburan Natal yang menyenangkan, mereka tidak boleh sering kalah di periode ini.      
0

Sejak Twain mengambil alih tim, dia banyak berkonsentrasi pada pertahanan dan stamina. McAllister telah mengabaikan stamina di musim panas sebelum persiapan menghadapi turnamen dan telah memanjakan mereka dengan latihan rutin ofensif yang kaya dan bervariasi. Untuk menghindari keruntuhan tim di paruh kedua musim ini, Twain hanya bisa menebus apa yang tidak dilakukan oleh pendahulunya. Itulah sebabnya mengapa Twain bersikeras untuk bertanding dengan taktik yang paling sederhana – dia benar-benar tidak punya waktu dan energi untuk menampilkan aksi-aksi mengesankan yang bisa memuaskan para penonton.      

Sejak kematian Sophia, Twain merasa khawatir dengan kondisi pikiran Wood. Selama beberapa minggu belakangan ini, Wood tidak tampak putus asa karena kematian ibunya. Dia juga tidak lagi menyinggung-nyinggung masalah pensiun.      

Mungkin lagu yang dinyanyikan Shania berhasil mempengaruhinya... Twain benar-benar berharap begitu.      

Wood terus bekerja keras, serius dan melakukan yang terbaik dari sebelumnya selama latihan rutin. Dia menggunakan metode ini untuk berusaha melupakan rasa sakit akibat kehilangan ibunya, yang mana Twain tidak bisa berbuat apa-apa tentangnya. Waktu adalah obat terbaik untuk memulihkan diri dari trauma. Dia yakin bahwa sejalan dengan waktu, Wood pasti akan melewati emosi itu.... Tentu saja, itu tidak bisa terjadi tanpa bantuan orang lain.      

"Hey, George," Selama jeda istirahat latihan, Twain memanggil Wood.      

Wood mengira Twain akan berbicara padanya tentang pengaturan untuk pertandingan yang dijadwalkan besok lusa. Tapi, dia sama sekali tidak mengira kalau Twain akan mengundangnya ke rumah untuk makan malam. "Aku meminta Shania untuk memasakkan makanan untukmu... Kenapa kau melihatku seperti itu? Dia sudah mengasah kemampuan memasaknya sekrang... Baiklah, oke, aku sendiri yang akan mempersiapkan makanannya. Sebenarnya, Teresa merindukan kakak Wood-nya. Apa kau tega membuat anak perempuan semanis dan selucu itu merasa sedih?"     

Wood bimbang sejenak dan akhirnya mengangguk.      

Twain memandang punggung Wood yang bergerak menjauh dan menggelengkan kepalanya pelan. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk Wood. Twain merasa tidak nyaman kalau memikirkan dia mengurung dirinya sendiri setelah latihan berakhir, di rumah yang gelap dan dingin itu seolah-olah itu bukan rumah sungguhan, melainkan kastil kuno yang menyeramkan dan dipenuhi kisah berhantu.      

Kalau bukan karena penolakan Wood, dia bahkan sudah merencanakan agar Wood pindah ke rumahnya dan tinggal bersamanya. Bagaimanapun juga, ada lebih banyak kehidupan di dalam rumahnya.      

※※※     

"Oke, guys. Kita akhiri latihan sampai disini. Aku harus mengingatkan kalian bahwa periode paling sibuk akan dimulai besok lusa. Kalau kalian tidak ingin menghabiskan Natal di EFL Championship musim depan, maka berikan yang terbaik. Target pertama," Twain mengacungkan jari telunjuk kanannya sambil berkata, "adalah keluar dari zona degradasi. Selalu berkeliaran di dekat zona degradasi memberiku tekanan psikologis yang besar. Itu saja untuk sekarang, guys."     

Para pemain meninggalkan lapangan latihan satu demi satu. Twain memanggil dan menghentikan Wood.      

"Apa kau tidak ikut denganku?"     

Wood menunjuk pakaian olahraganya yang berkeringat dan berkata, "Aku akan pulang dulu untuk mengganti pakaianku dan mandi."     

Twain memandangnya dan berkata, "George, apa kau benar-benar menolak untuk mempertimbangkan usulanku? Kau bisa pindah untuk tinggal bersama kami,"     

Wood menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak, aku lebih suka tinggal di rumahku."     

Twain menghela nafas tanpa daya dan berkata, "Baiklah, terserah kamu. Kami akan menunggumu di rumah. Lagipula, kau bisa datang kapanpun kau mau."     

"Terima kasih." Wood tidak langsung berbalik tapi mengatakan 'terima kasih', yang agak mengejutkan Twain. Dia mengira dia takkan mendengar kata-kata 'terima kasih' itu karena sifat Wood yang canggung.      

Sepertinya... dia sudah sedikit lebih dewasa.      

Twain mencubit dagunya dan mengerucutkan bibirnya.      

※※※     

Teresa tahu Wood akan datang dan dia sangat bersemangat. Setelah dia mendengar kabar itu, dia duduk manis di ruang tengah dan menunggu sementara Twain dan Shania sibuk di dapur, mempersiapkan makan malam yang mewah.      

Tapi, setelah mereka menyiapkan semua masakan, Wood masih belum datang.      

"Dia hanya perlu mandi dan mengganti pakaiannya. Seharusnya tidak butuh waktu lama..." Twain memandang arlojinya. Sekarang pukul 8.30 malam dan latihan tim sudah selesai sebelum pukul 7.     

"Apa George punya mobil?" tanya Shania.     

"Tidak."     

"Dia tidak akan berjalan kaki kemari, kan?"     

Twain terkejut mendengar ucapan istrinya dan berkata, "Berjalan kemari dari Wilford? Jangan bercanda, sayang. Dia bukan orang bodoh."     

"Kalau begitu, mungkinkah dia mendapatkan kesulitan..." Shania, yang memegang dagunya, memandang ke langit-langit dan bergumam pada dirinya sendiri.      

"Kesulitan macam apa yang bisa dimilikinya? Aku akan berterima kasih kalau dia tidak memberi kesulitan pada orang lain..." Twain juga bergumam pada dirinya sendiri. Tapi, dia tidak yakin apa yang terjadi. Mungkinkah Wood pulang ke rumah, melihat foto ibunya, tiba-tiba saja tidak ingin datang dan memutuskan untuk tetap tinggal di rumah? Itu mungkin saja terjadi... Tapi, seharusnya dia menghubunginya untuk menjelaskan alasannya.      

Saat imajinasi kedua orang itu semakin liar, bel pintu depan berdering.      

"Kakak Wood!" Teresa berteriak gembira sambil melompat turun dari sofa dan pergi untuk membuka pintu, sementara Twain dan Shania saling pandang satu sama lain. Sepertinya tamu mereka sudah tiba.      

"Kakak Wood..." Teresa, yang berjinjit untuk membukakan pintunya, memandang dua orang yang berdiri diluar pintu dengan ekspresi bingung.      

"Halo, Teresa," George Wood, yang memakai setelan jas, menyapa Teresa, yang berdiri di pintu dan mendongak untuk memandangnya dan gadis di belakangnya.      

"Halo, Teresa," teman Wood melambaikan tangannya pada si gadis kecil.      

Twain, yang masih memakai celemek, dan istrinya berjalan keluar dari dapur dan terkejut saat mereka melihat Wood berdiri diluar pintu dengan Vivian di belakangnya.      

"Halo, Tn. dan Nyonya Twain." Vivian melangkah sedikit ke depan Wood dan melambaikan tangannya untuk menyapa keluarga Twain.      

Melihat ekspresi terkejut di wajah Twain dan Shania, Wood menunjuk ke arah Vivian, yang berdiri disampingnya, dan berkata, "Aku tidak mengajaknya tapi dia bersikeras ingin ikut bersamaku."     

"Aku mengundang George untuk makan malam sama-sama, tapi dia bilang Anda mengundangnya, jadi aku ikut datang. Kuharap aku tidak mengganggu," kata Vivian dengan sopan kepada kedua tuan rumah.      

Setelah melihat perilaku pasangan itu, Twain memahami semuanya. Karenanya, dia segera mengubah ekspresi wajahnya, tersenyum lebar dan mengundang keduanya untuk masuk ke dalam. "Sama sekali tidak mengganggu. Kami tidak bisa lebih senang lagi... Kau tahu, George tidak pernah membawa temannya ke tempat kami, khususnya..." Dia melirik Wood dan menambahkan, "teman wanita."     

Shania juga memahami apa yang terjadi dan segera menyambut keduanya. Dia menepuk lembut kepala Teresa dan berkata, "Teresa, tunjukkan jalannya untuk kakak Wood dan kakak Vivian."     

Teresa menoleh ke belakang setiap beberapa langkah untuk melihat ke arah keduanya sambil menuju ke bagian dalam rumah.      

Twain dan Shania sengaja tertinggal di belakang.      

"Dia adalah perawat di rumah sakit yang merawat Sophia di saat-saat terakhirnya.," kata Twain pada Shania. "Kau pasti melihatnya di pemakaman."     

"Ya, dia berdiri di belakang Wood waktu itu... Sejak kapan mereka mulai berkencan?" bisik Shania.      

Twain tertawa kecil. "Sepertinya balok kayu kita sudah bertemu dengan karakter yang gigih!"     

"Kurasa itu bagus. Cara terbaik untuk melupakan masa yang menyakitkan adalah dengan menemukan cinta yang baru," Shania mengaitkan lengannya ke lengan Twain dan meletakkan kepala ke bahunya. "Aku yakin Sophia pasti merasa sangat senang."     

※※※     

Saat makan malam, fokus percakapan adalah pada Vivian, seolah-olah dialah yang diundang oleh keluarga Twain dan Wood hanyalah pelengkap.      

Shania terus mengobrol dengan Vivian, bertanya tentang pekerjaannya, situasinya saat ini dan menggunakan pendekatan tidak langsung untuk mencaritahu bagaimana dia dan Wood bisa cukup dekat untuk bisa makan malam bersama dengan teman-teman lamanya...      

Sementara itu, Wood duduk disana seperti orang bodoh.      

Vivian tampak santai. Dia sama sekali tidak tampak gugup, meski harus berhadapan dengan manajer legendaris yang baru saja menimbulkan perdebatan besar di seluruh Inggris dan seorang supermodel serta bintang film Hollywood. Vivian berperilaku mirip seperti saat dia menghentikan Wood untuk pertama kalinya di rumah sakit.      

Twain tidak mengobrol dengan Vivian dalam cara yang sama seperti istrinya. Dia hanya mengucapkan beberapa patah kata dan di waktu yang lain, dia mengamati Wood dan Vivian. Dia memperhatikan bahwa Vivian selalu melirik Wood, entah disengaja atau tidak disengaja, sementara Wood sepenuhnya fokus pada makan malamnya.      

Ini menarik.      

"Sebagai teman George, kurasa dia pasti membuatmu sakit kepala, bukan?" Twain menyela. Dia tahu tidak mudah untuk bergaul dengan George. Dia selalu mengira hanya dirinya dan Shania yang bisa berinteraksi dengan Wood tanpa ribut-ribut. Orang luar tidak pernah tahu kapan mereka akan menyinggung Wood. Dia terlihat kuat dan keras kepala seperti lembu jantan, tapi berhati lembut seperti seorang wanita muda yang sentimental.      

Mendengarnya mengatakan itu, Vivian tampak malu. Dia memandang sekilas ke arah Wood yang ada disampingnya dan tertawa sambil berkata, "Sebenarnya... kurasa akulah yang banyak membuat George sakit kepala."     

Baik Twain dan Shania kembali terkejut. Oh, Ya Tuhan! Apa ada orang lain di dunia ini yang bisa membuat Wood sakit kepala?     

Melihat tatapan terkejut di mata kedua tuan rumahnya, Vivian menjelaskan, "Aku bisa merasakan kalau kadang-kadang George marah padaku, tapi dia tidak akan pernah memarahiku, atau mengusirku atau sesuatu yang seperti itu... Tapi kurasa dia pasti sakit kepala karenanya."     

Kali ini, Wood, yang tidak mengatakan apa-apa sampai saat ini, angkat bicara. "Dia benar, aku benar-benar sakit kepala,"     

Twain tertawa, dan Shania ikut tertawa bersama suaminya.      

Teresa memandang orang tuanya dengan penasaran. Meski dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, karena orang tuanya tertawa, dia juga ikut tertawa...      

Hanya Wood dan Vivian yang bertanya-tanya kenapa Twain dan keluarganya menganggap ini sangat lucu.      

Twain berhenti tertawa dengan susah payah dan kemudian memandang ke arah Wood dan berkata, "Oh, George. Aku senang karena seseorang akhirnya bisa mengendalikanmu, haha!"     

Vivian tidak paham kenapa Wood tidak memarahinya meski dia membuat pria itu marah. Tapi, Twain memahaminya. Itu karena Vivian adalah satu-satunya orang yang merawat ibu Wood di hari-hari terakhirnya. Perawat muda itu berada di samping ranjang Sophia sepanjang waktu saat dia koma selama dua hari terakhir. Itu adalah sebuah kebaikan yang besar di mata Wood. Dia tidak akan menganiaya dermawan yang telah menemani ibunya dan tinggal bersamanya hingga nafas terakhirnya.      

Tapi, Wood pasti tidak suka dengan kenyataan bahwa Vivian berusaha merawatnya, jadi dia merasa tidak berdaya dan jengkel.      

Shania juga memahami alasan di balik sikapnya itu, jadi dia ikut tertawa. Orang-orang di seluruh dunia yang bisa membuat Wood patuh bisa dihitung dengan satu tangan dan kebetulan saja berada di sekeliling meja ini. Dia menoleh untuk memandang suaminya dan melihatnya memandang dua orang di hadapannya dengan ekspresi iseng.      

Apa yang dilihatnya?     

Masa depan George?     

Vivian tampak agak malu setelah mendengar kata-kata Twain, sementara Wood terlihat tidak nyaman.      

Usai makan malam, Wood baru akan mengucapkan selamat tinggal. Dia tidak ingin mendengar lelucon tentang dirinya. Tapi, Twain masih belum mau melepaskannya begitu saja.      

"Dua minggu lagi Natal, George. Datanglah kemari saat itu. Shania sudah harus bekerja lagi. Kau pasti tidak ingin membuat Teresa dan aku menghabiskan Natal sendirian saja kan?" Twain memang pandai dalam menemukan alasan. Setelah dia menggunakan Teresa yang manis sebagai kartu andalan, dan setelah Wood terpikat oleh mata Teresa yang cerah dan indah, penuh antisipasi, dia menelan kembali kata-kata penolakan sopan yang sudah disiapkannya.      

Dia mengangguk.      

"Apa kau akan menghabiskan Natal dengan orang tuamu, Nona Vivian?" tanya Twain, menoleh ke arahnya.      

"Tidak... Mereka sudah memesan penerbangan ke Barcelona. Mereka menggunakan liburan Natal ini untuk pergi berlibur, yang sudah mereka rencanakan sejak awal tahun ini," Vivian menggelengkan kepalanya.      

"Kalau begitu, kau..."     

"Dan aku harus bekerja shift, jadi aku harus tetap tinggal di Nottingham," Vivian tersenyum pada Twain.      

"Yah..." Twain kembali memandang Wood dan berkata padanya, "Jangan lupa ajak Nona Vivian bersamamu Natal nanti, George."     

Wood memandang heran pada Twain yang tersenyum.      

Vivian juga memandang terkejut ke arah Twain. Tapi, tak lama kemudian dia mengalihkan tatapannya ke Wood, seolah menunggu jawabannya.      

Vivian bukan satu-satunya yang menunggu jawabannya. Twain dan Shania juga memandang ke arah Wood, menunggu dengan penuh antisipasi.      

Wood tampak ragu-ragu dan akhirnya mengangguk singkat.      

Twain tersenyum dan sama halnya dengan Shania. Vivian juga menundukkan kepalanya dan tersenyum.      

"Baiklah, malam semakin larut." Twain dan keluarganya mengantarkan Wood dan Vivian sampai halaman depan rumah. Lalu Twain berkata pada Wood, "Antarkan Nona Vivian pulang dulu sebelum kau pulang."     

Wood memandangnya.      

"Seorang pria seharusnya tidak membiarkan seorang wanita pulang sendirian." Twain meletakkan tangannya di bahu Wood dan meremasnya.      

"Kalau kau khawatir pulang terlalu larut, aku bisa memberimu ijin untuk terlambat 15 menit saat latihan rutin besok pagi."     

※※※     

Wood tidak datang terlambat untuk sesi latihan pagi hari. Dia masih menjadi orang pertama diantara pemain lain yang tiba di kompleks latihan, orang pertama yang berganti pakaian dan orang pertama yang muncul di lapangan latihan.      

Dua hari kemudian, dalam pertandingan pertama kalender iblis periode Natal, Wood memimpin timnya menuai kemenangan atas tim tamu Wolverhampton Wanderers FC. Lalu sebuah berita datang dari Paris, Perancis bahwa George Wood mendapatkan penghargaan Ballon d'Or atas penampilannya yang luar biasa dalam turnamen tim nasional tahun ini. Di hari yang sama, Wood juga mendapatkan penghargaan Pemain Terbaik Dunia oleh publikasi World Football, Inggris. Selain itu, penghargaan Sportsman of the Year dari Laureus World Sports Awards juga sudah menunggunya.      

Lebih dari seminggu kemudian, lima hari sebelum Natal, Wood dan Twain terbang bersama ke ibukota Austria, Vienna. Di Wiener Musikverein, Wood menerima piala Pemain Terbaik Dunia FIFA dari presiden FIFA, Blatter.      

Meski penampilan klub tidak begitu bagus, tahun ini adalah tahun Piala Dunia. Semua penghargaan besar dinilai sesuai dengan peristiwa besar seperti Piala Dunia. Tim Inggris arahan Twain adalah sebuah penekanan pada tim secara keseluruhan. Sebagai inti dan kapten tim, Wood adalah sosok kunci di timnya yang pada akhirnya berhasil memenangkan Piala Dunia. Tak ada keraguan lagi bahwa dia seharusnya terpilih sebagai Pemain Terbaik Dunia FIFA.      

Wood tampak agak canggung dan berbicara dengan lambat di upacara penghargaan, tapi pidatonya yang singkat itu membuat mata Twain berkaca-kaca saat dia duduk di dekat panggung dengan senyum di wajahnya dan bersiap untuk bertepuk tangan.      

"Semua pencapaianku adalah milik ibuku dan ini juga bukan pengecualian." Dia mengangkat piala emas di tangannya dan berkata, "Terima kasih, Bu. Terima kasih, Tn. Twain."     

Ini adalah pertama kalinya Wood memenangkan penghargaan yang prestisius dan karirnya mencapai puncaknya. Semoga saja, hidupnya juga akan memulai babak baru sejak saat ini...      

Selain itu, Tony Twain, yang memimpin tim Inggris menjadi juara Piala Dunia, sekali lagi mendapatkan penghargaan Pelatih Terbaik Dunia FIFA. Ini bukan hal baru. Twain telah muncul di panggung ini untuk menerima penghargaan ketika dia memimpin timnya memenangkan Liga Champions UEFA pertama-nya, serta saat mempertahankan Liga Champions EUFA dan ketika dia memenangkan Treble.      

Sepanjang karir melatihnya, dia menaiki podium itu untuk yang keempat kalinya.      

"Kuharap kalian tidak bosan." kata-kata pertama Twain membuat semua orang di depan panggung meledak tertawa. "Jelas bukan hal yang menyenangkan untuk melihat wajahku yang menjengkelkan ini lagi. Tapi tak apa; kalian semua bisa bernafas lega." Ketika Twain mengatakan ini, dia menoleh ke arah para petinggi FIFA dan UEFA. "Aku hanya kembali bekerja untuk musim ini, jadi aku ingin berpamitan lebih awal." Dia melambaikan tangannya dan melanjutkan, "Kali ini, perpisahan itu nyata dan aku takkan kembali lagi. Jadi, kalian semua bisa tidur nyenyak di masa depan, guys."     

Lalu, di tengah ekspresi terkejut para petinggi senior, Twain mengambil piala dan perlahan melangkah turun dari atas panggung. Dia disambut dengan tepuk tangan meriah dari seluruh audiens.      

Meski ada banyak rivalnya disini yang menjadi lawan di lapangan, mereka masih menghormati dan mengakui profesional yang telah memenangkan begitu banyak gelar juara.      

Tak peduli betapa mereka membenci Twain, piala-piala kejuaraan itu berfungsi sebagai pengingat konstan bagi mereka untuk menghormatinya.      

Di Wiener Musikverein, aula musik klasik terkemuka di Vienna, Tony Twain, yang terbaik di bidangnya, juga telah mencapai sepakbola level atas. Semua orang, termasuk lawan-lawannya, menghormatinya. Tidak ada lagi yang berani mempertanyakan statusnya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.