Mahakarya Sang Pemenang

Aku Belum Kalah



Aku Belum Kalah

0"Tony!"     
0

Ketika Twain sudah menyingkirkan para reporter dan berjalan ke tempat parkir, dia mendengar seseorang memanggil namanya dari belakang. Twain berhenti berjalan lalu menoleh ke belakang, dan dia melihat wajah yang familiar.      

Di tepi jalan, dibawah pepohonan yang rimbun, Michael Bernard berdiri di bawah bayangan dedaunan yang berbintik-bintik. Ketika angin bertiup, dedaunan bergemerisik, dan bayangan itu ikut bergerak-gerak, membuatnya tampak samar seolah dia adalah hantu.      

"Penyamaran yang bagus, Michael. Kalau kau tidak memanggilku barusan, aku nyaris tidak bisa melihatmu."     

Twain berjalan mendekat dan tersenyum ke arah Michael, yang masih berdiri dibawah pohon.      

"Penyamaran?" Tadinya Michael tidak bereaksi tapi lalu dia menoleh ke arah bayangan berbintik-bintik yang tampak di tubuhnya dan dia sadar itu memang terlihat seperti kostum penyamaran...     

Dia tertawa. Lelucon Twain barusan membuatnya merasa hangat.      

"Kenapa kau kembali kemari? Bukankah kau harus bekerja?"     

"Aku berhenti dari pekerjaanku," kata Michael pada Twain dengan tatapan serius.      

Komentarnya itu membekukan senyum di wajah Twain.      

"Hanya bercanda! Ha!" Michael kelihatannya tahu bagaimana caranya menunjukkan wajah datar. Ekspresinya yang tampak serius barusan berubah dalam sekejap dan digantikan dengan senyum bahagia.      

"Untuk menonton pertandingan terakhirmu, aku mengambil cuti tiga hari dan tiba disini semalam."     

Twain mengangguk. Tidak heran dia tidak melihat Michael kemarin sore melainkan baru hari ini.      

"Dari caramu berpakaian..." Twain menilai penampilannya dari atas ke bawah dan berkata, "Jangan katakan padaku kau bahkan tidak pulang ke rumah dan langsung kemari dari kantor."     

Michael tampak sedikit malu dan berkata, "Sebenarnya, aku melakukan perjalanan bisnis ke Italia dan langsung mengajukan cuti lalu datang kemari... Aku tidak sedang berlibur, jadi aku hanya punya baju ini. Setidaknya, aku tidak memakai jas..."     

Twain mengangguk untuk menunjukkan pengertiannya.      

"Apa istrimu tahu kau ada disini?" Meski sempat mengobrol kepada pasangan itu di Los Angeles dan tahu bahwa istri Michael tidak lagi peduli tentang masa lalu dan kecintaan Michael terhadap sepakbola, Twain tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.      

"Aku sudah menghubunginya." Michael tidak bercanda kali ini.      

Twain mempercayai kata-kata Michael. Michael yang sekarang adalah pria baik. Mantan hooligan yang dulu pernah melecehkannya di pub sudah tidak ada lagi.      

Kedua pria itu duduk di dekat rumput tepi jalan. Mereka tidak peduli meski disana agak sedikit kotor.      

"Terima kasih sudah datang untuk menemuiku," kata Twain, sambil memandang lapangan latihan diseberang jalan.      

"Aku disini untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu."     

Twain menoleh dan memandang Michael, mendengarkannya bicara.      

"Sudah 16 tahun, Tony. Waktu berlalu begitu cepat. Banyak hal telah terjadi pada kita. Tapi aku tidak datang kemari hari ini untuk membicarakan masa lalu."     

Twain tersenyum dan menjawab, "Kita sudah bicara tentang masa lalu waktu itu di Los Angeles."     

Michael mengangguk setuju.      

"Sebenarnya, aku hanya ingin kembali kemari dan melihatmu."     

"Bukan berarti kau belum melihatku sebelum ini atau tidak bisa melihatku sesudah ini. Kau bicara seolah kita tidak akan saling bertemu lagi..." tukas Twain.      

"Tapi ini terakhir kalinya aku melihatmu sebagai manajer."     

Twain sedikit terkejut. Dia melupakan identitasnya. Ini memang yang terakhir kali dalam kapasitas itu, kali terakhir dia bertindak sebagai manajer. Tak peduli bagaimana situasinya di masa depan nanti, dia tidak akan kembali dari masa pensiunnya dan mengambil jabatan ini lagi, meski itu adalah akhir dunia... Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, apa hubungannya akhir dunia dengan dirinya yang menjadi manajer atau tidak?      

Yah, seorang manajer... Twain mendongak menatap langit yang biru. Dulu dia sama sekali tidak mengira kalau dia akan menjabat posisi ini sedemikian lama, dan meraih banyak hal. Tuhan, Ya Tuhan, apa tujuanMu melemparkanku kemari saat itu? Apakah untuk memberiku mimpi ini? Tapi aku tidak percaya dengan kebaikanMu...      

Twain menggelengkan kepalanya pelan. Dia sering merenungkan pertanyaan itu. Lalu sejalan dengan berlalunya waktu dan kehidupannya yang berjalan lancar di dunia ini, perlahan dia mulai melupakannya. Tidak perlu meratap disini sekarang tentang bagaimana langit telah mempermainkannya.      

Karenanya, dia mengubah topik pembicaraan dan bertanya, "Apa kau sudah menemui Gavin?"     

Michael mengangguk dan menjawab, "Ada seikat bunga. Apa itu milikmu?"     

Twain menggelengkan kepalanya. Dia mencoba menebak dan menjawab, "Pasti punya George."     

"Dia masih ingat...'     

"Apa yang kau bicarakan? Putramu adalah penggemar pertamanya. Bagaimana mungkin dia tidak ingat?" Twain menatap Michael dengan tajam. Wood memang tidak bagus dalam mengekspersikan perasaannya, tapi dia punya hati yang hangat. Kalau Vivian akhirnya bisa menaklukkan hati Wood, maka dia akan menjadi wanita paling bahagia di seluruh dunia, karena dia telah menemukan seorang pria yang sangat setia.      

Michael mengangguk dan tertawa.      

"Kalau Gavin masih hidup, dia pasti berusia 29 tahun sekarang, kan?" tanya Twain.      

"28 tahun. Ulang tahunnya tanggal 11 Juli," jawab Michael.      

"Kau mengingatnya dengan sangat baik."     

"Aku ini ayahnya!" Michael membusungkan dadanya dan menjawab dengan bangga.      

Twain tersenyum.      

"Datanglah ke rumahku siang nanti dan aku akan memperkenalkanku pada putriku," Twain bangkit berdiri dan meluruskan celananya. Putrinya masih menunggu di rumah, jadi dia tidak boleh pulang terlambat.      

Michael juga bangkit berdiri, tapi dia menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak, John dan yang lainnya sedang menungguku."     

Twain hanya bisa mengangkat bahu untuk mengungkapkan penyesalannya.      

"Apa kau punya tiket?" tanya Twain sebelum mereka berpisah jalan.      

Michael mengangguk dan berkata, "Ya. Setelah aku memberitahu John dan yang lainnya bahwa aku akan datang, mereka langsung mencarikan tiket untukku."     

Setelah mendengar ini, Twain menoleh dan memandang Michael dengan penasaran. "Kapan kau memutuskan untuk kembali kemari?"     

"Setelah kau mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan rencana pensiunmu. Aku langsung merasa aku harus kembali dan ikut melepaskan kepergianmu apapun yang terjadi."     

"Terima kasih," Twain berterima kasih pada Michael untuk yang kedua kalinya hari ini.      

"Kita teman lama. Itu sudah seharusnya."     

Setelah dia mengatakan itu, Michael melambai ke arah Twain dan keduanya pun berpisah jalan.      

Twain baru saja melangkah pergi ketika tiba-tiba saja dia mendengar Michael berteriak di belakangnya, "Tony! Aku takkan diam saja kalau kau sampai kalah!"     

Twain menoleh ke belakang dan melihat Michael mengacungkan tinju ke arahnya. Tiba-tiba saja dia teringat dengan pertandingan terakhir 16 tahun yang lalu. Sebelum meninggalkan lapangan, Michael membawa putranya. Saat itu, dia juga mengacungkan tinju ke arahnya dan mengancam akan memberinya pelajaran kalau tim Forest tidak bisa bermain di Liga Premier musim depan.      

Setelah mengatakan itu, kali berikutnya dia melihat Gavin adalah di kamar mayat rumah sakit.      

Twain hanya bisa termenung dan berdiri disana, tapi Michael tidak menunggunya menjawab. Dia langsung berbalik dan berjalan ke arah yang berlawanan.      

Pada saat Twain kembali dari renungannya, sosok Michael Bernard sudah tak terlihat.      

Dia memikirkan tentang kata-kata Michael sebelum ini dan tertawa.      

"Bagaimana mungkin aku bisa kalah? Aku masih belum pernah kalah dari Mourinho!"     

※※※     

Tim Mourinho melakukan pemanasan di Stadion Crimson sementara dia menerima wawancara dari reporter televisi. Membicarakan tentang pertandingan esok hari, dia tampak percaya diri dan menyatakan bahwa timnya pasti akan memenangkan turnamen liga musim ini.      

"Aku ada disini untuk menang dan mendapatkan piala liga."     

Reporter televisi resmi Manchester United tampak senang dan teryakinkan oleh komentar Mourinho, sementara reporter televisi BBC punya pandangan yang berbeda.      

"Anda belum pernah mengalahkan Tony..."      

Sebelum reporter itu selesai bicara, Mourinho menyela kata-katanya.      

"Aku tidak tertarik membahas masa lalu. Setiap pertandingan saat ini tidak ada hubungannya dengan itu."     

Pertanyaan itu benar-benar merusak suasana hati Mourinho. Dia terlihat enggan menjawab pertanyaan selanjutnya, meski pertanyaan itu diajukan oleh stasiun televisi Manchester. Dia sudah kehilangan minat.      

Wawancara semacam ini jelas tidak memberikan banyak berita berharga. Sebagian besar reporter yang datang akan mengeluh bahwa reporter BBC sama sekali tidak bijak dengan kata-katanya. Bagaimana mungkin dia bisa mengajukan pertanyaan seperti itu pada Mourinho? Semua orang tahu Mourinho benci kalau rekornya yang 'belum pernah mengalahkan Twain' diungkit oleh orang lain dan digunakan sebagai materi wawancara.      

Ini sama seperti mengisyaratkan bagaimana Twain tidak memiliki anak sendiri meski sudah menikah selama bertahun-tahun. Itu benar-benar kejam dan ekstrim.      

Sebenarnya, tekanan batin yang dirasakan Mourinho saat ini lebih besar daripada yang dirasakan Twain.      

Siapa yang membuat Arsenal mengikutinya begitu dekat?     

Di putaran terakhir turnamen liga ini, Manchester United yang hanya dua poin lebih unggul dari Arsenal, dengan selisih gol mereka yang lebih besar, berada di puncak klasemen. Di putaran terakhir ini, selama Manchester United bermain imbang dengan Nottingham Forest, mereka akan bisa mempertahankan gelar liga mereka. Kalau pertandingan terakhir Manchester United dimainkan melawan tim lain – dan bukan Nottingham Forest – dimana mereka harus menyelesaikan target musim ini lebih cepat dari jadwal, maka peluang Manchester United untuk menang akan lebih tinggi. Sayangnya, lawan mereka kali ini adalah Nottingham Forest...      

Mourinho tidak pernah membayangkan Tony Twain akan melepaskannya begitu saja, sama seperti bagaimana dia tidak akan melepaskan Tony Twain di situasi yang sama. Kedua pria ini tidak segan-segan saling menginjak tubuh satu sama lain untuk mendapatkan peringkat teratas. Bagaimana mungkin dia bisa menunjukkan belas kasihan?     

Inilah alasan yang membuat Mourinho berada dalam suasana hati yang buruk belakangan ini. Dia selalu menunjukkan wajah muram pada semua orang. Dia merasakan tekanan batin yang lebih besar dibandingkan orang lain. Kalau dia kalah, itu tidak sekadar kalah dalam mempertahankan juara liga. Baginya, karirnya sebagai manajer masih panjang. Dia masih bisa memenangkan banyak gelar liga yang diinginkannya di masa depan. Tapi, kalau dia kalah dari Tony Twain, dia takkan punya kesempatan untuk memecahkan rekor omong kosong konyol itu lagi. Setelah Twain pensiun, Twain tak lagi bisa memimpin tim dan bersaing dengannya lagi. Dia akan harus menanggung rekor memalukan 'tak pernah mengalahkan Twain' itu selamanya dan tak pernah bisa melepaskan diri darinya...      

Membayangkannya saja membuatnya ngeri!     

Kalau itu menjadi kenyataan... Bagaimana mungkin seorang pria angkuh seperti Mourinho bisa menerimanya?     

Ada alasan lain yang membuat suasana hati Mourinho jadi buruk – ketidakhadiran Rooney membuatnya kesal. Meski Rooney sudah berusia 32 tahun, dia masih memiliki peranan yang penting di dalam tim sebagai seorang striker berpengalaman. Ketidakhadirannya sangat mempengaruhi kemampuan Manchester United dalam melakukan serangan.      

Selain itu, ini adalah sebuah pertandingan tandang...      

Apa ada pertandingan putaran terakhir liga yang lebih sial daripada ini?     

※※※     

Dibandingkan Mourinho, Twain jauh lebih tenang selama wawancara sebelum pertandingan.      

"Dia belum pernah mengalahkan aku? Jujur saja, aku sudah hampir lupa tentang itu..." Twain terlihat kagum seolah-olah dia baru saja menginagt ini. Tapi, tidak ada orang yang mempercayai kata-katanya. Media mempublikasikan perseteruan antara kedua pria itu belakangan ini dan berulangkali mengungkit sejarah pertemuan mereka. Bagaimana mungkin dia melupakannya?     

"Kurasa rekor masa lalu tidak akan bisa membantu pertandingan besok. Tidak ada orang yang pernah tenggelam di sungai yang sama dua kali," Twain, yang mengatakan ini, terlihat seperti seorang filsuf tapi dia hanya berpura-pura berdamai. Mourinho jelas tidak percaya Twain akan melepaskannya begitu saja hanya karena mereka pernah minum bersama satu kali. Tapi, beberapa orang di Manchester United akan mempercayainya.      

"Manchester United adalah tim yang sangat kuat. Kami kalah dari mereka dalam pertandingan tandang di paruh pertama musim ini, jadi aku tidak tahu apakah aku akan bisa memenangkan pertandingan besok."     

Twain tampak rendah hati dan bersikap seolah-olah dia tidak bisa memberikan ancaman yang signifikan terhadap posisi Manchester United.      

Sebelum pertandingan melawan Arsenal, Twain telah bersumpah bahwa tujuannya adalah untuk memenangkan pertandingan. Saat itu, orang-orang mengira dia hanya mengatakan itu untuk meningkatkan semangat tim. Sebenarnya, tim Forest tidak mungkin bisa menang melawan Arsenal dalam pertandingan tandang. Dan bagaimana hasilnya?     

Arsenal kalah di kandang mereka sendiri saat melawan Nottingham Forest.      

Sekarang Twain sendiri mengatakan bahwa Manchester United sangatlah kuat dan berbicara dengan rendah hati. Tentu saja, ini mengimplikasikan bahwa dia menganggap timnya hanya punya sedikit peluang untuk bisa mengalahkan Manchester United.      

Twain sudah mengatakan dan melakukan banyak hal, mana diantara kata-katanya itu yang bisa dipercaya orang-orang?     

Twain tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain. Dia melanjutkan;     

"Pertandingan terakhir? Tidak, aku tidak melihatnya seperti itu. Ini hanya pertandingan liga biasa. Ya, sebuah pertandingan liga biasa." Twain mengulanginya seolah dia khawatir pihak lawan bicaranya tidak mempercayainya. "Karir kepelatihanku sudah sangat sukses. Aku tidak perlu mengandalkan kemenangan di pertandingan ini untuk mendapatkan akhir yang sempurna."     

Itu mungkin benar. Sebagai seorang manajer, dia telah memenangkan semua gelar juara yang bisa dimenangkan. Apa yang lebih baik daripada karir melatih yang sukses itu? Sementara tentang sebuah pertandingan, mungkinkah Twain benar-benar akan melepaskan pertandingan terakhir ini? Apa dirinya dan Mourinho tidak saling menghargai bakat satu sama lain?     

Media berpikir seperti itu dan ini tercermin dalam program-program acara serta artikel-artikel mereka.      

Sebagai akibatnya, dalam sebuah program acara sepakbola malam itu, terdapat pengamat bola yang memprediksikan bahwa Manchester United akan menang besar dalam pertandingan esok hari dan gelar juara liga pasti akan berhasil mereka pertahankan.      

Di akhir acara, mereka bahkan menunjukkan cuplikan Twain yang berbicara tentang kehidupannya setelah pensiun. "Aku akan rehat sejenak. Aku akan melakukan perjalanan panjang bersama istriku dan membawa putriku bersama kami. Lalu... aku masih belum tahu. Ha-ha!"     

Suara tawa Twain di layar televisi itu terdengar tidak tulus. Si pembaca acara, yang optimis bahwa Manchester United akan bisa mempertahankan gelar juara mereka, juga ikut tertawa. Dia mengira Tony Twain benar-benar terlihat tidak berbahaya dan gelar liga milik Mourinho pasti akan bisa dipertahankan.      

Pertandingan masih belum dimulai. Bagaimana mungkin seorang pria, yang sudah memikirkan tentang kehidupan setelah pensiun, bisa berdiri tegak dan bersaing melawan seorang pria yang harus memenangkan pertandingan atau berakhir dengan karir yang hancur?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.