Mahakarya Sang Pemenang

Keputusan Shankly Saat Itu



Keputusan Shankly Saat Itu

0Kelihatannya Nottingham Forest tiba-tiba telah menemukan semangat untuk maju setelah pertandingan melawan Arsenal. Mereka mendapatkan tiga kemenangan dan satu hasil imbang di bulan Februari, dan mereka melesat ke peringkat delapan di klasemen liga. Mereka hanya dua peringkat dibawah peringkat keenam.      
0

Hasil tim menjadi lebih baik dan otak seorang pria mulai bergerak aktif.     

Edward Doughty akan melihat ke kalender setiap hari untuk melihat hari itu hari apa dan berapa banyak waktu yang tersisa sebelum akhir musim. Twain berkata dia akan berhenti setelah musim berakhir dan kata-kata itu terus terngiang di benak Doughty. Sudah diketahui oleh banyak orang bahwa Twain akan pensiun di akhir musim ini. Media sudah mengetahuinya dan sama halnya dengan para fans. Dia bahkan mengulangi kata-kata itu dalam upacara penghargaan sepakbola FIFA yang diselenggarakan akhir Desember tahun lalu. Twain sudah bertekad untuk pensiun setelah musim berakhir.      

Tapi, Edward Doughty tidak ingin membiarkan Twain meninggalkan klub untuk yang kedua kalinya. Dulu dia membuat kesalahan tentang hal ini dan dia tidak boleh membuat kesalahan yang sama.      

Dia bertanya-tanya apakah Twain sudah berubah pikiran setelah dua bulan.      

Edward Doughty akan pergi ke kompleks pelatihan Wilford setiap hari untuk mengamati perilaku Twain selama sesi latihan tim. Dia ingin tahu apa yang ada dalam pikiran pria itu.      

Hari ini, dia melihat Twain mengobrol dengan gembira bersama koleganya dan bercanda bersama para pemainnya. Dia bahkan melihatnya meletakkan lengannya di sekeliling Bale dan Wood dan mengatakan sesuatu pada mereka.      

Sepertinya dia sedang dalam mood yang bagus dan menikmati pekerjaannya.      

Edward Doughty merasa waktunya sudah tepat.      

※※※     

"Hey, Tony. Kudengar istrimu sudah kembali." Para pemain akan berkumpul dan mengobrol selama istirahat latihan dan para pelatih juga melakukan hal yang sama. Bagaimanapun juga, mereka semua manusia seperti halnya para pemain, dan mereka juga butuh istirahat.      

Para pelatih jauh lebih suka bergosip dibandingkan para pemain, dan mereka selalu bisa mendapatkan informasi dengan cepat.      

Ini terlihat dari bagaimana mereka bisa langsung bertanya pada suami Shania Twain untuk mendapatkan lebih banyak informasi orang dalam meski tabloid Inggris baru melaporkan kedatangan Shania di Inggris kemarin.      

Twain tidak bisa melakukan apa-apa tentang kolega-koleganya yang suka bergosip.      

"Ya, dia kembali kemarin,"     

Beberapa pelatih saling pandang dan tertawa. "Sepertinya kita pasti akan memenangkan beberapa pertandingan kita berikutnya! Haha!"     

Semua pelatih ikut tertawa bersama mereka. Ini adalah lelucon yang merujuk pada fenomena yang terjadi sebelum Twain meninggalkan Forest. Tim memiliki kecenderungan untuk tampil konsisten setiap kali Shania tiba di Inggris.      

Twain membiarkan koleganya tertawa sepuas mereka. Dia tidak perlu merasa kesal. Baginya, keharmonisan di tim adalah kunci untuk mencapai hasil yang bagus. Kenapa dia mau mengatakan sesuatu yang bisa merusak keharmonisan yang mereka punya sekarang?     

Twain melangkah kembali ke kantornya setelah sesi latihan berakhir. Dia baru akan meninggalkan buku catatannya di meja dan mengambil kunci mobilnya lalu pulang ke rumah. Memang ada restoran yang berada di kompleks pelatihan, tapi dia tidak bermaksud makan siang disini. Bagaimanapun juga, istri tercintanya Shania sudah menyiapkan makan siang dan sudah menunggunya di rumah. Tidak hanya itu, masakan yang dihidangkan di restoran biasanya cocok untuk atlit dan tidak dimaksudkan untuk dimakan oleh orang-orang biasa. Twain bukan atlit dan tidak ada alasan kenapa dia harus mengkonsumsi makanan hambar di restoran.      

Setelah memasuki kantornya, Twain meletakkan buku catatannya di atas meja. Dia mengambil kunci mobilnya dari laci dan bersiap untuk pergi. Tapi, saat dia mengangkat kepalanya, dia melihat seseorang berdiri di pintu.      

"Edward!" kata Twain terkejut. "Kau menakutiku. Kau tidak bersuara saat berdiri disana. Kau seperti hantu, apa kau tahu itu?"     

Edward Doughty tertawa malu setelah melihat reaksi Twain. "Maaf. Aku melihatmu sedang sibuk, jadi aku tidak berani memanggilmu. Apa kau bersiap untuk pulang ke rumah?" Dia melihat kunci mobil yang dipegang Twain di tangannya.      

Twain menyadari benda yang dipandang Doughty. Dia menunjukkan kunci mobilnya dan berkata, "Yeah. Shania menungguku di rumah."     

"Ah..." Doughty sedikit kecewa. "Kelihatannya sekarang bukan waktu yang tepat untuk bicara."     

Twain merasa komentarnya itu agak aneh, jadi dia bertanya, "Apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan, Edward?"     

"Er..." Doughty ragu sejenak tapi tidak bisa mengeluarkan kata-kata. "Kapan kau punya waktu? Aku ingin bicara denganmu secara pribadi tentang suatu hal, Tony."     

Twain mencoba mengingat jadwalnya selama beberapa hari kedepan dan berkata, "Aku punya waktu akhir pekan ini, setelah pertandingan tandang."     

Doughty mengangguk. "Kalau begitu, aku akan menemuimu akhir pekan ini. Sampai jumpa, Tony. Aku tidak ingin menghabiskan terlalu banyak waktumu, kalau tidak istrimu akan mengeluh tentangku."     

Doughty sadar betul bahwa Shania tidak memiliki kesan baik tentang dirinya.      

Twain tidak mengatakan apa-apa dan hanya melihat pemilik klub melangkah keluar ruangan. Pria tua berusia 60 tahun itu sepertinya sudah kehilangan semua arogansi dan tirani yang ditunjukkannya empat tahun yang lalu. Saat ini, dia sama seperti pria lain yang menua. Mereka bisa mencoba melakukannya, tapi hubungan antara mereka berdua takkan pernah bisa kembali seperti dulu lagi. Bagaimana mungkin seseorang bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa sementara ada keretakan yang jelas terlihat di permukaan yang tadinya mulus?     

Sekarang ini, Doughty jarang bercanda dengan Twain dan Twain juga tidak akan pergi ke kantor Doughty untuk mengobrol dengannya. Mereka mungkin terlihat dekat dari luar tapi seseorang masih bisa mengatakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan hubungan mereka kalau mereka memperhatikan hal-hal yang mendetil.      

Perbedaan dalam hubungan mereka ini bukanlah sesuatu yang bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Itu adalah sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh seseorang.      

Tapi, tidak satupun dari mereka perlu diberitahu bahwa hubungan mereka tidak lagi sama seperti dulu. Mereka berdua sama-sama tahu tentang itu.      

※※※     

Nottingham Forest akan menghadapi Manchester City dalam pertandingan tandang akhir pekan ini. Keduanya menurunkan tim terkuat dalam pertandingan itu dan Forest berhasil mengalahkan City dengan bantuan gol yang kontroversial. Media yang diasosiasikan dengan Manchester City percaya bahwa gol itu dilakukan saat offside, dan mereka tidak bisa berhenti memprotes tentangnya selama konferensi pers paska-pertandingan. Twain menanggapi dengan mengalihkan tanggungjawab ke pundak wasit pertandingan, "... Aku tidak berada di posisi yang bagus saat itu, jadi aku tidak tahu apa yang terjadi setelah Chen Jian mengoper bolanya. Tapi, karena wasit membiarkan gol itu, aku yakin gol itu sah... Yang penting bukan prosesnya, melainkan hasilnya. Hasil pertandingan ini menyatakan kami menang dan aku merasa sangat senang dengan ini."     

Media tidak bisa melakukan apa-apa tentang Twain yang tak tahu malu itu. Mereka hanya bisa menonton tanpa daya ketika dia 'mencuri' apa yang seharusnya menjadi kemenangan mereka. Tentu saja, itu tidak menghentikan mereka dari mencemooh Twain di surat kabar, tapi Twain tidak peduli dengan apa yang mereka katakan tentang dirinya. Dia telah menjadi manajer selama 15 tahun, dan dia juga telah menghabiskan 15 tahun terakhir menyerang dan mencemooh media, sama seperti mereka menyerang dan mencemoohnya. Dia sudah sangat terbiasa dengan sikap mereka.      

Highlight akhir pekan ini bukanlah pertandingan melawan City, melainkan apa yang terjadi di hotel tempat tim menginap setelah pertandingan berakhir. Atau, lebih tepatnya lagi, apa yang akan terjadi di kamar hotel Twain.      

Ini adalah pemandangan yang familiar bagi Twain dan Doughty. Bagaimanapun juga, ini mirip dengan adegan yang dimainkan empat tahun lalu di kamar hotel Twain di Madrid. Perbedaan utamanya adalah absennya salah satu karakter utama dari empat tahun yang lalu dan plot pertunjukan kali ini juga berbeda.      

Kalau pertunjukan empat setengah tahun yang lalu adalah tentang politik dan tipu daya, pertunjukan kali ini akan dipenuhi air mata.      

Dan pria yang akan berakting sebagai karakter utama yang menyedihkan adalah Edward Doughty.      

"Edward, kau bilang ada sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku. Apa kau disini untuk membujukku tetap tinggal di Forest?" Twain duduk di tepi ranjang hotelnya dan menatap Edward Doughty, yang duduk di sofa di seberangnya.      

"Apalagi yang ingin kubicarakan denganmu? Tony, apa kau masih tidak mempercayaiku?"     

Edward Doughty menunjukkan ekspresi pahit di wajahnya. Dia berusaha keras mengekspresikan keinginannya agar Twain tetap tinggal dengan Forest, tapi yang dilakukan Twain adalah membalasnya dengan pertanyaan. Bagaimana mungkin dia tidak menderita batin karenanya?     

Memang benar apa yang dikatakan oleh orang-orang. Beberapa luka takkan pernah bisa sembuh sepenuhnya...      

"Tentu saja aku mempercayaimu, Edward. Kalau tidak, aku takkan menerima tawaranmu untuk kembali ke Forest sebagai manajer," kata Twain.      

Sikap Twain membuat Doughty merasa semakin tidak pasti tentang apa yang benar-benar ada di benaknya. Bagi Doughty, Twain seolah mengucapkannya setengah hati dan tidak benar-benar serius saat mengatakan itu.      

Twain melihat ekspresi di wajah Doughty dan tertawa masam. "Bagaimana caranya kau ingin aku membuktikan padamu bahwa aku mempercayaimu? Aku sungguh-sungguh dengan apa yang kukatakan..."     

"Kalau begitu tetaplah tinggal di klub, Tony."     

Edward Doughty menatap Twain tapi tidak bisa mendapatkan apa-apa dari ekspresi Twain.      

"Itu tidak mungkin, Edward. Aku punya keluarga dan kesehatanku tidak mengijinkanku untuk terus bekerja sebagai manajer lebih lama lagi," Twain menggelengkan kepalanya dan menolak permohonan Doughty.      

"Tapi... kau tidak mengalami masalah kesehatan apapun beberapa bulan belakangan ini..."     

Twain mengangkat tangannya dan memotong ucapan Doughty. "Akulah yang paling tahu kondisi tubuhku, Edward. Aku merasa aku tidak punya energi sebanyak dulu... Selain itu, apa kau bilang aku hanya punya masalah kesehatan kalau aku pingsan di pinggir lapangan dan dikirim ke ruang gawat darurat selama 48 jam? Kau adalah temanku. Aku yakin kau tidak ingin aku dan keluargaku melewati semua itu lagi, kan?"     

Kata-kata Twain itu membuat Edward Doughty tak bisa berkata-kata. Dia begitu putus asa untuk mempertahankan Twain di dalam klub dan sama sekali tidak memikirkan bagaimana dia harus bertindak sebagai seorang teman. Kalau dia ingin yang terbaik untuk Twain, maka dia pasti akan selalu mengutamakan kesehatannya.      

Tidak satupun dari mereka yang berbicara selama beberapa waktu. Edward Doughty menundukkan kepalanya dan tidak tahu apa yang harus dia katakan. Twain, disisi lain, telah mengalihkan pandangannya ke arah televisi. Berita tentang pertandingan yang baru saja berakhir antara Forest dan Manchester City sedang disiarkan dan fokus berita itu terletak pada apakah posisi Mitchell sudah offside ketika dia mencetak gol.      

Twain telah menyebutkan selama konferensi pers bahwa dia tidak melihat apa yang telah terjadi sebelum gol itu dicetak, dan sekarang dia punya peluang untuk melihatnya. Berita itu mengulang adegan sebelum Mitchell mencetak gol. Mitchell berada di posisi segaris dengan bek Manchester City sebelum menendang bolanya. Kamera membekukan momen ketika dia menendang bola, dan Twain bisa melihat dengan jelas bahwa tubuh bagian atas Mitchell memang sedikit lebih maju dari garis pertahanan lawan....      

Jujur saja, Mitchell jelas berada dalam posisi offside ketika dia mencetak gol. Tapi, apakah itu offside atau tidak merupakan keputusan yang diambil oleh wasit. Kalau wasit menganggap tubuh bagian atas Mitchell yang sedikit lebih maju tidak terlalu mempengaruhi pertandingan, dia bisa saja memilih untuk tidak menganggapnya sebagai offside. Tapi, kalau dia mematuhi aturan dan menganggap Mitchell offside, Twain akan menjadi orang yang membela timnya di konferensi pers paska-pertandingan.      

Para komentator di dalam berita itu tidak sependapat dengan Twain. Mereka yakin bahwa Manchester City telah kalah karena penilaian buruk wasit, dan mereka mengutuk wasit karenanya. Twain melirik logo saluran berita itu dan sadar bahwa itu adalah saluran berita lokal. Tidak heran, pikirnya dalam hati.      

Twain tidak tertarik untuk mendengarkan sisa berita itu. Dia memalingkan pandangannya dari layar televisi dan kembali memandang Doughty. Yang membuatnya terkejut, Doughty juga memandang ke arah televisi dan tampak tenggelam dalam pikirannya.      

Twain ragu-ragu sejenak. Tapi lalu dia tertawa dan berkata, "Lihat saja aku sekarang. Aku sudah menua. Aku membutuhkan wasit untuk membantuku memenangkan pertandingan belakangan ini."     

Doughty menggelengkan kepalanya setelah mendengar kata-kata Twain. "Itu kesalahan wasit. Apa hubungannya denganmu? Kita mungkin tidak memiliki tingkat penguasaan bola yang tinggi seperti Manchester City tapi lebih sering menembak ke gawang lawan dan kita layak untuk menang. Kita hanya tidak beruntung dalam beberapa tembakan kita. Ada kalanya kita bisa mencetak gol tapi tidak berhasil..."     

Twain tidak menyela ucapan Doughty. Tanpa disadarinya, sudut bibirnya perlahan terangkat naik saat dia mendengarkan kata-kata Doughty.      

Edward Doughty melihat perubahan ekspresi di wajah Twain dan dia sadar dia sudah bicara terlalu banyak. Dia langsung berhenti bicara dan memandang Twain.      

"Ha!" Twain tertawa. "Aku merasa ini sangat menarik. Dulu kau adalah pria yang bahkan tidak bisa membedakan antara seorang 'pelatih' dan seorang 'manajer', tapi sekarang kau bisa memberikan analisa yang bagus seperti itu. Kita selalu berubah... Edward, aku tidak ingin terus bekerja sebagai manajer selama sepuluh tahun lagi. Aku sudah berusia 50 tahun, dan aku juga punya masalah jantung. Aku pasti meninggal dunia sebelum Shania, jadi aku ingin memanfaatkan waktuku yang tersisa dengan sebaik-baiknya. Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan istriku dan Teresa... Kau juga seorang kepala keluarga. Aku yakin kau tahu bagaimana perasaanku."     

Doughty mengangguk. Dia tidak mungkin menggelengkan kepalanya, kan?     

"Tapi..." Doughty memutuskan untuk melawan balik karena dia tidak ingin dibujuk semudah itu oleh Twain.      

"Aku tahu kau memikirkan apa yang terbaik untuk klub, dan aku bersungguh-sungguh. Aku selalu percaya padamu, Edward. Tapi, aku benar-benar tidak fit untuk bekerja lebih lama lagi di Nottingham Forest. Kita semua selalu berubah dan sama halnya dengan Nottingham Forest," kata Twain. "Tidak ada tim yang bisa selalu menang di dunia ini, dan tidak ada pula tim yang akan selalu menjadi juara. Klub yang sudah berhasil menciptakan sebuah dinasti di masa lalu juga memiliki pasang surutnya, dan hal yang sama juga terjadi untuk Nottingham Forest..."     

Benak Twain jadi teralihkan saat dia mengatakan ini.      

Hari-hari dimana Herbert Chapman memimpin Arsenal untuk mengamuk di Inggris sudah terjadi terlalu lama. Sir Matt Busby, pria yang memimpin Manchester United untuk meraih gelar juara Liga Champions pertama mereka, sudah lama meninggal dunia. Bill Shankly, yang memiliki pengaruh mendalam di Liverpool, kini tidak lebih dari sebuah nama. Brian Clough, pria yang bertarung melawan Liverpool ketika mereka sedang berada di puncak dan pria yang menciptakan 'Generasi Merah Inggris' bersama Liverpool kini menjadi patung perunggu yang berada di pusat kota Nottingham. Ferguson yang sangat kuat, yang mendominasi Liga Premier sejak awal, telah menjadi pria tua yang setiap hari berjemur dibawah sinar matahari di halaman belakang rumahnya dan yang bahkan tidak lagi menonton balapan kuda favoritnya lagi. Arsene Wenger, godfather Arsenal yang juga menjadi legenda olahraga seperti layaknya Ferguson, akan berusia 70 tahun dan pensiunnya sudah dekat...      

Semua nama-nama tenar itu akan terkubur dibawah pasir waktu suatu hari nanti dan prestasi mereka hanya akan menjadi sebuah kenangan. Twain yakin bahwa dia, bersama tim Nottingham Forest-nya empat tahun yang lalu, akan ditakdirkan mengalami nasib serupa beberapa tahun mendatang. Ini sama seperti bagaimana anak-anak yang dilahirkan belakangan ini tidak akan pernah benar-benar menghargai kebesaran Michael Jackson. Mirip seperti ini, para fans Ronaldo juga tidak akan pernah tahu seberapa hebatnya Maradona dan para fans Maradona takkan pernah tahu seberapa hebatnya Pele karena mereka tidak pernah mendapatkan kesempatan melihatnya bermain bola di depan mata mereka sendiri. Sama seperti ini, para fans Pele akan menganggap Alfredo Di Stefano sebagai orang yang asing. Segala hal dalam hidup pasti akan berakhir suatu hari nanti. Twain sudah melewati begitu banyak hal dalam hidupnya sampai saat ini, dan tidak ada yang tidak bisa diletakkannya di belakang.      

"Aku tidak bisa terus mengisi posisi manajerial ini dan aku juga tidak seharusnya tinggal disana selamanya. Apa yang dibutuhkan Nottingham Forest adalah sebuah rencana jangka panjang yang bisa dijalankan secara bertahap selama beberapa tahun. Tapi, aku pria yang terlalu bersemangat dalam mencapai sukses dan aku juga menginginkan kepuasan instan. Orang sepertiku tidak cocok memimpin Nottingham Forest menyambut masa depan."     

Doughty terlihat seolah dia ingin menghentikan Twain menghina dirinya sendiri, tapi Twain segera melanjutkan, "Apa kau masih belum mengerti, Edward? Kenapa hasil yang diraih tim Forest menurun drastis setelah aku pergi? Kenapa tidak ada perubahan yang terjadi setelah mempekerjakan banyak sekali manajer bagus? Aku tidak ingin Nottingham Forest menjadi 'Nottingham Forest-nya Tony Twain'. Kita mungkin memenangkan banyak piala kalau aku tetap tinggal sebagai manajer, tapi kita takkan pernah bisa menjadi tim yang benar-benar kuat. Sebagian besar orang tidak bisa hidup seratus tahun, tapi banyak tim sepakbola di dunia sudah ada selama berabad-abad. Mustahil bagi sebuah tim untuk tetap kuat dan mendominasi hanya dengan mengandalkan kemampuan satu orang. Mengapa Liverpool dianggap sebagai tim papan atas? Mereka bukan apa-apa sebelum Shankly, tapi apa yang penting adalah mereka berhasil memenangkan lima piala Liga Champions setelah Shankly pergi."     

Twain bersandar ke depan dan memandang Doughty.      

"Ada beberapa media tertentu yang menjulukiku sebagai Shankly-nya Nottingham Forest. Kau tahu apa keputusan terbaik yang dibuat Shankly dalam hidupnya?"     

Twain tersenyum saat dia melihat ekspresi Doughty berubah dari bingung menjadi paham dan kemudian tampak frustasi.      

"Keputusannya untuk tiba-tiba mengundurkan diri dan meninggalkan Liverpool selamanya."     

Twain telah mendengar tentang Shankly ketika dia masih penggemar sepakbola biasa. Dia juga familiar dengan penerus Shankly, Bob Paisley. Tapi, dia tidak pernah bisa paham mengapa Shankly memilih untuk mengundurkan diri ketika dia melakukan pekerjaan yang bagus sebagai manajer Liverpool. Mengingat kesuksesannya di klub, Shankly seharusnya tetap tinggal sebagai manajer dan bekerja keras untuk meraih hal-hal yang lebih besar bersama klub. Sebagai contoh, dia bisa saja memimpin Liverpool untuk meraih gelar Liga Champions mereka yang pertama. Twain dan banyak penggemar lainnya percaya bahwa dia mampu melakukan itu kalau saja dia tetap tinggal di klub.      

Twain tidak paham kenapa dia meninggalkan klubnya saat itu, tapi sekarang dia paham.      

Kata-kata Twain itu mengejutkan Edward Doughty dan mulutnya ternganga. Dia terduduk di sofa sambil termenung dan tidak mengeluarkan suara untuk waktu yang lama.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.