Mahakarya Sang Pemenang

Stadion City Ground Kita



Stadion City Ground Kita

0Jumlah fans yang bepergian ke stadion City Ground mulai meningkat karena waktu untuk pertandingan terakhir Liga Premier sudah semakin dekat.      
0

Twain kadang berkendara pulang melewati stadion City Ground dari Wilford, dan dia akan melihat pintu masuk stadion dipenuhi banyak buket bunga dan syal Nottingham Forest yang berayun lembut tertiup angin.      

Dia tahu bahwa semua benda itu ditinggalkan oleh orang-orang yang ingin mengucapkan selamat tinggal pada Stadion City Ground.      

Stadion City Ground yang berwarna merah terpantul di permukaan air Sungai Trent yang jernih. Di sisi lain sungai itu terdapat Stadion Meadow Lane, yang menjadi stadion kandang Notts County.      

Twain dan Dunn bekerja di dua tempat yang berbeda meski masih berdekatan. Akan tetapi, keduanya tidak pernah bertemu satu sama lain setelah mereka mengucapkan selamat tinggal setahun yang lalu.      

Ada dua hari tersisa sebelum pertandingan terakhir Liga Premier. Twain berkendara ke Stadion City Ground setelah menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Matahari sudah hampir terbenam saat dia tiba disana.      

Banyak fans Forest yang mengunjungi stadion City Ground untuk mengucapkan selamat tinggal hari ini. Para fans itu tahu bahwa mereka tidak punya banyak waktu tersisa. Stadion City Ground akan dihancurkan selama musim panas setelah Forest memainkan pertandingan terakhir mereka dua hari lagi, dan sebuah pusat rekreasi dan olahraga baru akan dibangun diatasnya.      

Twain memarkir mobilnya di dekat sungai dan menyalakan radio. Dia mendengarkan suara lembut Dolores O'Riordan sambil mengagumi pemandangan stadion City Ground dengan latar belakang matahari terbenam.      

Perasaan hangat muncul di dalam dirinya saat dia melihat stadion itu. Dia tidak akan merasakan apa-apa selain kekosongan yang dingin di dalam dirinya kalau dia tidak bertransmigrasi dan menjalani hidup seperti yang dia lalui.      

Dia sudah berjuang selama 11 tahun di stadion ini. Dia selalu mengeluhkan tentang betapa kecilnya stadion ini, dan bagaimana stadion ini tidak bisa menampung lebih banyak penonton sehingga bisa memberikan tekanan yang lebih besar kepada lawan.      

Edward Doughty akhirnya menyetujui sentimen ini. Ukuran stadion ini tidak mencerminkan hasil, posisi dan reputasi Nottingham Forest.      

Twain tidak mengubah pendapatnya tentang membutuhkan stadion yang lebih besar, tapi dia merasa sedikit enggan setelah sekarang dia harus mengucapkan selamat tinggal pada stadion itu.      

Dia tidak membeli bunga, menempelkan kartu ke dalamnya dan kemudian meninggalkannya di pintu masuk stadion seperti banyak fans lainnya. Yang dilakukannya hanyalah bersandar di kap mobilnya dan menatap ke arah stadion dengan lengan terlipat di depan dada.      

11 tahun telah berlalu sejak dia bertransmigrasi, tapi Twain masih ingat dengan jelas semua emosi yang dia rasakan di stadion itu saat dia pertama kali ditugaskan sebagai manajer.      

Dia merasa seolah dirinya memiliki stadion City Ground saat timnya membuat West Ham gempar dengan dua gol yang dicetak berturut-turut. Dia menyukai suasana berisik dan penuh semangat di stadion dan dia menikmati suara sorakan dan nyanyian yang berasal dari tribun. Dia tidak menganggap semua suara itu memekakkan telinga. Baginya, semua itu adalah suara-suara yang lebih menyenangkan untuk didengar daripada musik terbaik di dunia.      

Dulu dia berusia 34 tahun, tapi sekarang dia sudah berusia 45 tahun. 11 tahun itu telah menjadi bagian dari hidupnya yang takkan bisa terhapuskan.      

Bagi stadion City Ground, 11 tahun itu tidak lebih dari sepersepuluh 'hidupnya'. Stadion ini telah berdiri disamping sungai Trent untuk waktu yang lama dan telah menyaksikan jatuh bangunnya tim Forest.      

Semua pahlawan yang meninggalkan nama untuk diri mereka sendiri di dalam sejarah melakukannya di sini dan itu jauh lebih tua daripada semua piala di ruang piala.      

Tidak peduli seberapa arogan dan liciknya Twain sebagai seorang manusia. Bahkan dia harus tunduk di hadapan stadion ini.      

115 tahun telah berlalu dalam sekejap mata. Semua hal yang terjadi di sepanjang tahun-tahun itu kini telah menjadi bagian dari sejarah. Stadion City Groung mungkin bermandikan cahaya matahari yang keemasan saat ini, tapi eksterior merahnya masih tampak mencolok dilihat dari kejauhan.      

Banyak orang meninggalkan buket bunga di depan pintu masuknya sebagai sebuah cara untuk mengingat dan mengucapkan selamat tinggal pada stadion ini.      

Twain terbenam dalam pikirannya sendiri sambil bersandar pada kap mobilnya.      

Seseorang mengenalinya dari kejauhan dan berjalan mendekatinya.      

"Tony?" Orang yang mendekatinya memicingkan mata untuk memandangnya. Dia tidak bisa melihatnya dengan jelas karena cahaya matahari yang menyilaukan.      

"Kenny. Sudah lama." Orang yang berdiri di depan Twain adalah boss Forest Bar, Kenny Burns.      

"Jelas sudah cukup lama sejak kau pindah rumah."     

"Apa yang membuatmu meninggalkan bar dan datang kemari?"     

"Bagaimana mungkin bisnis lebih penting daripada mengucapkan selamat tinggal pada seorang teman dekat?" Burns menunjuk ke arah stadion City Ground di belakangnya.      

Di saat itulah Twain baru menyadari bahwa Burns membawa buket bunga seperti para fans yang lain.      

"Apa kau punya tiket untuk pertandingan terakhir Liga Premier?" Twain akan memberikan tiket pada Burns kalau memang dia tidak punya tiket.      

"Aku pemegang tiket musiman, Tony."     

Twain tergelak. "Aku tidak pernah melihatmu menonton pertandingan sebelum ini."     

"Aku pasti akan datang dan menonton pertandingan terakhir. Dan lagi, itu tidak hanya aku. Beberapa temanku juga akan ikut datang menonton."     

"Brosnan memberitahuku bahwa dia berusaha merencanakan semacam event perpisahan untuk stadion City Ground dan dia berusaha mengumpulkan beberapa mantan pemain Forest untuk itu. Kelihatannya dia sudah menghubungimu?"     

Burns menganggukkan kepalanya. "Aku akan menghadirinya meski dia tidak mengundangku. Sayang sekali boss tidak bisa melihatnya."     

'Boss' yang dirujuk olehnya bukanlah Tony Twain melainkan Brian Clough. Clough adalah manajer Burns saat itu.      

"Ny. Clough juga sudah setuju untuk menghadiri acara itu." kata Twain.      

Memang bagus kalau Ny. Clough bisa hadir di acara itu tapi keduanya sama-sama tahu bahwa Ny. Clough tidak akan bisa menggantikan boss. Tidak satupun dari mereka bermaksud untuk tidak menghormati Ny. Clough dengan perkataan itu, tapi itulah yang mereka rasakan.      

Percakapan terhenti setelah mereka menyinggung almarhum Clough dan keheningan menyelimuti keduanya.      

Ditemani matahari yang terbenam, Dolores bernyanyi dengan lembut,      

"Aku bermimpi, mimpi yang aneh... Membuka mataku, aku tersadar, ini adalah hariku yang sempurna... Berharap kau tidak pernah menjadi tua. Berharap kau tidak pernah menjadi tua. Berharap kau tidak pernah menjadi tua..."     

"Tony..."     

"Hmmm?"     

"Ada sesuatu yang ingin kukatakan. Kuharap kau tidak tersinggung."     

"Katakan saja."     

"Aku harus berterima kasih karena kau bilang kau tidak akan membuat orang-orang lupa tentang Brian Clough meski kau sudah mencapai hasil yang luar biasa di klub ini."     

Twain mendengus. "Ha! Aku bukan orang bodoh. Aku juga benar-benar menghormati boss."     

"Tak peduli seberapa bagus penampilan klub saat ini. Bagi kami, boss dan apa yang sudah dicapainya takkan tergantikan. Kurasa kau bisa bilang bahwa kami hanya bersikap keras kepala."     

Twain tersenyum dan berkata, "Kalau kau berani mengatakan ada seseorang yang lebih baik darinya sebagai seorang manajer, maka petir akan muncul di langit dan menyambarmu di kepala. Aku tidak mau tersambar petir dan aku yakin kau juga tidak,"     

Kata-kata Twain itu membuat Burns tertawa dan suasana yang muram diantara keduanya mulai menghilang.      

Sebenarnya, Twain merujuk pada sesuatu dengan kata-katanya itu. Beberapa tahun yang lalu, saat sebuah tim yang dipimpin oleh Nigel Clough, putra Brian Clough, berhadapan dengan Manchester United di FA Cup, seorang reporter betanya apakah dia setuju dengan pernyataan bahwa Ferguson adalah manajer yang paling luar biasa di kancah sepakbola Inggris, dimana Nigel Clough menjawab, "Sulit bagiku untuk menjawabnya karena hubungan keluargaku. Kalau aku berkata Sir Alex memang yang terbaik, petir mungkin akan muncul di langit dan menyambar kepalaku!"     

"Aku tidak akan mengatakan akulah manajer terbaik di industri ini. Tapi akulah yang terhebat."     

Itulah kata-kata yang dikatakan Clough, dan yang juga dituliskan di dasar patung Brian Clough yang terletak di Old Market Square.      

"Kalian berdua memang agak mirip..." Burns menggelengkan kepalanya sambil memandang Twain. "Kurasa dia akan merasa bangga dengan apa yang telah kauraih."     

"Tidak." Twain tidak setuju dengan komentar Burns. "Dia akan memarahiku tanpa ampun di surat kabar. Hanya karena aku bilang kalau wasitnya tidak adil."     

Burns tersenyum senang mendengar kata-kata Twain. Setelah beberapa saat, dia mengalihkan kembali pandangannya ke stadion, dan pikirannya kembali mengembara.      

Dia mulai mengingat masa-masa mudanya saat dia bertengkar dengan manajer Clough dan rekan setimnya. Stadion ini masih sama seperti yang diingatnya saat itu dan bahkan suara sorakannya juga terdengar sama, tapi orang-orang yang ada saat itu sudah lama pergi.      

Sekarang, stadion ini akan dihancurkan, dan satu-satunya hal yang dimilikinya untuk mengingatkannya tentang masa-masa itu adalah ingatan di dalam kepalanya. Tapi, akan datang hari dimana dia akan menjadi tua dan ingatannya akan berkabut.      

Ketika hari itu tiba, apa yang bisa digunakannya sebagai bukti bahwa ingatannya memang nyata?     

Ponsel Twain yang ditinggalkannya di dalam mobil berdering. Dia mengulurkan tangan ke dalam mobil untuk mengambilnya.      

Itu adalah panggilan telepon dari istrinya, Shania, yang bertanya padanya kapan dia akan pulang ke rumah.      

"Ah, saat ini aku masih di stadion dan aku bertemu Tn. Burns..." Twain menjelaskan pada istrinya melalui telepon.      

Burns tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Twain. "Pulanglah, Tony. Istrimu menunggumu."     

Twain mengangkat bahu. "Aku masih ingin mengobrol lebih lama lagi denganmu."     

"Aku pasti akan datang menonton pertandingan di akhir pekan nanti, Tony."     

"Apa kau berusaha memberiku tekanan?" Twain menoleh dan memandang Burns sambil membuka pintu mobilnya.      

"Apa kau ingin bilang kalau kau takut dengan tekanan?"     

Twain tersenyum. "Kita pasti menang. Tapi, entah kami menjadi juara Liga Premier atau tidak, itu semua masih akan bergantung pada hasil pertandingan antara Arsenal dan Manchester City."     

"Musim yang sangat menarik. Aku mendoakan yang terbaik untukmu."     

Twain duduk di dalam mobil. Lalu dia menjulurkan kepala keluar dari jendela dan melambai ke arah Burns. "Aku mendoakan yang terbaik untuk Nottingham Forest."     

Lalu dia berkendara menjauh dari stadion City Ground sambil bermandikan cahaya oranye matahari yang terbenam.      

Burns, disisi lain, mulai berjalan ke arah yang berlawanan yakni pintu masuk stadion City Ground dimana semua fans lain telah berkumpul disana, dengan buket bunga di tangannya.      

Keesokan harinya, para pemain Nottingham Forest melihat Pierce Brosnan dan seorang kameramen berjalan ke arah lapangan latihan ditemani Allan Adams.      

Twain mengerutkan kening saat dia melihat Allan Adams di samping Brosnan, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.      

Ketika ketiga individu itu melewatinya, dia tersenyum lebar pada mereka. "Pemandangan yang langka. Aku bertanya-tanya apa yang membawamu ke lapangan latihan kami hari ini, Tn. Reporter?"     

Brosnan baru akan membuka mulutnya untuk menjawab tapi dia disela Allan Adams.      

"Jadi begini, Tony. Tn. Pierce Brosnan bermaksud membuat artikel tentang stadion City Ground dan dia berharap dia bisa mewawancarai tim tentang pikiran dan perasaan mereka tentang stadion..."     

Brosnan tersenyum dan menganggukkan kepala disampingnya.      

"Jadi begitu... Baiklah, lakukan saja. Tapi, aku harus mengingatkanmu untuk tidak melakukannya terlalu lama. Mereka baru saja selesai berlatih dan masih belum ganti pakaian. Kalau mereka tiba-tiba terserang flu..." Twain menunjukkan ekspresi muram. "Itu takkan bagus untuk kita berdua, kan?"     

Twain berbalik dan langsung pergi setelah mengucapkan itu.      

Brosnan merasa sedikit canggung, karena seharusnya orang pertama yang diwawancarainya adalah Tony Twain...      

Allan bisa tahu kalau Twain sedang kesal, dan dia tahu alasan dibalik suasana hatinya yang buruk.      

Manajer Tim Pertama itu tidak mengucapkan satu patah katapun padanya sejak dia ikut campur tangan dan dengan paksa menjual Lennon ke klub lain. Tapi, Allan tidak ingin menunjukkan hubungannya yang buruk dengan Twain di hadapan media, jadi dia segera menjelaskan pada Brosnan, "Jangan pedulikan dia. Dia tidak suka diganggu, terutama karena ada pertandingan besar yang akan segera diadakan..."     

"Haha! Kami paham, Tn. Adams," kata Brosnan sambil tertawa.      

Bagi Brosnan, Twain tidak bersikap seperti itu karena 'pertandingan besar akan segera diadakan dan dia tidak suka diganggu'. Melainkan, itu lebih karena Twain adalah orang yang temperamental, jadi sangatlah normal baginya untuk memperlakukan seseorang dengan hangat di hari tertentu dan memperlakukannya dengan dingin di hari yang lain.      

Wawancara itu berjalan dengan lancar berkat adanya Allan Adams. Para pemain sangat menyadari status dan posisi Allan di dalam klub.      

Twain berdiri di pinggir lapangan dengan lengan terlipat dan menonton dengan dingin.      

Setelah Brosnan selesai mewawancarai para pemain, dia melangkah ke arah Twain untuk meminta waktu melakukan wawancara.      

Allan Adams tidak langsung mengikutinya. Dia merasa ragu sejenak, kelihatannya dia bermaksud menjaga jarak antara dirinya dan Twain.      

"Tony. Bisakah kau membicarakan tentang pertandingan terakhir yang akan dimainkan di Stadion City Ground?"     

Twain masih berwajah muram saat dia memandang ke arah dua reporter itu. "Kami akan mengucapkan selamat tinggal pada Stadion City Ground dengan sebuah kemenangan." Dia tidak melanjutkan dengan ucapan inspirasional dan penuh semangat tentang bagaimana dia akan memimpin timnya menjadi juara Liga Premier.     

Kalau reporter lain yang mewawancarai Twain saat ini, dia pasti akan melanjutkannya dengan pertanyaan tentang mengapa dia tidak mengucapkan selamat tinggal pada Stadion City Ground dengan menjadi juara liga. Brosnan tidak mengajukan pertanyaan itu karena dia sangat mengenal Twain, dan dia tahu seberapa rumit situasinya saat ini.      

Meski Forest berhasil mengalahkan Sunderland di kandang, nasib mereka dalam menjadi juara hanya akan bergantung pada hasil pertandingan antara Arsenal dan Manchester City.      

Seluruh tim Nottingham Forest tidak menunjukkan sedikitpun rasa optimis terhadap kemungkinan mereka bisa menjadi juara Liga Premier. Bahkan manajer mereka yang arogan, Tony Twain, menolak berkomentar tentang apakah mereka akan bisa menjadi juara.      

Carl Spicer mengumumkan di dalam acaranya bahwa dia telah memesan sebuah meja baru dan trendi dari Ikea untuk Tony Twain.      

Menariknya, Twain tidak mengatakan apa-apa untuk menanggapi komentar Spicer. Kurangnya reaksi darinya membuat media merasa sangat keceewa.      

Tapi, masih ada banyak area lain yang bisa difokuskan oleh media.      

Akankah juara Liga Premier musim ini adalah Arsenal atau Nottingham Forest?     

Akankah dua mantan pemain Forest di Manchester City sengaja bermain buruk melawan Arsenal karena dendam pribadi mereka pada Twain?     

Bendtner sudah angkat bicara tentang rumor dimana dia akan sengaja tampil buruk saat melawan Arsenal dalam wawancara yang dilakukan kemarin.      

"Aku adalah seorang pemain sepakbola profesional. Apa yang kupedulikan bukan siapa yang menjadi juara Liga. Aku hanya tertarik untuk mendapatkan kemenangan bagi timku."     

Sementara bagi Ashley Young, dia mengkonfirmasikan bahwa dia akan meninggalkan Manchester City dan pindah ke Liverpool di akhir musim ini. Dia mengindikasikan bahwa dia ingin mengucapkan selamat tinggal pada Manchester City dengan sebuah kemenangan.      

Tidak satupun dari keduanya yang menyinggung tentang Twain.      

Big John, Skinny Bill dan geng mereka berkumpul di Forest Bar sehari sebelum diadakannya pertandingan terakhir Liga Premier dan membuat spanduk dan bendera yang akan mereka gunakan selama pertandingan. Ada pula beberapa fans Forest lain yang berkumpul di bar-bar lain untuk melakukan hal yang sama.      

Para pemain Nottingham Forest menjalani sesi latihan terakhir di Wilford. Tony Twain mengesampingkan sejumlah waktu untuk menganalisa pertandingan Sunderland dengan tim pelatihnya. Mereka sudah mempelajari segala yang bisa mereka pelajari tentang Sunderland sepanjang minggu, tapi mereka masih ingin menganalisa Sunderland lebih jauh lagi karena mereka tidak bisa memikirkan hal lain yang bisa mereka lakukan.      

Mungkinkah mereka mengira akan bisa membantu Manchester City mengalahkan Arsenal dengan cara menganalisa Sunderland di level yang lebih dalam?     

Menjelang matahari terbenam, jumlah fans yang berkumpul di pintu masuk stadion City Ground mulai berkurang.      

Satu-satunya hal yang tertinggal disana adalah bunga dan syal yang masih terus tertiup angin.      

Thompson Isaksson, yang bekerja sebagai staff pemeliharaan lapangan sepakbola untuk Forest dan membantu merawat rumput di lapangan latihan dan stadion, muncul di depan semua bunga yang diletakkan di pintu masuk stadion City Ground.      

Kalau seseorang bertanya padanya apakah hal yang paling diingatnya sebagai staff pemeliharaan lapangan adalah membantu Forest mengalahkan Barcelona dengan menciptakan 'satu-satunya' stadion untuk Tony Twain, dia pasti akan menggelengkan kepalanya dan tidak setuju dengan itu.      

Baginya, hal yang paling diingatnya sebagai staff pemeliharaan lapangan sepakbola adalah melangkah masuk ke dalam lapangan di stadion City Ground dan merawatnya.      

Dia sudah memutuskan untuk pensiun di akhir musim ini. Dia menganggapnya sebagai sebuah kehormatan untuk bisa pensiun bersama-sama dengan Stadion City Ground.      

Hari ini, dia datang untuk mengucapkan selamat tinggal pada Stadion City Ground sendirian. Besok, dia akan kembali kemari bersama 30,000 fans Forest lain dan dia berharap dia bisa menyaksikan momen dimana Nottingham Forest mengucapkan selamat tinggal pada stadion mereka yang berusia 115 tahun dengan jalan memboyong piala Juara Liga.      

Isaksson merasa seolah dia sedang melihat dirinya yang lebih muda saat dia menatap Stadion City Ground yang dilatarbelakangi matahari yang terbenam.      

Dia berdiri diam di ruang terbuka dengan senyum kecil di wajahnya yang keriput saat angin berhembus membelai wajahnya.      

"... Inilah Stadion City Ground kita. Ini setua kakek kita. Ini masih akan berdiri disamping Sungai Trent saat kita semua menjadi kakek-kakek... Ini masih akan berdiri disamping Sungai Trent di hari kita meninggal dunia... Kita semua akan mati suatu hari nanti, tapi stadion ini tidak akan pernah menua atau mati, karena ini stadion City Ground kita..."     

Tidak banyak orang yang masih bisa menyanyikan lagu yang baru saja dinyanyikan Isaksson. Itu adalah lagu yang didedikasikan oleh fans Forest untuk Stadion City Ground saat Isaksson masih muda. Melodinya sederhana dan liriknya juga mudah diikuti.      

Sayangnya, teknologi masih tidak terlalu maju saat itu. Para fans tidak bisa merekam lagu itu sendiri, dan tidak ada perusahaan musik profesional yang mau membantu para fans untuk merekam lagu-lagu mereka menjadi CD dan menjualnya kepada publik.      

Kegelapan menyelimuti jalanan dan lampu jalan mulai menyala.      

Isaksson masih menyanyikan lagu itu dengan suara pelan setelah dia berbalik dan melangkah pergi.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.