Mahakarya Sang Pemenang

Kegemparan



Kegemparan

0Twain sedang berbaring di atas ranjangnya yang besar. Dia dibangunkan oleh sinar matahari pagi yang masuk ke dalam kamar.      
0

"Selamat pagi, manajer juara."     

Shania berbaring disampingnya, menggambar lingkaran di dada Twain menggunakan rambutnya.      

Twain memicingkan mata sambil melihat sinar matahari yang cerah diluar jendela dan bertanya dengan suara serak, "Jam berapa sekarang?"     

"9:47." Shania melirik sekilas ke arah jam alarm kecil yang ditempatkan di meja samping ranjang dan terus memainkan rambutnya di atas dada Twain.      

Twain menatap Shania yang masih menggambar lingkaran di dadanya, dan perasaan hangat muncul di hatinya.      

Shania adalah orang terpenting dalam hidupnya, karenanya dia tidak bisa menyembunyikan hal ini lebih lama lagi.      

"Jor."     

"Hmmm?" Shania sedikit terkejut dan dia menghentikan gerakan tangannya. Meski "Jor" adalah nama panggilan resmi Shania, Paman Tony jarang memanggilnya seperti itu. Dia selalu memanggilnya dengan nama "Shania" sejak pertama kali mereka bertemu.      

"Apa kau sudah memikirkan kemana kau ingin pergi liburan?"     

Shania kembali tenang dan melanjutkan menggambar lingkaran sambil berkata, "Kita bisa pergi ke Brasil. Toh, Piala Dunia akan diadakan di Brasil dan kau juga akan mengomentari pertandingan disana. Kita bisa mampir untuk mengunjungi orang tuaku dan kemudian kita bisa bersenang-senang sendiri. Lalu setelahnya kau akan melakukan pekerjaan komentator itu dan aku akan kembali ke Amerika." Shania sudah mengatur rencana liburan itu di benaknya.      

"Itu ide yang bagus." Twain juga setuju dengan pengaturan yang dibuat Shania. Tapi dia masih punya pertanyaan, "Jadi bagaimana dengan setelah Piala Dunia?"     

"Hah?" Shania menghentikan apa yang dilakukannya dan mengangkat kepalanya untuk menatap Twain. "Bukankah kau harus kembali ke tim setelahnya? Tim-mu akan mulai berkumpul tanggal 20 Juni..."     

Twain tersenyum dan hanya memandang Shania tanpa menjawab. Semakin lama Shania berbicara, gadis itu merasa ada sesuatu yang salah. Lalu dia berhenti bicara dan balas memandang Twain, yang seolah menyiratkan –"Apa ada yang ingin kaukatakan padaku, Paman Tony?"     

Twain mengulurkan tangannya dan menggosok kepala Shania dengan lembut sambil berkata, "Yah, kontrakku dengan klub akan segera berakhir dan aku tidak akan memperpanjang kontrakku dengan mereka." Nada suaranya tenang, seolah dia sedang membicarakan tentang sesuatu yang remeh.      

Reaksi Shania sama sekali tidak tenang. Kali ini dia langsung bangkit untuk duduk di ranjang, membuka mulutnya dan menatap suaminya dengan mata terbelalak.      

"Aku akan punya banyak waktu untuk dihabiskan denganmu." Twain tersenyum dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar untuk mengundang Shania ke dalam pelukannya.      

Shania berbaring di atas dada Twain dan masih berusaha untuk memahaminya. Dia berkata, "Ini... Kau tidak bohong padaku, kan, Paman Tony?"     

"Hari ini bukan April Fool," Twain berpura-pura marah.      

"Yah... kenapa kau melakukan ini? Kau baru saja memenangkan Treble untuk tim Forest..." Shania tidak mengerti. Akan masuk akal untuk mengatakan bahwa setelah memenangkan Treble, periode ini seharusnya menjadi puncak karir Paman Tony. Bagaimana mungkin dia justru memilih untuk tidak memperpanjang kontraknya kali ini? "Kau tidak akan pergi ke tim lain, kan? Seperti misalnya Manchester United atau yang lainnya..."     

Twain masih terus tertawa, "Bukankah aku baru saja bilang kalau aku akan punya lebih banyak waktu untuk dihabiskan denganmu?"     

Shania menolehkan kepalanya agar dia bisa memandang mata Twain saat dia bertanya, "Kenapa? Aku tidak mengerti kenapa kau memilih untuk mengundurkan diri sekarang."     

"Pertama-tama, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu. Kedua..." Twain ragu sejenak sebelum kemudian melanjutkan, "Allan Adams dan aku punya perbedaan. Itu adalah perbedaan yang bisa mempengaruhi pekerjaanku. Tapi dia dan ketua klub punya hubungan baik, jadi sudah jelas akulah yang harus pergi."     

Shania tahu bahwa suaminya berseteru dengan manajer pemasaran klub. Saat Allan Adams ikut campur dan memaksa untuk menjual Lennon, Twain pulang dengan marah-marah selama beberapa hari. Hal itu membuat Shania mengkhawatirkan kondisi jantung suaminya. Sebagai akibatnya, Shania tidak punya kesan yang bagus tentang pria itu. Alasan itu sudah cukup bagus sehingga dia tidak lagi menganggap ini hanya mimpi, atau bahwa Paman Tony sedang bercanda.      

"Kalau kau ingin mengundurkan diri, lakukan saja. Paman Tony-ku adalah manajer terbaik di seluruh dunia, dan orang-orang yang ingin merekrutnya akan mengantri dari London sampai Paris." Shania menopang dagu dengan kedua tangannya sambil tengkurap di ranjang dan kedua kaki berayun di belakangnya.      

"Hey, Shania. Aku sudah bilang kalau aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu." Twain mengingatkannya dengan sedikit terkejut.      

Shania melirik Twain sekilas dan berkata, "Kalau itu memang benar, yah baiklah."     

Twain masih ingin meyakinkan istrinya itu, tapi Shania sudah melompat turun dari atas ranjang. Dia berkata, "Aku akan memasak untukmu. Apa kau lapar?"     

Setelah mengatakan itu, dia berlari keluar kamar dengan gembira.      

Twain masih berbaring di atas ranjang. Dia memang merasa lapar. Tapi yang lebih dipedulikannya daripada suara gemuruh di perutnya adalah Shania jelas tidak percaya dengan apa yang dikatakannya barusan...      

Dia kembali berbaring, merasa hampa, sambil menatap langit-langit dan menghela nafas panjang.     

Dia gagal. Dia sudah mendapatkan begitu banyak gelar juara sampai-sampai dia hanya perlu mengatakan dia akan memenangkan gelar juara tertentu, dan media, para fans serta para pemain akan langsung mempercayainya. Tapi saat dia ingin membuat istrinya bahagia, istrinya justru tidak mempercayainya.      

Ah, mendapatkan gelar juara sangatlah mudah tapi membujuk istriku sendiri sangatlah sulit...      

※※※     

Kompetisi sepakbola Italia Seria A sudah lama berakhir dan Inter Milan, yang tidak berhasil melaju sampai final Liga Champions, dibubarkan sehari setelah turnamen liga berakhir. Sebagai manajer tim, kecil sekali kemungkinannya Mourinho tetap tinggal dan bekerja di Milan, meski dia adalah tipe orang yang gila kerja. Saat ini, dia sedang berjemur di bawah sinar matahari di pantai kota asalnya, Setubal Municipality, kota pelabuhan ketiga terbesar di Portugal.      

Sambil bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek bermotif, manajer berpenghasilan terbesar di dunia itu sedang berbaring di atas kursi pantai berwarna putih dan memakai kacamata hitam. Disampingnya terdapat segelas wiski dengan es batu mengambang di atasnya yang diletakkan di meja bundar kecil. Ponselnya diletakkan di sebelahnya dan dibawah ponsel itu terdapat sebuah buku yang terbuka.      

Ada banyak turis di pantai itu. Sebagian besar diantaranya datang kemari bersama keluarga mereka untuk berlibur dan bersantai. Tapi, Mourinho datang sendirian, bukan karena dia sedang bertengkar dengan istrinya. Dia hanya ingin menikmati waktunya sendirian. Kadang-kadang dia suka melakukan hal seperti ini. Kapanpun dia sedang menghadapi masalah, atau saat sedang tidak memikirkan apa-apa, dia senang karena punya waktu tenang miliknya sendiri dan dia bisa melakukan apapun tanpa ada orang yang mengganggunya.      

Sayangnya, waktu tenangnya hari ini tidak berlangsung lama.      

Ponsel di meja bundar itu berdering.      

Mourinho tidak mengangkatnya. Dia berbaring tak bergerak di kursinya, seolah dia sedang tidur. Bagaimanapun, dia memakai kacamata hitam, jadi tidak ada yang tahu kalaupun dia tertidur dengan mata tertutup.      

Ponsel itu berdering beberapa saat sebelum akhirnya terputus. Mourinho bahkan tidak menoleh. Dia masih menikmati waktu tenangnya sendiri.      

Tidak lama kemudian, ponsel itu kembali berbunyi dan tidak terputus sampai waktu yang lama. Pria yang berbaring di kursi itu akhirnya terjaga dengan sedikit kesal. Bukannya bangkit untuk duduk, dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh ponselnya, memasang headset Bluetooth ke telinganya, dan menekan tombol lalu berkata, "Halo."     

"Jose!" Itu adalah suara agen dan teman baiknya, Mendes. "Aku punya kabar terbaru dan kurasa kau pasti tertarik untuk mendengarnya."     

"Apa ini masih tentang Manchester United?" suara Mourinho terdengar tidak bersemangat.      

Sebelum musim laga berakhir, media Inggris dan Italia berspekulasi tentang rumor yang menyatakan bahwa Manchester United tertarik untuk meminta Mourinho mengambil alih posisi yang ditinggalkan Martin O'Neil. Sebenarnya, itu bukan rumor. Dinding punya telinga dan tidak ada rahasia yang tetap menjadi rahasia untuk selamanya di dunia ini. Tony Twain boleh saja menyembunyikan fakta bahwa dia tidak memperpanjang kontraknya dengan klub, tapi kabar itu tidak bisa lolos dari The Sun. Urusan antara Mourinho dan Manchester United tentunya lebih sulit untuk disembunyikan dari para reporter yang seolah tahu segala itu.      

Sebagai agen Mourinho, Mendes memang punya hubungan yang lebih dekat dengan Manchester United FC. Manchester United ingin mengulang kembali kejayaan mereka, jadi tentu saja mereka membutuhkan sebuah manajer papan atas yang berkualitas tinggi. Kemampuan O'Neil memang tidak buruk, tapi dia tidak bisa mengendalikan ruang ganti pemain. Tadinya, Tony Twain adalah kandidat yang paling sesuai dan dipilih sendiri oleh godfather Manchester United, Ferguson, sebagai penggantinya. Tapi, Twain tidak tertarik untuk melatih tim lain kecuali Nottingham Forest. Manchester United mencoba mendekati Mourinho karena mereka tahu bahwa hubungan antara Mourinho dan Inter Milan tidak terlalu erat.      

Meski Mourinho mendapatkan gaji tertinggi di dunia sebagai manajer di Inter Milan, dia tidak bahagia disana. Lingkungan sepakbola Italia sangatlah berbeda dari lingkungan Liga Premier Inggris. Sebagai manajer tim, dia terlalu banyak dibatasi, rasanya seperti berjalan dengan belenggu di leher, pergelangan tangan dan kakinya. Dia tidak bisa mengungkapkan banyak hal karena setelah dia mengatakannya hari ini dan media mempublikasikannya besok, maka Presiden Moratti akan segera datang mencarinya untuk melakukan "pembicaraan pribadi yang panjang" sehari setelahnya. Manajer lawan selalu menganggap Mourinho sebagai manajer yang tidak terlalu hebat dan dia hanyalah manajer biasa yang suka omong besar dan berasal dari latar belakang yang tidak biasa. Mourinho bisa mendapatkan gaji terbesar karena dia mengemas dirinya dengan baik sementara tipe manajer akademis ala Italia merasa itu tidak pantas dilakukan oleh seorang manajer. Bagi mereka, sepakbola adalah sepakbola dan tidak boleh dikaitkan dengan hal lain. Pekerjaan manajer adalah melatih tim, mengembangkan taktik dan mengarahkan pertandingan. Menjadi bintang nomer satu di dalam tim hanya akan meningkatkan daya tarik utama tim.      

Kadang-kadang dia merindukan pekerjaannya di Inggris. Meski ada ketua klub yang suka mengkritik atau suka memberi perintah, dia masih bisa bernafas lebih lega disana.      

Seperti hembusan angin laut disini, kebebasan yang hanya menjadi miliknya.      

"Tidak, kali ini bukan tentang Manchester United," suara Mendes di telepon terdengar sedikit berbeda dari biasanya. Mungkin sinyalnya terganggu selama transmisi, atau mungkin karena mood Mendes sendiri mengalami perubahan.      

Mourinho segera tahu penyebabnya.      

"Ada sebuah klub sepakbola yang ikut bersaing untuk mendapatkanmu." Mendes berusaha membuat nada suaranya tetap normal, tapi dia masih berbicara lebih cepat dari biasanya. Mungkin dia sendiri merasa sangat tertarik dengan kabar ini.      

"Oh –" Mourinho tidak mengangkat alisnya. Nada suaranya masih tidak bersemangat. Dia tidak bertanya tim mana. Hal semacam ini terjadi sepanjang waktu, entah itu Real Madrid ataupun Manchester United. Ketertarikan mereka padanya bukan hal yang terjadi baru-baru ini saja. Apa yang akan dilakukannya sekarang adalah menjulurkan tangan untuk meraih gelas minumannya di atas meja.      

"Tim itu juga tim Liga Premier Inggris." Mendes masih berusaha merahasiakannya, meski Mourinho tidak tampak tertarik. "Tim ini baru saja menjadi tajuk berita utama di berbagai media olahraga besar..."     

Tangan Mourinho hampir saja menyentuh gelas saat dia berhenti bergerak sementara tangannya yang lain mendorong tubuhnya untuk bangkit dari kursi. Itu adalah gerakan terbesarnya sejak dia menjawab telepon karena dia sangat terkejut.      

Dia jelas tahu tim mana yang sedang dibicarakan Mendes.      

"Nottingham Forest? Bagaimana mungkin?" Mourinho sangat terkejut sampai-sampai suaranya jadi lebih keras. Kemalasan yang dirasakannya barusan sudah menghilang, menguap habis dibawah sinar matahari sore.      

Mendes tersenyum dan merasa sangat senang mendengar reaksi temannya itu. "Aku juga punya kabar berita lain, yang ada hubungannya dengan ini."     

"Apa?"     

"Pembicaraan negosiasi kontrak antara Tony Twain dan klub telah dihentikan dan dia memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak. Dia akan meninggalkan klub di akhir kontraknya."     

Suasana hati Mourinho saat itu tidak lagi bisa dideskripsikan sebagai "terkejut". Mungkin akan lebih tepat untuk menggunakan kata "shock". Dia masih mempertahankan postur tubuhnya, dimana tangan kirinya menopang tubuhnya dan tangan kanannya masih terjulur untuk meraih gelas minumannya.      

"Pembicaraan negosiasi itu gagal? Apa gajinya terlalu rendah?" Itu adalah satu-satunya alasan yang bisa dipikirkan Mourinho. Sebagai salah satu manajer paling sukses di dunia sepakbola, gaji super rendah Tony Twain tidak bisa dipahami oleh banyak orang. Mourinho juga sama seperti mereka.      

"Tidak. Aku mendapatkan kabar berita dari sumber lain bahwa Nottingham Forest menawarinya gaji tahunan terbesar di sepanjang sejarah Liga Premier Inggris."     

Pelatih Portugis itu benar-benar terkejut. Twain bahkan tidak puas dengan gaji tahunan terbesar. Apa yang dia inginkan?     

"Kalau kau ingin tahu alasannya, kau bisa menghubunginya, Jose. Aku hanya tahu semua detil ini. Twain menjaga semua ini tetap rahasia, dan sekarang media sedang menunggunya dan klub untuk mengumumkan keberhasilan perpanjangan kontraknya." Sebagai teman Mourinho, Mendes bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya saat ini.      

Mendengar tanggapannya ini, bibir Mourinho mengerucut. Dia tahu bahwa Twain suka bermain-main dengan media.      

Tapi dia tidak akan menghubungi Twain. Seperti yang pernah dikatakannya beberapa tahun yang lalu, selama mereka berdua masih menjadi manajer sepakbola, mereka hanya bisa menjadi musuh, dan bukan teman.      

Setelah dia mengakhiri panggilan telepon Mendes, Mourinho kembali berbaring dan mencoba menikmati waktu tenangnya. Tapi kali ini benak pikirannya tidak lagi tenang, melainkan bergolak seperti badai di tengah laut.      

Pria itu, Tony Twain, benar-benar meninggalkan Nottingham Forest yang telah dilatihnya selama sebelas tahun... Apa yang dia pikirkan? Nottingham Forest baru saja mencapai prestasi besar dengan kemenangan treble. Sekaranglah saatnya untuk mengambil panggung utama dan memamerkan kelebihannya pada orang lain. Tapi manajer tim justru meninggalkan klub. Bagaimana masa depan tim itu? Itu benar-benar mengkhawatirkan...      

Tapi sebenarnya, Mourinho tidak terlalu peduli dengan hal-hal ini. Dia hanya peduli dengan tim mana yang akan dilatihnya setelah dia meninggalkan Nottingham Forest. Dalam pandangannya, Manchester United jelas memiliki kemungkinan yang paling besar. Manchester United selalu ingin bekerjasama dengan Twain. Sebelum ini, alasannya adalah karena Twain tidak ingin meninggalkan tim Forest maka mereka tidak bisa merekrutnya. Dan sekarang...      

Setelah merenung sejenak, Mourinho tiba-tiba saja sadar. Bukankah semua ini kesulitan Tony Twain? Untuk apa aku memikirkannya?     

Saat dia sedang membersihkan kekacauan di kepalanya dan bersiap untuk melanjutkan liburannya, ponselnya kembali berdering.      

Dia mengira itu adalah Mendes dengan kabar terbaru, jadi dia memasang headset untuk menjawab telepon. Yang terdengar olehnya adalah suara yang familiar sekaligus aneh dan suara itu terdengar gembira, "Hey, Jose! Aku ingin membuat janji temu agar kita bisa minum sama-sama!"     

Mourinho menatap kosong sesaat dan kemudian sadar bahwa penelepon itu adalah pria yang baru saja dipikirkan olehnya – Tony Twain.      

"Bukannya kau sudah berhenti minum setelah serangan jantung?"     

"Bagi beberapa orang, penting untuk minum bersama. Minuman lain tidak bisa menggantikannya. Bagaimanapun juga, hanya untuk satu kali ini saja."     

"Seingatku, aku pernah bilang bahwa kecuali kita bukan lagi musuh dalam sepakbola, kalau tidak begitu..."     

Twain menyela kata-kata Mourinho dan berkata, "Hey, aku sudah mengundurkan diri dari Nottingham Forest!"     

"Manchester United punya posisi yang belum terisi."     

Twain tersenyum dan berkata, "Kudengar kalau mereka lebih tertarik padamu. Sebenarnya, aku tidak akan bekerja sebagai manajer."     

Mourinho tertegun mendengar kata-kata Twain. Lalu dia menemukan alasannya – itu pasti karena jantung Twain yang tidak lagi sehat. "Tapi sekarang aku ada di Portugal."     

"Itu tidak masalah. Aku tahu kau akan menjadi komentator Piala Dunia untuk stasiun televisi Portugal. Aku juga sama. Jadi kita bisa bertemu di Brasil!" Twain menganggap kata-kata Mourinho sebagai persetujuan untuk minum bersama dengannya.      

Mourinho baru akan mengatakan sesuatu, tapi Twain sudah menutup ponselnya. Dinilai dari suaranya, mood Twain sepertinya cukup bagus. Sangatlah aneh dia bisa berada dalam mood seperti itu setelah meninggalkan sesuatu yang sudah dikembangkannya selama sebelas tahun dengan kerja keras...      

Dia menggelengkan kepalanya dan kembali berbaring. Kali ini dia berhasil tidur siang tanpa diganggu panggilan telepon.      

※※※     

Keesokan harinya, media sudah tidak sabar lagi untuk mendapatkan kabar berita yang telah mereka tunggu-tunggu – Nottingham Forest FC akan menyelenggarakan konferensi pers untuk mengumumkan kabar terakhir perpanjangan kontrak Twain dengan klub!     

Kelihatannya Twain tidak menipu mereka. Dia memang melakukan perpanjangan kontrak setelah pertandingan final Liga Champions. Hasilnya diumumkan setelah tiga hari.      

Tapi, saat sekelompok besar reporter menghadiri konferensi pers ini dengan penuh semangat, mereka hanya melihat Edward Doughty di atas panggung tanpa karakter utama lainnya, Tony Twain.      

Desas desus segera tersebar di seluruh ruangan. Di tengah kerumunan, Pierce Brosnan merasakan firasat buruk yang semakin kuat di setiap menitnya.      

Konferensi pers itu berlangsung singkat.      

Dengan wajah muram, Edward Doughty mengumumkan bahwa negosiasi perpanjangan kontrak antara klub dan Tony Twain telah berakhir dan kedua belah pihak tidak akan memperpanjang kontrak. Hal ini langsung mengejutkan semua reporter yang hadir. Bahkan reporter The Sun yang sudah mengetahui selentingan kabar itu sebelumnya, tertegun setelah kabar itu terkonfirmasi.      

Lalu Edward Doughty membahas tentang kontribusi Twain bagi tim dan tak peduli apa dan dimana Twain berada nantinya, dia adalah pria yang akan selamanya terukir di ingatan klub sepakbola Nottingham Forest dan dia mendoakan semoga Twain beruntung.      

Setelah mengatakan itu, Edward Doughty bangkit dan melangkah keluar, mengabaikan para reporter yang meneriakkan namanya di belakang.      

Para reporter, tentu saja, punya banyak pertanyaan. Kenapa negosiasi untuk perpanjangan kontrak itu mengalami kegagalan? Pihak mana yang bertanggungjawab? Nottingham Forest baru saja memenangkan Treble tapi harus mengalami perubahan drastis. Apa yang akan terjadi di masa depan? Siapa yang akan menggantikan Tony Twain? Kemana Tony Twain pergi setelah dia meninggalkan tim Forest?     

Tapi tidak ada orang yang akan menjawab semua pertanyaan mereka itu.      

Tempat itu tiba-tiba saja menjadi kacau. Seseorang berlari keluar pintu dan mengebut saat meninggalkan tempat itu. Dia ingin segera kembali untuk menjadi orang pertama yang merilis berita yang pasti akan mencengangkan dunia sepakbola Eropa.      

Sementara Pierce Brosnan mengeluarkan ponselnya dengan agak linglung dan langsung menekan nomer Twain.      

Tak peduli berapa kali dia mencoba menghubunginya, yang didengarnya adalah, "... Maaf, nomer yang Anda tuju sedang tidak aktif..."     

※※※     

Saat badai tropis terbentuk diatas Laut Atlantik, Tony Twain sedang duduk di kursi malas di pantai Copacabana Rio de Janeiro. Istrinya, Shania, memakai bikini dan bermain air tidak jauh di depannya sementara dia menundukkan kepalanya untuk menulis kartu pos dengan sungguh-sungguh.      

Ponselnya ada di dekatnya, tapi sudah lama dimatikan.      

"Dear David: Kalau kau menerima kartu pos ini, kau pasti sudah tahu apa yang terjadi. Terima kasih banyak atas sebelas tahun yang kau habiskan bersamaku. Kau adalah asisten yang bagus dan rekan dalam pekerjaanku. Aku minta maaf kalau aku melampiaskan kemarahanku padamu setiap kali aku berada dalam suasana hati yang buruk. Tapi mulai sekarang aku janji aku tidak akan pernah berteriak lagi padamu. Kau adalah seorang asisten manajer yang hebat. Kau sudah melakukan pekerjaan yang hebat di tim. Kuharap kau bisa terus melakukan itu. Tim tidak akan bisa bertahan tanpamu. Maafkan aku yang mengucapkan selamat tinggal dengan cara ini, karena aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku bisa menghadapi kalian semua..."      

Twain berhenti menulis di titik ini dan memandang istrinya yang berada tidak jauh darinya. Sinar matahari di Brasil begitu cerah sehingga dia harus memicingkan mata untuk mengagumi sosok istrinya yang seksi dan lincah. Dia kembali menundukkan kepalanya dan melanjutkan menulis.      

"... Aku mendoakan yang terbaik untukmu. Temanmu yang paling setia, Tony. Twain."     

Setelah selesai menulis, dia mengambil kartu pos kosong yang selanjutnya dan meletakkannya di pangkuannya. Dia terus menundukkan kepalanya, dan kadang-kadang mengangkat kepalanya untuk memandang sosok Shania selama beberapa waktu.      

Hari ini cuacanya indah. Angin laut yang asin dan lembab menyapu cabang dan daun pohon palem di tepi pantai. Angin yang kuat mendorong gelombang demi gelombang air laut kebiruan untuk membentur pantai berpasir putih dengan suara deburan ombak yang tak kunjung berhenti. Sinar matahari yang hangat bersinar di wajah setiap orang, menunjukkan ekspresi mereka yang berbeda-beda. Berkontras dengan langit sebiru safir, pantai Copacabana dipenuhi berbagai aktivitas dan orang-orang. Tempat itu sangat ramai.      

Inilah liburan.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.