Mahakarya Sang Pemenang

Ciuman



Ciuman

0Setelah dia menghabiskan sarapan yang dibuatkan Shania, Twain duduk di sofa dan membaca koran yang baru saja terbit. Selain untuk memperhatikan hal-hal buruk yang diucapkan oleh teman media tersayang tentang dirinya, dia juga ingin melihat apakah ada gosip baru yang bisa dipelajarinya tentang setiap aspek masyarakat disini. Bagaimanapun juga, sebelum ini dia adalah seorang pria Cina dan masih belum terlalu familiar dengan masyarakat kapitalis.      
0

Selain itu, jauh di lubuk hatinya, dia ingin melihat apakah ada berita apapun tentang pria itu. Dia membaca sekilas bagian masyarakat dan langsung menuju ke bagian olahraga.      

Hasil imbang antara Nottingham Forest dan Chelsea tidak membuat tim Forest menjauh dari dua tim teratas di klasemen liga, yang merupakan salah satu alasan mengapa Twain masih bisa tertawa setelah pertandingan usai. Karena Manchester United dan Arsenal juga mendapatkan hasil imbang dengan skor 2:2, selisih timnya masih satu poin dari kedua tim itu – Arsenal dan Manchester United sama-sama memiliki tiga puluh poin. Dengan peringkat masih ditentukan menurut jumlah gol yang dicetak, Arsenal masih di puncak dan Manchester United berada di peringkat kedua. Nottingham Forest saat ini berada di peringkat ketiga dengan dua puluh sembilan poin. Dengan dua puluh enam poin, Manchester City dan Liverpool berada di peringkat keempat dan kelima, sementara Chelsea asuhan Mourinho – Chelsea yang malang, hanya bisa bermain imbang dengan tim Forest di momen akhir pertandingan – kini memiliki dua puluh lima poin dan berada di peringkat keenam.      

Melihat tabel poin yang diumumkan di dalam surat kabar itu, Twain tahu kalau hari-hari Mourinho akan lebih sulit, tapi mungkin Mourinho masih punya waktu untuk menyesuaikan diri dan menyelamatkan karir kepelatihannya di Chelsea. Twain tidak peduli kalau pun dia tidak bisa menyelamatkan karirnya.      

Itu adalah hari setelah pertandingan dan tim mendapatkan libur, jadi mereka tidak berlatih di klub. Para pemain dan pelatih memiliki sehari penuh untuk beristirahat. Setelah itu, para pemain yang dipanggil untuk tim nasional akan terbang ke berbagai tempat dan bergabung dengan rekan setim yang lain di timnas. Bagi mereka yang tidak dipanggil oleh tim nasional, mereka akan kembali ke kompleks latihan Wilford untuk latihan rutin. Karena tim Forest akan kehilangan sejumlah besar pemain utamanya, tim ini tidak akan melakukan latihan taktis gabungan dan hanya melakukan latihan pemulihan kebugaran fisik.      

Saat ini, pekerjaan Twain cukup sederhana, karena sebagian besar urusan telah menjadi tanggungjawab asisten manajer, tapi Twain akan jadi lebih sibuk karena Dunn harus kembali ke negaranya selama dua hari.      

Nottingham Forest dan stasiun televisi di Hunan, Cina, serta sejumlah media dan perusahaan finansial olahraga saling bekerjasama dalam mengerjakan pertunjukan bakat sepakbola untuk pemuda, yang telah memasuki tahap latihan akhir. Menurut perjanjian kerjasama yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, Nottingham Forest perlu mengirimkan seorang pelatih ke Cina untuk melakukan inspeksi dan bimbingan singkat. Itu tidak akan membutuhkan waktu lama, hanya sekitar empat hari, tapi Twain mungkin telah melupakan hal itu kalau Dunn tidak menyinggungnya.      

Setelah perjanjian ditandatangani, dia mengesampingkan perjanjian itu. Pada dasarnya, dia sama sekali tidak lagi mengingatnya. Oleh karena itu, saat dia mendengar kalau Dunn akan pulang ke Cina, Twain menatapnya seolah Dunn sedang bercanda.      

Dunn menghabiskan banyak energi untuk membuat Twain paham bahwa dia tidak bercanda. Dia mengikuti persyaratan dalam kontrak untuk kembali ke Cina demi memenuhi perjanjian kontrak itu. Twain kembali bergumam tentang kenapa itu harus dia dan bukan pelatih lain. Dunn menjawab, "Karena aku orang Cina, dan event ini diadakan di Cina," yang membuat Twain tak bisa berkata apa-apa lagi.      

Memang benar tidak ada kandidat yang lebih baik daripada Dunn. Edward dan Allan ingin benar-benar menunjukkan ketulusan partisipasi Nottingham Forest dalam proyek kerjasama ini, jadi eksekutif level atas di klub menuntut agar mereka mengirimkan seseorang dengan standar dan kualifikasi kepelatihan yang memadai ke Cina. Sebagai orang Cina, Dunn adalah kandidat terbaik. Tidak ada orang lain yang lebih memahami kondisi terkini sepakbola Cina dan sepakbola tim pemuda disana. Setidaknya, itulah yang terlihat oleh orang luar.      

Twain sedang membaca surat kabar saat bel pintu berdering. Dia baru akan bangkit berdiri dan membuka pintu saat dia mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Shania berlari keluar dari dapur, masih memakai apron, dan bahkan tidak sempat mengeringkan tangannya. Dia membuka pintu lalu berteriak, "Kak Dunn!"     

"Selamat pagi, Shania. Apa Tony..." Dari luar pintu, Dunn bisa melihat Twain, yang muncul di belakang Shania.      

Twain melihat sebuah koper di kaki Dunn.      

"Sudah siap untuk pergi?"     

Dunn mengangguk. "Penerbangan sore ini."     

"Penerbangannya sore nanti dan sekarang masih pagi, kau tidak perlu terlalu ..." Twain menggerakkan kepalanya ke samping dan melihat taksi berwarna hitam yang berhenti di sisi jalan di belakang Dunn, dengan wajah yang familiar di jendela belakang. Dia mendengus. "Tadinya aku ingin mengatakan kalau aku akan mengantarmu pergi, tapi kelihatannya tidak perlu lagi."     

Dunn tahu siapa yang dilihat Twain dan mengangguk. "Dia akan pulang bersamaku."     

Twain mengangguk untuk menunjukkan kalau dia mengerti.      

"Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi, jaga dirimu baik-baik dan pulanglah lebih awal." Twain tersenyum. "Mungkin kau akan membawa seorang pemuda Cina berbakat bersamamu?" Twain tersenyum lebih lebar. "Seorang jenius tenis meja?"     

Dunn tidak menanggapi komentar sarkastiknya. Dia mengambil kopernya dan mengucapkan selamat tinggal pada dua orang yang berdiri di pintu, sebelum kemudian berbalik dan berjalan menuju taksi. Di dalam taksi, Tang Jing tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Twain, tapi Twain pura-pura tidak melihatnya.      

Menutup pintu depan, Shania bertanya pada Twain, "Kau tidak ingin Dunn pergi, Paman Tony?"     

"Tentu saja. Kalau dia pergi, aku akan harus melakukan banyak hal-hal sepele. Dan itulah yang paling kubenci." Twain mengangkat bahunya dan kembail ke ruang tengah untuk melanjutkan membaca surat kabar.      

Shania menatap punggungnya dan tersenyum, "Bagus, kau jadi bisa sedikit berolahraga!"     

Duduk di sofa, Twain bertanya tanpa menoleh ke belakang, "Kelihatannya kau sama sekali tidak sibuk belakangan ini. Apa kau tidak ada pekerjaan?"     

"Pekerjaanku terkonsentrasi selama periode Natal. Ada banyak waktu untuk beristirahat sekarang."     

Twain berbaring di sofa dan meregangkan punggungnya. "Aku tidak pernah melihat seorang model profesional yang sesantai dirimu."     

Shania, yang tidak terburu-buru kembali ke dapur, tersenyum kecil sambil duduk dan menjawab, "Tahun depan, aku takkan punya banyak waktu luang."     

"Kenapa begitu?"     

'Tn. Fasal mengatur beberapa pekerjaan untukku yang tidak ada kaitannya dengan pagelaran busana."     

"Apa kau akan ada di beberapa iklan televisi?"     

"Tidak, di sebuah film." Nada suara Shania tidak terdengar gembira.      

Twain duduk di sofa dan menatap Shania, yang duduk di kursi lainnya lalu bertanya, "Kenapa aku merasa kalau kau tidak terdengar senang? Seharusnya aku memberimu ucapan selamat atas..."     

"Itu hanya karakter latar belakang yang bahkan tidak punya kalimat untuk diucapkan. Apa gunanya memberiku ucapan selamat?"     

Twain tersenyum. "Jadi kau merasa tidak senang karena kau bukan tokoh utama. Tidak ada tokoh utama yang dilahirkan untuk menjadi tokoh utama. Semua bintang film besar itu memulai dari peran kecil tanpa kalimat untuk diucapkan. Aku ingat kalau sangat suka menonton film."     

Shania mengangguk. "Ya, aku suka film, jadi aku ingin belajar berakting. Kalau tidak begitu, aku takkan mau terlibat dalam pekerjaan semacam ini..."     

Twain berdehem. "Kau selalu menolak pekerjaan yang diatur Tn. Fasal untukmu, dan itu membuat segalanya jadi sulit untuk Tn. Fasal, Shania."     

Shania mengangkat bahunya dan cemberut tanpa mengatakan apa-apa lagi.      

Twain menatap wajah Shania yang menunduk dan tampak tidak senang. Dia berpikir sejenak dan tiba-tiba saja teringat dengan seseorang. Kali terakhir dia melihat orang itu, dia bilang kalau dia pergi ke Hollywood untuk menjadi seorang produser. Mungkin dia bisa membantu?     

Karena ini adalah sesuatu yang disukai Shania, dia seharusnya membantunya. Meski bisnis pertunjukan selalu berantakan dan kacau, kalau ada yang berani merundung Shania, dia akan membuat siapapun itu membayarnya.      

Selain itu, kalau orang itu berhasil sukses di Hollywood, tidak akan sulit baginya untuk mengurus Shania, kan?     

Twain mendengar suara samar air yang bergemericik di dapur, dan dia menunjuk kesana. Shania juga bereaksi. Dia tadi terburu-buru berlari untuk membukakan pintu dan lupa mematikan keran airnya. Sambil berteriak, Shania bangkit berdiri dan berlari kembali ke dapur.      

Twain pergi ke lantai atas. Dia akan menghubungi temannya ini dan meminta bantuannya.      

※※※     

"Tony?" Clarice Gloria terkejut saat dia mendengar suara Twain. "Sudah lama kau tidak meneleponku; kukira kau sudah melupakanku!"     

Twain bisa merasakan antusiasme di dalam nada suara wanita itu, meski mereka berbicara di telepon dan terpisah oleh Samudra Atlantik. Twain hanya menggumamkan jawabannya. Dia benar-benar sibuk dengan pekerjaan dan lalai dalam menghubungi Gloria. Tapi mungkin ada alasan lain selain itu: dia sedikit takut menghadapi antusiasme Gloria.      

"Aku benar-benar sibuk dengan pekerjaan... Maafkan aku, Clarice. Bagaimana kabarmu di Amerika? Aku juga tidak mendengar kabar darimu."     

Clarice tersenyum. "Aku membaca gosip terakhirmu, Tony. Kau akan selalu menjadi pria yang populer di kalangan media olahraga. Bagaimana dengan gadis cantik dari Turki itu?"     

Twain terbatuk dua kali. "Ada berbagai jenis skenario yang harus dihadapi seseorang dalam hidup..."     

Clarice tertawa di ujung telepon yang lain, dan ketika tawanya reda, dia berkata, "kau pasti menghubungiku tentang sesuatu, kan?"     

Twain suka berinteraksi dengan wanita cerdas ini. Ada beberapa hal yang tidak dimilikinya, dan wanita itu akan memahaminya dengan segera, yang membuat segalanya jadi lebih mudah.      

"Yah... jadi begini..." Twain memberitahu Clarice tentang Shania dan menyampaikan apa yang sedang dia pikirkan. Lalu dia menunggu tanggapan Clarice dengan tenang.      

Selama sesaat, tidak terdengar apa-apa di ujung telepon yang lain sebelum Gloria tiba-tiba saja bertanya, "Tony, katakan padaku, apa hubunganmu dengan Shania?"     

Twain merasa agak bingung setelah mendengar pertanyaan itu, dan kemudian dia berkata, "Bagaimana aku mengatakannya ya? Mungkin akan lebih tepat untuk mengatakan kalau aku adalah walinya di Inggris?" Saat Shania pindah kemari, orang tuanya memang berkomunikasi dengan Twain. Kata-kata mereka mengungkapkan harapan agar Twain mau mengurus Shania, membuatnya bahagia dan sekaligus mengawasinya.      

"Itu saja..." Ada keheningan yang lain dan kali ini sedikit lebih lama, yang membuat Twain mengira kalau panggilan itu disela oleh panggilan lain.      

"Yah, kalau dia datang kemari untuk mengembangkan karirnya, aku akan melakukan apapun yang kubisa untuk mengurusnya." Gloria mengatakan hal yang paling ingin didengar Twain, dan dia menghembuskan nafas lega. Twain bukan orang yang suka meminta bantuan orang lain. Dia merasa tidaklah bagus untuk berhutang pada orang lain dan orang lain berhutang padanya. Dia sudah terbiasa menyelesaikan semua masalahnya sendiri. Hal ini dilakukannya sebelum dan sesudah dia pindah ke Inggris. Hanya saja sebagai seorang manajer sepakbola, dia benar-benar tidak bisa membantu apa-apa terkait urusan Shania.      

"Terima kasih banyak, Clarice. Aku... Yah, bagaimana aku bisa berterima kasih padamu..." Twain benar-benar tidak tahu bagaimana dia bisa membalas kebaikan wanita itu.      

Gloria tertawa lagi. "Kurasa bisa mendengar Tony Twain berterima kasih padaku dengan nada suara lembut seperti ini adalah hadiah yang bagus. Ini bukan hal yang bisa didengar oleh semua orang."     

Twain menggaruk kepalanya dan terkekeh.      

"Kau adalah temanku, dan hal yang melibatkan temanku adalah urusanku juga." Gloria menunjukkan sisi dirinya yang cakap dan berpengalaman serta berterus terang, lebih seperti pahlawan ksatria di novel-novel seni bela diri Cina. "Kau tidak perlu berterimakasih padaku, Tony. Lagipula, aku baru saja melakukan pencarian dan menerima beberapa kabar berita yang mungkin bisa membantumu dan Shania."     

Apa dia melakukan pencarian itu di keheningan tadi? Twain mengagumi gaya wanita itu dalam melakukan berbagai hal. Dia sendiri jarang mengagumi wanita karena dia sedikit chauvinist, tapi Clarice Gloria benar-benar membuatnya terkesan.      

"Film yang menjadi tempat Shania memulai debutnya dibuat di studio... United Artist." Bagi siapapun yang berada di industri perfilman, mereka akan familiar dengan nama itu dan mereka akan kagum. Tapi, Twain adalah pria tertutup yang tidak tahu apa-apa kecuali sepakbola, jadi dia sama sekali tidak merespon dan hanya menunggu Gloria untuk melanjutkan perkataannya.      

Gloria memikirkan tentang kepribadian Twain dan tersenyum. "Itu adalah sebuah perusahaan produksi yang sangat berpengaruh di Hollywood. Pertama kali didirikan oleh Charlie Chaplin, Mary Pickford, Douglas Fairbanks, D.W Griffith dan tokoh terkenal Hollywood lainnya di tahun 1919 bersamaan dengan perusahaan film MGM." Setelah dia mengutarakan nama banyak orang penting di industri film, Twain akhirnya memahami status perusahaan itu, tapi apa kaitannya itu dengan Shania? Orang-orang itu adalah sejarah kuno.      

Gloria tahu kalau Twain tidak akan memahami keajaiban di balik semua ini, dan dia melanjutkan dengan sabar, "Setahun yang lalu, perusahaan itu berpindah tangan, dan eksekutif baru mereka adalah Tom Cruise. Apa kau mengingat sesuatu, Tony?"     

Saat nama yang familiar itu disebutkan, Twain langsung bereaksi. "Tom Cruise? Bukankah dia bersahabat baik dengan David Beckham?"     

Suara Gloria terdengar dari ujung telepon yang lain. "Benar. Kau bisa menggunakan hubungan itu untuk memperkenalkan Shania secara resmi pada Tom Cruise. Itu akan sangat membantu tidak hanya di dalam film, tapi juga untuk perkembangan masa depannya nanti di Hollywood."     

Informasi ini sangatlah berguna bagi Twain dan Shania. Twain sekali lagi berterima kasih pada Gloria, dan mengundangnya dengan hangat ke Inggris. Setelah keduanya saling mengucapkan selamat tinggal, dia menutup teleponnya dan melangkah ke lantai bawah.      

Shania sudah selesai berbenah di dapur dan sedang bergelung di sofa. Dia memeluk bantal Totoro sambil menonton sebuah film. Twain ingat bahwa Shania memang lebih sering menonton film belakangan ini. Mungkin dia sedang memikirkan tentang bagaimana dia harus berakting?     

Meski itu hanya karakter latar belakang, gadis itu menganggapnya serius...      

Mengingat ini, Twain merasa kalau dia telah melakukan hal yang benar dengan meminta bantuan Gloria.      

Shania tidak suka modeling, tapi dia suka film. Kalau dia bisa menjadi seorang aktris yang sukses, itu juga sangat bagus!     

Twain duduk disamping Shania sambil tersenyum dan memandangnya.      

Shania menganggap kalau Paman Tony sedikit aneh. Dia mengalihkan pandangannya dari layar televisi dan ganti memandang wajah Twain. "Apa yang membuatmu senang, Paman Tony?"     

"Yah..." Twain memikirkannya sejenak dan memutuskan untuk berterus terang. "Aku akan memperkenalkan seseorang padamu. Karena kau sangat menyukai film, kurasa kau akan tertarik."     

"Siapa?"     

"Bintang film Hollywood, Tom Cruise!" Twain tadinya hanya menggunakan isyarat tangan, dan dia mengumumkan ini dengan nada suara gembira, "Dia juga sahabat baik David Beckham. Aku bisa mendatangi David dan memintanya untuk memperkenalkanmu. Jadi, saat kau mengembangkan karirmu di Hollywood, kau akan memiliki satu teman lagi. Bukankah itu bagus?"     

Setelah Twain selesai mengatakan ini dengan penuh semangat, dia melihat Shania menatapnya dengan ekspresi aneh. Dia tidak sesenang yang dibayangkan olehnya. "Ada apa, Shania?"     

"Paman Tony..." Shania berdehem, "Pertemuanmu dengan David dan istrinya, bukankah aku yang memperkenalkanmu pada mereka?"     

"Ya, memangnya kenapa?"     

"Mereka mengenalku sebelum mereka bertemu denganmu. Victoria dan aku memiliki hubungan yang baik, jadi... Aku sudah bertemu Tom sebelum aku memperkenalkanmu pada mereka. Peran yang kuperoleh kali ini juga berkat bantuan dari Tom..."     

Mulut Twain ternganga seolah dia baru saja mendengar kisah yang luar biasa. Lalu dia bereaksi dan bergumam dengan sedikit kecewa, "jadi itu artinya apa yang baru saja kulakukan tidak ada gunanya?"     

Melihat Twain yang tampak kecewa, Shania tersenyum. Dia bangkit dari sofa, sedikit membungkuk dari belakang Twain dan meletakkan lengannya di sekeliling lehernya. Twain bisa merasakan dua gundukan lembut di punggungnya, dan tiba-tiba saja dia merasa sedikit gugup.      

"Ini sebagai ganti ucapan terima kasih untuk Paman Tony," kata Shania lembut dan mencium pipi Twain.      

Setelah ciuman itu, Shania melepaskan Twain, melompat turun dari sofa dan meregangkan punggungnya. "Kau mengingatkanku, Paman Tony. Saat ada kesempatan, aku harus memperkenalkan temanku padamu. Apa kau suka menonton film Mission: Impossible?"     

Twain menjawab dengan linglung. Dia masih merasakan ciuman itu. Ciuman itu hangat, basah dan manis... meski ciuman itu hanya di pipi, itu masih terasa menyenangkan.      

Saat bibir Shania menyentuhnya, dia bisa merasakan jantungnya berhenti berdetak. Jantungnya tiba-tiba saja berkontraksi.      

Itu adalah kontak terdekat yang pernah dilakukannya dengan Shania sejak mereka tinggal bersama. Dia seolah mendengar sesuatu di dalam hatinya terpecah dan membuat suara 'krak'. Dia tidak tahu apakah suara itu pertanda baik atau buruk.      

Pada saat dia sudah kembali ke kenyataan, Shania sudah pergi ke lantai atas. Twain duduk sendirian di sofa ruang tamu. Perlahan, dia menyentuh tempat Shania menciumnya dan menggosoknya dengan lembut.      

Shania bukan lagi seorang anak kecil yang terbaring di tangannya, lembut dan tak berdaya saat dia demam tinggi dan berkeringat.      

Dia mengangkat tangannya yang lain dan membenamkan wajahnya ke dalamnya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.