Mahakarya Sang Pemenang

Gadis Kecil Berkerudung Merah dan Paman Serigalanya



Gadis Kecil Berkerudung Merah dan Paman Serigalanya

0Twain dan Dunn duduk di kantor Greenwood, memandang apa yang ada di hadapan mereka. Kedua pria itu menunjukkan ekspresi yang sangat serius.      
0

Greenwood menunjuk ke benda yang mereka lihat dan berkata, "Ini adalah log pelatihannya. Catatan dibuat setiap hari sesuai instruksi darimu."     

Benda itu adalah dua buku catatan seukuran B5 yang tebal dan terbuat dari kertas fotokopi.      

Twain jelas takkan bisa selesai membaca isi kedua buku itu disini. Dia membuka bagian awal, lalu membuka bagian tengah dan akhirnya membaca bagian belakang. Itu sudah cukup baginya untuk bisa menarik kesimpulan.      

"Dia berusaha keras dan menyelesaikan program latihan George Wood di tim pemuda. Jujur saja, aku kagum melihatnya," kata Greenwood dari sampingnya, "Aku bisa tahu George memang kuat dari fisiknya, tapi Chen... darimana kekuatan itu berasal, padahal sosoknya begitu ramping?"     

Twain tidak menanggapinya dan masih terus membaca log pelatihan.      

Greenwood memandang Dunn, yang juga orang Cina, dan Dunn menjawab sambil tersenyum, "Aku tidak tahu. Mungkin itu kekuatan mimpinya."     

"Mimpi?" Greenwood membelai dagunya dan memukul bibirnya. "Bukankah mimpinya menjadi pemain sepakbola profesional? Tapi pada akhirnya, mimpi itu tidak menjadi kenyataan. Dan kurasa dia seharusnya tahu sejak lama bahwa ini mustahil. Tidak ada klub yang menginginkan seorang pemuda yang baru berlatih selama setahun, belum lagi dia sudah berusia delapan belas tahun. Kenapa dia bersikeras melakukannya? Darimana kekuatannya berasal?"     

Dunn mengarahkan jarinya ke Twain yang sedang membaca buku log itu di sampingnya. "Bukankah ada pria ini disini yang menerima seorang pemuda berusia tujuh belas tahun dan baru memulai latihan sepakbola formal lalu mengembangkannya menjadi kapten termuda di sepanjang sejarah Nottingham Forest?"     

"Stuart Pearce juga baru mulai bermain sepakbola profesional di usia dua puluh satu tahun," kata Twain tanpa mendongak. "Anak ini cukup bagus... dia menyelesaikan semuanya dengan baik. Kukira kau bohong padaku,"     

Greenwood berdehem. "Kenapa aku bohong padamu? Jujur saja, dorongan motivasi Chen memang luar biasa. Kalau saja dia mulai berlatih disini sejak usia sepuluh tahun, dia pasti bisa menjadi pemain sepakbola profesional yang berkualifikasi. Tapi kalau sekarang..." Dia mengangkat bahu.      

Twain menutup buku catatan itu dan berkata pada Greenwood, "Bolehkah aku membawa ini untuk kubaca?"     

"Itu memang dipersiapkan untukmu, Tony. Kalau saja bukan karena penyakitmu... Kau seharusnya membaca itu di bulan Februari."     

"Yah..." Twain menyimpan buku-buku tebal itu dan berkata, "Kelihatannya aku ketinggalan banyak hal menarik dalam lima bulan terakhir..."     

"Apa kesehatanmu baik-baik saja, Tony?" tanya Greenwood.      

"Kau sudah bertanya, Ian. Tentu saja, tidak ada masalah. Kalau tidak, aku takkan kembali bekerja sekarang. Kau tahu ada berapa banyak wanita Brasil yang cantik kan, hehe."     

Baik Dunn maupun Greenwood mengabaikan leluconnya.      

Twain kembali memandang dua buku log pelatihan itu dan berkata, "Dia bahkan memberi dirinya latihan tambahan? Menggiring bola bolak-balik antara kompleks pelatihan dan rumah setiap hari sebagai bagian dari latihan?"     

Greenwood mengangguk. "Ya, dia bahkan melakukannya saat dia pergi ke Universitas Nottingham untuk kelas studi budayanya. John juga mengatakan padaku kalau dia melihat Chen berlari di jalan dengan menggiring bola saat dia pulang ke rumah. Teman sekelasnya juga mengatakan kalau dia pemuda yang 'aneh'. Kau tahu, trotoar kan tidak rata, dan bola selalu memantul kemana-mana..."     

Twain menyela laporannya untuk bertanya, "Berapa lama dia melakukannya?"     

"Sampai hari terakhirnya berlatih disini."     

Twain menatap bagian sampul buku log pelatihan itu dan tidak mengatakan apa-apa. Dia memikirkan tentang wajah berlumpur di tengah hujan dan angin, penampilan yang menyedihkan dan bagaimana hal itu tampak sesuai dengan imej sepakbola di negaranya.      

Dengan kekalahan telak tim Olimpiade Cina di pertandingan Olimpiade, "sepakbola" sudah menjadi sebuah kata yang dibenci oleh hampir semua orang di Cina. Menyinggung kata sepakbola akan memicu sebuah ledakan olok-olok, yang hampir selalu terjadi di media populer dan media pemerintah. Sekarang ini, kalau ada seseorang yang mengumumkan bahwa dia ingin menjadi seorang pemain sepakbola profesional, dia akan diejek. Selama seseorang bermain sepakbola, beberapa orang akan menganggapnya terkait dengan Asosiasi Sepakbola Cina. Kalau dia tidak membenci sepakbola Cina, dia akan selalu diremehkan. Gelombang antipati fanatik saat ini tetap ada di Cina dan diduga takkan mereda dalam tahun-tahun mendatang.      

Twain tidak punya pandangan khusus tentang ini. Asosiasi Sepakbola Cina melakukan ini pada diri mereka sendiri dan tidak bisa melarikan diri karenanya. Lebih baik membiarkan mereka hancur lebih awal. Mungkin akan ada kesempatan lain dalam hidup.      

Tapi Chen Jian tidak ada kaitannya dengan Asosiasi Sepakbola Cina, dan bukan salahnya kalau sepakbola Cina sangat mengerikan. Dia bahkan bukan produk dari sistem. Dia hanyalah seorang bocah keras kepala yang benaknya dipenuhi mimpi.      

Dia sudah memberikan yang terbaik dan kelelahan. Apa dia sudah meruntuhkan temboknya?     

Bagaimana suasana hatinya saat dia meninggalkan Wilford? Apa dia menyesalinya? Kecewa? Tidak ingin menyerah pada takdirnya?     

Aku benar-benar ingin melihat wajahnya dengan mata kepalaku sendiri.      

Saat aku berbaring di ranjang rumah sakit, aku benar-benar ketinggalan banyak.      

"Tony?" Dunn melihat Twain melamun sedikit terlalu lama dan memanggilnya untuk kembali menyadarkannya.      

"Ah... Ian. Aku akan bertanya satu hal lagi. Bagaimana penampilannya dalam pertandingan internal setelah insiden itu?" Twain menatap Greenwood.      

"Dia jauh lebih baik daripada sebelumnya, dan pada akhirnya, aku tidak bisa menemukan kesalahannya... kalau aku harus memarahinya, itu pasti faktor bawaan, seperti perbedaan kemampuan antara dirinya dan rekan setimnya yang sudah berlatih disini sejak sepuluh tahun yang lalu. Tapi aku tidak bisa bilang kemampuannya buruk. Misalnya, dalam hal kemajuan, kemajuannya adalah yang tercepat di tim. Tapi, dia masih tertinggal hampir satu dekade dari rata-rata pemain lainnya."     

Twain tersenyum. "Yeah, dia mengira hanya ada dinding yang menghalangi jalannya untuk mencapai mimpinya. Tapi apa yang ada di hadapannya bukanlah dinding, melainkan sebuah gunung. Ah, dasar bodoh."     

Dia bangkit berdiri dan mengucapkan selamat tinggal pada Greenwood sebelum meninggalkan Wilford Utara bersama Dunn.      

"Apa yang ada di benakmu, Tony?" tanya Dunn setelah mereka pergi.      

"Tidak ada. Aku hanya akan pulang dan memeriksa ini..." Twain melambaikan dua buku log pelatihan dan berkata, "Aku akan meninggalkan latihan sore padamu, David dan yang lainnya."     

Dunn mengangguk dan tidak mengatakan apa-apa. Twain tidak boleh membuat dirinya kelelahan di hari pertamanya kembali bekerja. Tidak ada yang menyuruhnya tetap tinggal disini dan tetap bertahan. Dia perlu mengejar ketertinggalannya hari demi hari. Lagipula, situasi di tim takkan bisa lebih buruk daripada ini. Tidak ada yang mendesak Twain untuk kembali bekerja dengan cepat dan mengarahkan tim kembali ke jalan yang benar.      

※※※     

Twain sudah duduk di meja makan sejak dia pulang ke rumah siang tadi. Dia menyelesaikan membaca dua buku log pelatihan itu dengan seksama. Selain untuk menghabiskan makan siang, dia tidak beranjak dari tempatnya. Dia bahkan tidak memulai permainan provokatif kecil-kecilan dengan Shania. Shania juga melihat Twain yang tampak serius dan fokus. Dia tahu kalau itu adalah hal yang penting, jadi dia tidak bangkit berdiri dan mengganggunya. Shania hanya membujuk Twain untuk pergi tidur saat waktunya tiba. Kontrak Douglas sudah berakhir di hari Twain memutuskan untuk kembali ke tim. Sekarang Shania harus merawat Paman Tony tercintanya sendirian. Tapi itu bukan apa-apa, karena dia sudah belajar banyak pengetahuan dan skill medis profesional dari Douglas. Dia bisa merawat Paman Tony sendirian.      

Shania sedang tidak punya pekerjaan saat ini. Karena Paman Tony harus berada di Inggris, maka dia tidak pergi ke Hollywood. Karir Hollywood-nya juga kelihatannya jadi stagnan. Dia tidak peduli tentang pesta selebriti mana yang harus dihadiri, bintang terkenal mana yang bisa dikenal dan ditemuinya, dan semua jenis interaksi sosial yang dibutuhkan.      

Twain pernah mengajukan pertanyaan padanya, dan jawabannya cukup sederhana. "Film selalu menjadi kesukaanku. Akan bagus kalau aku bisa bekerja di bidang itu. Tapi kalau aku harus memilih antara passion dan Paman Tony, aku jelas takkan memilih pergi ke Amerika."     

"Jangan katakan padaku kau sudah melepaskan semuanya setelah setahun berjuang di Amerika Serikat?" Twain merasa kasihan pada Shania di dalam hatinya. Dia tahu bahwa setelah Shania berada jauh dari Hollywood, gadis itu hanya akan semakin menjauh dari tanah impiannya, bahkan meski dia punya banyak teman yang mendukungnya.      

"Meski aku sudah sedikit mengecewakan Tn. Cruise, bagiku, tidak ada yang lebih penting daripada kau, Paman Tony."     

Mendengar kata-kata Shania, Twain menghela nafas panjang. "Kau akan membuatku merasa bersalah, Shania. Karena aku sudah merebutmu dari hakmu untuk mengejar mimpimu..."     

"Ayolah, Paman Tony." Shania cemberut. "Jangan lupa, empat setengah milyar tahun. Aku merasa kalau itu adalah tawaran yang bagus dimana empat setengah milyar tahun menggantikan sebuah karir film."     

Apalagi yang bisa dikatakan Twain? Dia hanya bisa memeluk kekasih mudanya itu.      

※※※     

Sebelum membantu Twain tidur, Shania bertanya dengan santai, "Apa yang kau baca dengan serius seperti itu? Aku belum pernah melihatmu begitu fokus pada... sebuah buku?"     

"Sebuah jurnal mimpi." Twain menggosok pelipisnya. Meski mata dan pikirannya sedikit lelah, suasana hatinya sedang bagus. "Aku merasa senang saat membacanya. Aku ingin berhenti tapi tidak bisa melakukannya; aku ingin segera selesai membacanya. Sayangnya, tulisan dalam buku itu terpotong sebelum selesai. Penulisnya sangat jahat..."      

"Sebuah jurnal mimpi? Apa itu novel?"     

"Bukan, sebuah pertunjukan TV realitas."     

Shania mengangkat bahu. Paman Tony-nya kadang suka mengatakan hal-hal yang sulit dipahami. Dia sudah terbiasa dengan itu, tapi dia bisa bilang kalau ini pasti ada kaitannya dengan pekerjaannya. Karena fokus semacam itu hanya muncul saat Paman Tony sedang bekerja. Kalau sedang bekerja, dia tampak sangat mempesona meski hanya melihat siluetnya.      

Setelah menyelimuti Twain dengan selimut tipis dan menciumnya di bibir, Shania bangkit berdiri dan berbalik untuk melangkah pergi.      

Meski keduanya bertunangan, mereka masih mempertahankan cara hidup mereka di Branford Garden Lane No. 13 – mereka tidur di kamar tidur yang berbeda. Ini sudah menjadi kebiasaan bahkan saat mereka sedang berlibur di Brasil. Tadinya ini disebabkan karena Paman Tony masih lemah secara fisik, dan jantungnya tidak boleh menghadapi stimulasi yang terlalu intens. Bercinta dan mencapai orgasme, yang akan mengarah pada jantung yang berdetak kencang dan membuatnya berada dalam bahaya ekstrim, tentunya terlarang untuk dilakukan. Lalu, gaya hidup semacam ini jadi semacam kebiasaan. Shania tidak akan membuka pakaiannya dan memancing Twain untuk mulai bermain seks. Sementara Twain... dia sudah terbiasa dengan hidup lajangnya dan mengabaikan area ini. Apalagi dibarengi dengan harapan untuk mulai bekerja sesegera mungkin, dia sedang tidak mood.      

Tapi hari ini, setelah kembali ke tim dan membaca log pelatihan Chen Jian, tiba-tiba saja dia merasa dalam mood yang bagus.      

Twain meraih Shania.      

Dia berbaring di ranjang dan memandang Shania, yang masih berpakaian seperti gadis kecil. Lampu samping ranjang bersinar redup dan menembus lapisan tipis pakaiannya, sepenuhnya menunjukkan lengkung tubuhnya yang elegan sebagai seorang model. Kecuali sepasang celana dalam, sepertinya gadis itu tidak memakai pakaian dalam. Tubuh telanjangnya yang masih muda memancarkan keharuman menggoda melalui bagian atas pakaiannya yang tipis. Hal ini membangkitkan nafsu Twain, dan dia merasa ingin melakukannya.      

Shania tidak bergerak dan pergi. Tapi dia juga tidak memalingkan wajahnya lalu memandang Twain sambil tersenyum dan berkata, "Ada apa, Paman Tony?" Dia hanya berdiri diam di tempatnya sambil masih membelakangi Twain.      

"Apa kau mau dengar sebuah kisah, Shania?" suara serak Twain terdengar dari belakang gadis itu.      

"Baiklah, Paman Tony. Kisah apa?" Shania masih belum menoleh ke belakang.     

Tangan Twain tiba-tiba saja mengerahkan kekuatannya dan menarik Shania ke dalam pelukannya. "Gadis Kecil Berkerudung Merah dan Paman Serigala."     

Shania tidak ikut berpura-pura bersamanya dan membuat suara merintih, atau bersikap centil saat dia akan terjatuh ke dalam pelukan Twain. Sebaliknya, dia berteriak, "Alat pacu jantung..." Dia khawatir kalau dia akan jatuh dan menghantam alat pacu jantung di dada Twain.      

Twain nyengir dan berkata, "Jangan khawatirkan hal kecil itu... Kau tidak ikut berpura-pura, Shania. Mood-nya jadi hilang!"     

Shania berbaring di dada Twain dan melirik ke arah Paman Tony, yang berwajah datar. Sudut bibirnya perlahan terangkat saat dia berkata, "Bukankah seharusnya itu Gadis Kecil Berkerudung Merah dan Nenek Serigala?"     

"Sekarang judulnya Gadis Kecil Berkerudung Merah dan Paman Serigala!" Twain berusaha keras terlihat serius dan membelalakkan matanya untuk beraksi seperti Paman Serigala yang jahat.      

"Apa Paman Serigala lapar?"     

"Ya, lapar!" kata Twain dengan serak. Bahkan, meski dia tidak sengaja melakukannya, suaranya sudah cukup serak....      

"Kalau begitu, Gadis Kecil Berkerudung Merah akan pergi membuatkanmu camilan larut malam!"     

Twain masih tidak melepaskannya dan berkata, "Tidak, kau hanya akan kabur untuk memanggil para pemburu. Aku tidak bodoh!"     

"Oh, apa yang harus kulakukan..." kata Shania dengan bingung sambil memiringkan kepalanya, "Paman Serigala lapar dan tidak mau melepaskanku..." Dia memikirkannya. "Hanya ada satu cara!"     

Tiba-tiba saja dia membuka kancing kemejanya dengan satu tangan dan mengedip pada Twain. "Memberikan Gadis Kecil Berkerudung Merah pada Paman Serigala!"     

Twain tidak menghentikan gadis itu. Dia hanya melepaskan tangannya dan meletakkan keduanya di belakang kepala. Dia memperhatikan Shania menundukkan kepalanya saat gadis itu membuka setiap kancingnya dengan hati-hati dan membukanya perlahan. Saat baju atasannya terlepas, tubuh putih sempurna yang memikat itu terpampang di hadapan Twain sedikit demi sedikit.      

Twain hanya menatapnya sambil terpesona, dan tiba-tiba saja ada perasaan tidak nyata kalau dia sedang bermimpi.      

Si cantik berdiri tanpa pakaian di depannya, apakah gadis itu benar-benar seorang Lolita yang pernah membuatnya merasa sangat kesal sampai-sampai ingin memanggil polisi? Dulu saat dia bergegas membawa gadis kecil itu ke rumah sakit karena pingsan akibat demam, dan mengganggu kegembiraan Constantine, apakah dia pernah berpikir akan ada hari seperti ini antara dirinya dan gadis itu? Saat gadis kecil imut itu memanggilnya sebagai "Paman Tony", apakah sudut hatinya yang paling dalam pernah tersentuh olehnya dan berharap gadis itu akan menjadi istrinya?     

Semua kejadian masa lalu dan perasaannya saat itu semakin mengabur. Hanya ada tubuh malu-malu yang terwujud dalam cahaya redup.      

Gadis itu membuka lengannya dan perlahan mencondongkan tubuhnya. Dengan pipi memerah, bibir semerah mawar yang sedikit terbuka, dan nafas yang harum. Dia mendesah dari dalam tenggorokannya, seolah berbicara melalui lapisan kabut, "Paman Serigala, tolong... jangan menahan diri..."     

Perasaan cinta yang melimpah mengalir di dalam kamar tidur itu seolah-olah gairah intens kedua orang itu takkan bisa dipadamkan.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.