Mahakarya Sang Pemenang

Persaingan yang Sengit



Persaingan yang Sengit

0Dengan perasaan senang dan gembira setelah duduk di puncak klasemen liga, tim Nottingham Forest terbang ke Barcelona untuk bertanding melawan tim papan atas La Liga, Barcelona.      
0

Fans Barcelona masih belum melupakan sikap arogan Tony Twain terhadap Barcelona di final Liga Champions, dan mereka juga belum melupakan kebencian karena Nottingham Forest telah mengeliminasi mereka musim lalu. Sekarang mereka memiliki peluang untuk membalas semua kebencian yang menumpuk selama dua tahun terakhir pada Nottingham Forest.      

Hal ini sudah menjadi fantasi para fans Barcelona, tapi para pemain Barcelona sendiri mungkin tidak berpikir seperti itu.      

Ini adalah peluang terakhir Rijkaard untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Dia tidak mendapatkan gelar apa-apa selama dua tahun terakhir, dan ditekan kuat oleh rivalnya, Real Madrid serta kalah dalam leg pertama pertandingan abad ini di Camp Nou. Pada dasarnya mereka sudah tak punya harapan untuk meraih gelar liga, dan alasannya bukan karena Real Madrid terlalu kuat, melainkan karena mereka gagal memenuhi ekspektasi. Setelah tereliminasi dari Copa del Rey dan akhirnya bisa maju ke babak semifinal Liga Champions, semua kegagalan mereka di musim ini takkan ada apa-apanya selama mereka bisa memegang piala "Telinga Besar". Rasa malu akibat dikalahkan Real Madrid di Camp Nou akan tenggelam di lautan sukacita kemenangan Liga Champions.      

Tapi, saat menghadapi Nottingham Forest, Rijkaard sama sekali tidak tahu harus berbuat apa karena dia tidak punya solusi yang bagus.      

Dibawah situasi normal, saat lawan yang kuat muncul, tim seharusnya bersama-sama menutupi kekurangan mereka dan bersatu untuk mengalahkan lawan.      

Tapi Barcelona yang sekarang tidak seperti itu. Media Catalunya terus menerus berspekulasi tentang berbagai hal seperti misalnya musuh Ronaldinho di ruang ganti pemain, mulut besar Eto'o, Rijkaard yang lemah dan kehilangan kendali di ruang ganti pemain, pemain inti Barcelona yang benar-benar dibutuhkan antara Messi dan Ronaldinho, apakah Henry sebanding dengan harga yang dikeluarkan untuk membelinya, siapa penerus Rijkaard, Mourinho, dan lain sebagainya. Semua itu kedengarannya acak, dan para pembaca bisa menemukan kabar-kabar baru setiap hari, selain berita-berita tentang pertandingan – ah tidak, masih ada berita lain. Dalam persaingan untuk menjadi pemain inti terkait apakah Messi atau Ronaldinho yang seharusnya dipercaya oleh Barcelona, dikatakan bahwa Messi sedang cedera dan dia akan melewatkan leg pertama pertandingan semifinal Liga Champions melawan Nottingham Forest.      

Ini sangat ironis.      

Twain dan staf pelatihnya, serta seluruh tim, telah membuat persiapan yang seksama dan tidak berani meremehkan lawan. Tapi setelah mereka tiba disana, mereka sadar bahwa pikiran Barcelona tertuju pada perselisihan internal dan benar-benar meremehkan mereka.      

Sebagai akibatnya, dia tidak lagi takut dengan Barcelona.      

Sehari sebelum pertandingan, Puyol melangkah maju dan menyatakan bahwa mereka harus mengalahkan Nottingham Forest di kandang karena ini adalah pertandingan semifinal Liga Champions. Setelah dia membaca artikel itu di kamar hotelnya, Twain berbicara sarkastik pada Dunn, "Apa mereka baru sadar kalau ini adalah pertandingan semifinal Liga Champions?"     

Twain sangat mengutamakan keutuhan tim dan suasana serta harmoni di ruang ganti pemain. Dididik mendalam oleh Ketua Mao, dia sadar bahwa "cara termudah untuk merebut benteng musuh adalah dari dalam." Selain kerja keras yang dilakukan oleh seluruh tim, hasil yang diperoleh Nottingham Forest didasarkan pada kesatuan. Kegagalan Real Madrid di tahun-tahun sebelumnya dan kejatuhan Barcelona semuanya berasal dari perpecahan internal mereka sendiri.      

Oleh karena itu, Twain tidak akan pernah mengijinkan hal yang terjadi di Barcelona saat ini terjadi padanya di masa depan.      

Dia akan mencegah itu terjadi dengan menggunakan sejarah sebagai panduan.      

※※※     

Puyol melangkah maju untuk berbicara sebagai seorang kapten, tapi itupun tidak berhasil. Barcelona telah terpecah secara internal. Meski dia adalah seorang kapten, tidak semua orang mau mendengarkannya.      

Pertandingan di Camp Nou akan berjalan dengan sangat, sangat suram.      

Serangan balik defensif tentu saja menjadi pilihan pertama Twain, sementara Barcelona tidak menunjukkan serangan berkualitas tinggi. Absennya Messi karena cedera memberikan dampak yang besar terhadap tim. Ronaldinho sekali lagi duduk di bangku cadangan – dia jarang duduk di bangku cadangan selama empat musim bersama Barcelona, tapi musim ini dia sering sekali duduk di bangku cadangan jika dibandingkan dengan empat musim sebelumnya.      

Meski Rijkaard tidak pernah mengkritik Ronaldinho secara terbuka dan selalu mengatakan bahwa dia mempercayai pria Brasil itu, dia selalu menempatkan pria itu di bangku cadangan. Sikapnya ini patut dicermati. Selain itu, dalam level taktis, Ronaldinho telah berubah dari sebuah "fenomena" di Barcelona menjadi sebuah "kanker". Hasil serangannya di lapangan sangat bergantung pada performa individunya. Musim ini performanya sangat buruk dan terlalu berani yang mengarah pada terlalu banyak membuat kesalahan. Kecepatan serangnya tidak secepat Messi. Kalau dia dan Messi diturunkan bersama-sama dalam pertandingan, mereka akan saling mengganggu satu sama lain. Sebagai akibatnya, dalam pertandingan dimana Ronaldinho diturunkan, hasil yang diperoleh Barcelona sangatlah bagus. Selama dia tampil, Barcelona tidak akan kalah ataupun imbang.      

Pada awalnya, beberapa orang berseru di media Catalan. "Kenapa kau tidak membiarkan Ronaldinho bermain? Kau selalu mengatakan kalau dia cedera, tapi dia kelihatannya baik-baik saja." Pada akhirnya, suara-suara itu pun memudar.      

Di pertandingan ini, Ronaldinho duduk di baris belakang bangku cadangan. Orang-orang berada di sekelilingnya, mengisi ruang di depan, di kiri dan kanannya, tapi dia terlihat sangat kesepian. Satu-satunya teman baiknya, Messi, sedang menyembuhkan diri di rumah dan bersiap untuk bermain di leg kedua pertandingan. Bagaimana dengan dirinya? Dia mungkin takkan dibawa ke Inggris untuk leg kedua pertandingan.      

Serangan Barcelona sangat kacau. Meski demikian, Nottingham Forest tetap berpegang teguh pada pertahanan, dan jumlah pemain yang mereka keluarkan untuk melakukan serangan balik cukup kecil, seolah mereka takut lengah setelah ditekel.      

Bisakah sebuah pertandingan seperti itu dianggap memuaskan? Suara cemoohan terdengar di stadion Camp Nou. Desis kemarahan tidak hanya ditujukan pada tim tertentu, melainkan pada kedua tim yang bertanding. Mereka sangat tidak puas dengan ketidakmampuan Barcelona dalam menyerang dan mereka juga tidak lupa bahwa Nottingham Forest adalah lawan mereka.      

Kedua belah pihak tidak mencetak gol selama sembilan puluh menit dan pertandingan itu berjalan dengan sangat membosankan. Banyak pemirsa televisi yang tadinya mengantisipasi "sebuah pertandingan panas" mengeluh bahwa mereka telah menyia-nyiakan malam mereka. Terkait para fans di Timur Jauh yang begadang untuk menonton pertandingan ini, postingan tentang "ketidakmampuan Barcelona dalam menyerang" dan "kebiasaan pertahanan pasif Nottingham Forest" tampak marak di internet.      

Twain tidak peduli dengan itu semua. Dia meninggalkan Camp Nou dan kota Barcelona yang indah dengan senang karena dia mendapatkan hasil yang dia inginkan sebelum pertandingan ini: hasil imbang tanpa kebobolan yang menyia-nyiakan keuntungan Barcelona bermain di kandang sendiri.      

Akan jadi sebuah bonus kalau mereka bisa mencetak gol, tapi tidak jadi masalah kalau mereka tidak bisa mencetak gol.      

※※※     

Kembali ke puncak klasemen liga dan berhasil lolos dari leg pertama pertandingan semifinal Liga Champions membuat Twain berada dalam suasana hati yang bagus. Sejalan dengan berakhirnya turnamen musim ini, emosinya mulai berubah-ubah antara baik dan buruk. Dia merasa sangat frustasi saat mereka dipaksa bermain imbang di kandang oleh AC Milan. Dia telah menghina Blackburn Rovers saat mereka kalah dari tim itu dan harus meminta maaf kepada tim keesokan harinya karena dia masih harus mengandalkan tim untuk berjuang bersamanya menuju puncak. Saat mereka menang melawan Tottenham Hotspur, dia memuji tim berlebihan. Usai Blackburn Rovers bermain imbang melawan Manchester United, dengan senang hati dia membelikan segelas minuman bagi semua orang di pub untuk merayakannya.      

Baginya, setiap menit dalam hidupnya dihabiskan dalam suasana sangat senang atau sangat sedih. Saat tidak ada kegembiraan atau kesedihan, dia selalu merasa tegang dan takut untuk melonggarkan kewaspadaannya meski hanya sejenak.      

Tidak ada musim yang membuatnya segugup musim ini. Mereka punya peluang di kedua turnamen, tapi keduanya sama-sama tidak pasti. Pada akhirnya, mereka bisa mendapatkan gelar ganda atau berakhir tanpa gelar dan hanya bisa menonton tim lain merayakan kemenangan.      

Kembali ke Nottingham, tim Forest tidak mendapatkan istirahat setengah hari seperti biasanya karena mereka harus mulai mempersiapkan putaran liga ke-36 melawan Reading di kandang.      

Pengaturan waktunya sangat dekat, hanya dua hari sesudah pertandingan di Barcelona. Tony Twain dan timnya harus memenangkan pertandingan ini bagaimanapun caranya. Hasil imbang akan dianggap sebagai kegagalan.      

Manchester United telah terpojok. Mereka dipaksa bermain imbang 1:1 melawan Chelsea di kandang pada leg pertama pertandingan semifinal Liga Champions. Raungan kemarahan Ferguson terus menerus terdengar. Di putaran turnamen liga ke-36, sangat disayangkan dan kebetulan bahwa lawan mereka adalah Chelsea. Di pertandingan itu, tak peduli metode apa yang digunakan, Ferguson takkan membiarkan timnya kalah lagi dari Chelsea, meski ini adalah pertandingan tandang bagi mereka dan mereka masih harus menghadapi leg kedua semifinal Liga Champions menghadapi Chelsea lagi setelah putaran liga ini usai.      

Manchester United jelas akan bertarung mati-matian melawan Chelsea di Stamford Bridge. Ini adalah peluang bagus bagi Nottingham Forest untuk terus memperlebar keunggulan mereka. Nottingham Forest akan mendapatkan keuntungan, terlepas dari apakah Manchester United atau Chelsea yang menang atau kalah. Kalau Chelsea menang, Nottingham Forest akan unggul di kompetisi liga. Kalau Manchester United yang menang, Nottingham Forest akan mendapatkan keuntungan di laga Liga Champions.      

Ini adalah kesempatan emas...      

"Jadi, kita harus menang!" Twain menentukan hasil pertandingan di akhir pertemuan taktis sehari sebelum pertandingan.      

※※※      

Keesokan harinya, semua kursi di stadion City Ground telah terisi penuh. Tribun, yang bisa mengakomodasi hingga 30,000 orang, penuh dengan bendera kecil yang berkibar. Fans Forest juga menyadari situasi yang dihadapi oleh setiap tim di turnamen liga dan saat ini adalah saat yang paling menguntungkan bagi tim Forest. Lawan mereka kali ini tergolong lemah dan pesaing mereka saling bertarung sampai mati melawan satu sama lain. Selama mereka memenangkan pertandingan ini, mereka bisa dikatakan telah memegang pegangan piala liga dengan satu tangan.      

Semua orang ingin datang dan menyaksikan momen bersejarah ini – Nottingham Forest Football Club hanya pernah memenangkan satu turnamen kelas-atas di sepanjang sejarahnya, yakni gelar English Football League Championship (EFL) selama era Brian Clough. Mereka memanfaatkan gelar juara itu untuk memenangkan dua gelar Liga Champions. Mereka adalah satu-satunya tim di sepanjang sejarah Liga Champions yang hanya memenangkan satu kejuaraan kelas atas di liga domestik tapi berhasil memenangkan gelar Liga Champions dua kali. Jadi kalau tim Forest bisa mendapatkan gelar liga musim ini, mereka akan kembali mengukir sejarah.      

Saat para pemain Forest muncul di lapangan, mereka disambut oleh gelombang tsunami sorakan dari tribun penonton. Inilah fungsi stadion kandang mereka, tapi malam ini semuanya sedikit lebih bersemangat. Para suporter tim Forest berharap kalau mereka akan bisa memberikan tekanan ekstra terhadap Reading, membuat lawan terpana dan mengangkat tangan mereka untuk menyerah.      

Tony Twain tampak seperti kepala negara dan komandan perang dari pasukan bersenjata, berdiri tinggi di menara kota, dengan angkuh menginspeksi pasukan yang bergerak di depannya dan menikmati suara sorakan dan pujian yang memekakkan telinga dari tribun penonton. Puncak karirnya sebagai pelatih akan segera tiba.      

Tak diragukan lagi, hanya ada satu orang yang merasakan hal yang sama sepertinya: Edward Doughty, pemilik klub yang sedang berdiri di tribun VIP diatas sana. Dia adalah seseorang yang seharusnya menikmati semua hal itu karena dialah pemilik klub ini. Sementara Tony Twain? Dia hanyalah karyawan, meski posisinya lebih tinggi dari karyawan biasa.      

Kegembiraan membayangkan kemenangan yang tertunda melanda pikiran si pencari nafkah senior ini, membuat senyum lebar muncul di wajahnya. Di mata orang lain, dia tidak berdiri di pinggir lapangan sebelum pertandingan melainkan sedang berdiri di pinggir lapangan sesudah pertandingan. Sementara tentang hasilnya, timnya berhasil menang besar.      

Dengan taktik yang tepat dan kekuatan lawan yang lebih lemah, tidak ada alasan pertandingan ini tidak berjalan sesuai rencana.      

Setelah baru saja menyelesaikan sebuah pertandingan penting, Manchester United memberikan serangan gencar dalam pertandingan tandang dan berhasil mengalahkan Chelsea dengan skor 2:1 dan satu kartu merah. Untuk sementara mereka berhasil mengungguli Nottingham Forest di peringkat klasemen, unggul dengan dua poin, tapi Twain yakin bahwa setelah pertandingan mereka berakhir, puncak klasemen akan kembali menjadi milik mereka dengan selisih satu poin.      

Saat para pemain dari kedua tim berdiri di posisi mereka masing-masing, wasit berdiri di lingkaran tengah dan meletakkan peluit di bibirnya. Kebisingan di stadion City Ground mulai mereda. Keheningan itu membuatnya seolah semua orang sudah pergi, dan Twain menoleh ke tribun utama di belakangnya dan merasa lega melihat semua orang ada disana.      

"Biip –"     

※※※     

Seratus dua puluh menit kemudian, hampir setengah jam sudah berlalu sejak akhir pertandingan.      

Tony Twain duduk sendirian di area teknis yang kosong. Tribun-tribun di stadion City Ground dan lapangan hijau di hadapannya sudah kosong.      

Dia duduk disana dengan tenang, tanpa ada ekspresi senang ataupun kecewa di wajahnya.      

Suara langkah kaki terdengar, tapi dia tidak mempedulikannya.      

"Tony." Suara langkah itu menghilang, dan suara Dunn terdengar.      

"Ya?" Twain bahkan tidak mengangkat kepalanya.      

"Tidak mau pulang?"     

"Aku akan duduk disini sebentar lagi."     

"Kau sudah duduk disini selama lima belas menit."     

Twain akhirnya mengalihkan pandangannya dari lapangan dan ganti menatap Dunn. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi ekspresi di matanya membuat Dunn gemetar.      

Tony Twain terlihat seperti hewan buas yang baru saja kehilangan anaknya, seolah-olah dia akan melompat dan menerkamnya lalu melahapnya saat itu juga.      

Dia tampak marah, benar-benar sangat marah.      

"Kau..." Dunn berhenti sejenak, "tidak mengatakan apa-apa. Semua orang mengira kau..."     

"Tidak marah?" tanyanya dengan suara dingin.      

Sebelum ini, Kerslake-lah yang tidak beruntung untuk menemani Twain. Tapi Kerslake adalah orang yang memimpin tim untuk kembali hari ini. Hanya Dunn, yang tinggal di sebelah rumahnya, yang menemani Twain.      

"Bagaimana mungkin aku tidak marah?" tanyanya lagi. Kali ini, tidak terdengar nada kemarahan yang meledak-ledak seperti biasanya. "Tapi pada siapa aku bisa melampiaskan kemarahanku ini? Sesaat setelah pertandingan, saat aku ditanya oleh sekelompok reporter di konferensi pers, aku benar-benar ingin langsung pergi ke ruang ganti dan membuat semua orang merasakan amukanku, tapi saat aku mengingat lagi apa yang terjadi setelah kita kalah dari Blackburn Rovers, aku mengurungkan niatku. Tapi aku tidak mau melihat mereka untuk saat ini, jadi aku menyuruh mereka pulang lebih dulu. Aku datang kemari untuk duduk disini sebentar. Kurasa aku tidak bisa melampiaskan kemarahanku pada mereka... Tidak, aku tidak bisa melakukannya. Kau tahu kenapa?"     

Twain menatap Dunn, yang balas menatapnya tapi tidak menjawab.      

"Karena kalau aku melacak balik sumber kekesalahnku ini, akulah yang seharusnya diomeli. Tapi aku tidak bisa memarahi diriku sendiri, khususnya di depan orang lain." Twain bangkit dari kursinya. "Tiga hari setelah pertandingan liga adalah pertandingan semifinal Liga Champions, yang lalu disusul pertandingan turnamen liga tiga hari kemudian. Lalu tiga hari setelahnya, akan ada pertandingan semifinal Liga Champions lagi. Performa para pemain menjadi tidak stabil karena mereka terlalu lelah."     

"Kalau saja aku sedikit lebih berani di pertandingan kali ini, mungkin tidak akan jadi seperti ini. Aku tidak melakukan rotasi saat aku seharusnya melakukan rotasi. Aku ingin merobek-robek Reading dengan pasukan terkuatku, tapi kurasa bukan pasukan terkuat yang menentukan hasil pertandingan..."     

"Lalu aku duduk disini dan berpikir... semua orang akhirnya pergi dan tidak ada seorangpun disini. Bahkan tidak ada satupun reporter yang datang untuk menggangguku. Aku bisa berpikir jernih dan tidak harus berpura-pura di hadapan orang lain. Aku tidak memikirkan kenapa kali ini aku bisa tersandung. Aku hanya sedang berpikir bahwa takdir itu luar biasa. Satu saat aku berada di surga, dan di saat berikutnya, aku berada di neraka..."     

"Sambil memikirkan ini, aku tidak lagi marah." Tatapan di mata Twain berubah dan seulas senyum muncul di wajahnya. Dia merentangkan lengannya. "Aku harus mengakui bahwa mata dan benakku dibutakan oleh performa yang ada di depanku. Beberapa orang mungkin menganggap hasil ini adalah lelucon kejam yang dimainkan oleh takdir padaku. Tapi sebenarnya, kurasa ini bagus juga, hasil yang terbaik!"     

"Aku tidak marah! Apa rencana awal kita? Terlepas dari apakah kita unggul dari Manchester United atau tidak, hasil akhirnya tetap takkan berubah. Kita masih akan bertarung melawan mereka di putaran terakhir untuk menentukan siapa juaranya, kan? Jadi apalah artinya duduk di peringkat pertama atau kedua? Bagus juga kalau kita bisa melepaskan diri dari tekanan menjadi pelari terdepan."     

"Selain itu," dia mengedipkan mata ke arah Dunn. "Aku bahkan memikirkan tentang bagaimana kita bisa membuat Barcelona menyerah di kandang. Kita akan maju ke final Liga Champions untuk yang ketiga kalinya."     

Dia meregangkan punggungnya. "Ayo, Dunn, kita pulang. Senang juga ada yang mau mendengarkanku." Dia melangkah lebih dulu untuk berjalan menuju terowongan pemain. Lalu dia berhenti dan berbalik untuk memandang Dunn. "Kau tahu? Tiba-tiba saja aku merasa kalau merenungkan berbagai hal itu bagus, dengan duduk di stadion yang kosong. Kantor dan rumahku terlalu kecil dan membatasi pikiranku. Berada disini benar-benar menyenangkan." Dia menunjuk ke arah stadion.      

"Ini cukup besar, tapi tidak terlalu membatasi, kalau tidak begitu perhatianku pasti akan teralihkan." Lalu dia kembali bergumam, "dibandingkan dengan lapangan yang bising, tiba-tiba saja aku menyukai lapangan yang kosong... itu aneh."     

※※※     

Pada bulan April 2008, tiga hari sebelum leg kedua pertandingan semifinal Liga Champions, dalam putaran turnamen liga ke-36 musim Liga Utama Inggris 07-08, Nottingham Forest tanpa diduga bermain imbang melawan Reading di kandang. Tidak ada tim yang berhasil mencetak gol.      

Manchester United mengambil kesempatan ini untuk membalikkan keadaan. Dengan selisih satu poin lebih banyak, mereka kembali berada di puncak klasemen.      

Bagi Tony Twain dan Alex Ferguson, masih ada dua putaran liga lagi sebelum mereka bisa meraih piala liga. Masih ada satu putaran liga lagi sebelum laga terakhir di Old Trafford. Apa yang akan terjadi?     

Hanya iblis yang tahu.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.