Mahakarya Sang Pemenang

Kekerasan di Stadion



Kekerasan di Stadion

0"Paul Gerrard mendapatkan bola, tapi Hunt tidak berhenti berlari.. Oh ya Tuhan!"     
0

Kiper pengganti, Gerrard seharusnya menangkap bola itu di lengannya dan menekannya di bawah tubuhnya, tapi tiba-tiba saja tubuhnya disentakkan hingga terbalik oleh Hunt.      

Hunt tidak memikirkan apa-apa tentang itu; itu adalah kontak fisik. Dia bahkan tersenyum ke arah kamera. Tapi saat dia menoleh, dia melihat tinju yang besar di depan wajahnya, dan kemudian dia terlempar ke belakang.      

Setelah George Wood meninju pria itu, dia berdiri diam, kaki kanannya sedikit menekuk karena kekuatan yang digunakan Wood dalam satu pukulan tunggal. Seolah-olah itu adalah buktinya, dia menunjukkan dengan jelas kepada wasit bahwa dia telah memukul Stephen Hunt ditengah perselisihan.      

Gerakan Wood terlalu cepat. Dari sejak Kim Do-heon mengoper bolanya, Wood sudah mengejar bola dengan kecepatan tinggi, tapi dia masih tertinggal dan tidak berhasil membuat penghalang antara kiper, Gerrard dan Hunt.      

Karena dia adalah pemain yang paling dekat, dia melihat trik kotor Hunt dengan jelas. Dia tidak peduli apakah aksi Hunt barusan disengaja atau tidak, yang diketahuinya adalah aksinya itu mencederai orang lain, khususnya karena diarahkan ke kepala – bagian terpenting dari tubuh manusia. Bahkan olahraga tinju juga mensyaratkan pelindung kepala. Satu kecerobohan itu bisa berakibat fatal.      

Tidak ada waktu untuk menghentikan Hunt, tapi masih ada waktu untuk memukulnya. Oleh karenanya, Stephen Hunt, yang berbuat licik saat melawan Paul Gerrard, dilempar keluar lapangan oleh satu pukulan yang kuat dari George Wood.      

Trik kotor Hunt terhadap Gerrard memang termasuk aksi kekerasan yang tersembunyi, tapi pukulan George Wood barusan adalah aksi nyata kekerasan di stadion.      

Peluit wasit, Riley, akhirnya terdengar. Dengan Wood berada di tengah, para pemain dari kedua tim tiba-tiba berkumpul di sekelilingnya dan terlihat seolah mereka sudah siap untuk berkelahi. Saat para pemain saling dorong dan saling sikut di lapangan, Twain meraih kerah ofisial keempat di pinggir lapangan dan berteriak, "Hentikan pertandingan dan panggil ambulans! Apa kau tidak lihat ada pemain yang pingsan?"     

Ada orang-orang yang berteriak di lapangan, "Berhenti berkelahi. Bantu dia!!"     

"Apa kau tidak dengar? Selamatkan dia!"     

"Sialan, wasit, tiup peluitnya dan tenangkan mereka semua!"     

Para pemain dari kedua tim bisa dipisahkan dengan paksa. Mereka semua mulai agak tenang saat melihat Gerrard tak sadarkan diri di lapangan. Bola sudah bergulir melewati garis gawang. Apa itu tendangan sudut atau tendangan gawang? Tidak ada lagi yang peduli tentang itu.      

Dokter tim Nottingham Forest bergegas melakukan penyelamatan darurat sementara Riley sibuk mengendalikan para pemain yang gelisah dari kedua tim.      

"Kondisinya sangat buruk. Dia harus langsung dibawa ke rumah sakit." Fleming menggelengkan kepalanya, berbicara kepada wasit yang berjalan mendekat.      

Wasit melambaikan tangan agar ambulans, yang diparkir dekat pintu keluar, bergerak mendekat.      

Saat paramedis membawa Gerrard ke dalam ambulans, Riley meniup peluit agar Wood mengikutinya. Wood tahu betul apa yang akan terjadi. Dia tidak akan mengikutinya dengan patuh. Dia melihat ke arah Gerrard, yang sedang diikat ke atas tandu, melepaskan ban kapten di lengannya dan melemparkannya ke arah Pique, lalu berbalik untuk langsung menuju koridor pemain.      

Di belakangnya, Riley sudah mengangkat tangannya yang mengacungkan kartu merah. Riley tidak menghukum pelaku pelanggaran, Stephen Hunt. Dia bahkan tidak memberinya peringatan lisan.      

Hunt terjatuh ke tanah dan juga sedang dirawat oleh dokter tim. Tapi paling parah dia hanya akan mengalami wajah bengkak, yang tidak bisa dibandingkan dengan cedera yang dialami Gerrard. Unit medis tim Reading mengulur perawatan itu selama lima menit, dimana suara ejekan tidak pernah berhenti terdengar.      

Tanpa Gerrard, Edwin van der Sar, harus dimasukkan ke lapangan, dan karena George Wood diusir dari lapangan dengan kartu merah, Twain hanya bisa mengganti satu pemain lain. Kali ini dia memilih untuk mengeluarkan strikernya, Bendtner.      

Bendtner menggertakkan giginya saat dia berjalan keluar lapangan. Dia tidak merasa kesal karena harus dikeluarkan. Dia marah karena rekan setimnya dicederai, dan pelakunya lolos tanpa hukuman.      

"Hati-hati!" Twain memperingatkannya saat van der Sar berjalan masuk ke dalam lapangan.      

Edwin van der Sar mengangguk dengan ekspresi serius.      

Kali ini, semua orang terkejut dengan kecemasan mendalam Twain. Setelah Edwin van der Sar berlari masuk ke dalam lapangan, suara ejekan berubah dan digantikan dengan suara tepuk tangan. Membutuhkan banyak keberanian untuk terus bermain setelah Gerrard baru saja dibuat tak sadarkan diri dan dikirim ke rumah sakit.      

Setelah kiper Nottingham Forest memasuki lapangan, Hunt berdiri di tepi lapangan dan mengangkat tangannya untuk meminta ijin memasuki lapangan.      

Seolah ada seorang konduktor yang mengarahkan mereka, suara tepuk tangan untuk Edwin van der Sar dengan segera berubah menjadi suara ejekan yang memekakkan telinga, suara itu sangat keras hingga membuat orang terhenyak.      

Twain berdiri di depan area teknis dengan mata terpaku pada Hunt, dadanya naik turun.      

※※※     

"Riley menyetujui permintaan Hunt untuk kembali masuk ke lapangan, yang sedikit tak bisa dipercaya. Manuver kecil itu benar-benar tak bermoral. Menendang kaki dan menendang kepala adalah dua hal yang berbeda. Melihat Hunt kembali bermain, ekspresi para pemain Forest berubah. Kurasa Riley akan sibuk dalam pertandingan ini. Selain itu, cedera yang dialami Paul Gerrard juga cukup mengkhawatirkan. Semoga dia baik-baik saja."     

Komentator itu benar. Riley sulit mengendalikan permainan. Tadinya, perpanjangan waktu untuk babak pertama adalah lima menit. Tapi mereka hanya bisa bermain selama dua menit, dan dia buru-buru meniup peluit untuk mengakhiri babak pertama.      

Suara peluit terdengar dan para pemain di lapangan masih tidak ada yang bergerak. Tapi Tony Twain langsung menuju ke area teknis tim tamu dan menghadang Steve Coppell sambil meraung, "Jadi begini caramu bermain sepakbola, Coppell!"     

Coppell mengabaikan Twain dan berjalan cepat menuju koridor pemain. Asisten manajernya, Dillon, datang untuk menghadapi Twain. "Tolong jaga kata-kata Anda, Tn. Twain!"     

Twain mendorongnya pergi. "Minggat sana, kau tidak punya hak untuk bicara denganku!"     

Twain berteriak di belakang Coppell, yang bisa didengar jelas oleh reporter televisi disana, "Kenapa kau tetap diam, Coppell! Jangan kira diam saja bisa membebaskanmu dari masalah ini. Tunjukkan nyali yang digunakan pemainmu pada timku! Apa kau masih bisa menyebut dirimu pria?!" Coppell masih tidak menjawab melainkan berjalan semakin cepat. "Kalau terjadi sesuatu pada pemainku! Stephen Hunt – b*jingan itu akan menjadi pembunuh, dan kau, b*jingan, akan menjadi dalangnya! Kita akan bertemu di pengadilan!"     

"Tn. Tony Twain, tolong perhatikan kata-kata Anda..." Ofisial Keempat berusaha memperingatkan Twain dari belakang.      

Twain memutar kepalanya dengan cepat ke belakang dan menatapnya. Ofisial Keempat itu sangat ketakutan sampai-sampai dia menelan kata-katanya dan tidak menyelesaikan kalimatnya.      

"Kita akan menyelesaikan urusan kita sendiri, Tn. Wasit." Twain melontarkan kata-kata itu sebelum dia melangkah menuju koridor pemain.      

Asisten manajer Reading, Dillon, yang baru saja didorong ke samping, juga ingin melangkah maju dan menuntut jawaban dari Twain, tapi dia dihentikan oleh penjaga keamanan stadion.      

"Aku – aku bisa menganggap ini sebagai ancaman kepada wasit!" Ofisial Keempat mengumumkannya dengan suara keras.      

"Lakukan apa maumu, Tn. Wasit." jawab asisten manajer, Kerslake, saat dia berjalan melewatinya. Dia segera diikuti oleh para pelatih Nottingham Forest yang semuanya terlihat serius saat mereka berjalan kembali ke koridor pemain.      

Hanya Dunn yang tetap tinggal di belakang dan berusaha menjelaskan semua ini kepada Ofisial Keempat yang tampak marah, "Tolong maafkan reaksi mereka, Tn. Wasit. Pemain kami baru saja dibawa ke rumah sakit dan kami tidak tahu serius tidaknya cedera yang dia alami..."     

Ofisial Keempat melihat ke arah orang-orang yang bersikap kasar padanya, dan kemudian melihat sekilas ke arah pria Cina yang berdiri di hadapannya. Dia berbalik dan berjalan menjauh dengan ekspresi muram.      

Dunn menggaruk kepalanya tak berdaya dan kemudian berlari ke arah koridor pemain untuk menyusul mereka semua.      

Media merasa sangat bersemangat. Adegan yang terjadi selama jeda paruh waktu sangatlah mendebarkan dan berita besok pasti akan sangat menggembirakan! Konflik sengit yang terjadi selama pertandingan dan jeda paruh waktu adalah sebuah huru-hara tiga arah!     

※※※     

Kembali ke ruang ganti, Twain menerima panggilan telepon dari Fleming, dokter tim yang menemani Gerrard ke rumah sakit.      

"Kabar baik, Tony. Pemeriksaan awal menunjukkan bahwa nyata Paul tidak terancam."     

Twain menghembuskan nafas lega. "Apa tengkoraknya retak?"     

"Sejauh ini, mereka masih belum menemukan apa-apa. Kabar buruknya adalah kemungkinan besar dia harus beristirahat selama lebih dari enam bulan. Mereka harus memperhitungkan efek lanjutan dari gegar otak. Kita tidak tahu apa dia akan bisa kembali ke lapangan sebagai kiper."     

Twain kembali terdiam.      

Seluruh ruang ganti hening. Semua orang mendengarkan percakapan telepon Twain. Meski mereka tidak bisa mendengar ucapan Fleming dari ujung telepon yang lain, mereka bisa menebak beberapa hal dari ekspresi Twain.      

Setelah terdiam sesaat, Twain mendengus dan menutup telepon. Dia memandang para pemain yang menatapnya penuh rasa ingin tahu.      

"Nyawa Paul tidak dalam bahaya," dia mulai berkata.      

Para pemain menghela nafas lega. Atmosfir yang suram dan mencekik itu kini mulai mereda.      

Twain tidak mengatakan kabar buruknya karena dia tidak ingin hal itu mempengaruhi suasana hati para pemain.      

"George." Dia menatap bangku yang diduduki kapten dan berkata, "Ikutlah denganku." Setelah itu, dia menepuk bahu asisten manajer, Kerslake dan memintanya untuk mengambil alih pembicaraan taktik.      

Wood bangkit dan mengikuti Twain keluar dari pintu.      

"Baiklah, guys, tenangkan diri kalian. Kita akan kembali membahas taktik untuk babak kedua."     

Suara Kerslake menghilang saat pintu tertutup di belakang mereka.      

Tidak ada orang di koridor. Tidak ada orang lain yang bisa mengganggu Twain dan Wood, kecuali beberapa staff stadion yang bergegas lewat.      

"George, berapa kali kau diusir dari lapangan karena menuruti emosi?" Twain menatap Wood dan bertanya.      

Wood menundukkan kepalanya dan tetap diam.      

Ini adalah sikap tenang yang khas darinya. Twain mengerutkan kening dan sedikit menaikkan volume suaranya, "Kau adalah kapten. Bisakah kau sedikit mendinginkan kepalamu? Setelah kau diusir dari lapangan, permainan kita akan menjadi pasif! Masih ada empat puluh lima menit yang tersisa. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti? Selain itu, apa kau tahu harga yang harus kaubayar untuk satu pukulanmu?!"     

Sebuah langkah penting yang diambil Football Association Inggris untuk Liga Utama musim ini adalah "hukuman berat untuk setiap kekerasan di stadion." Sebelum pertandingan ini, bek belakang Manchester City, Ben Thatcher, menampar gelandang Portsmouth, Pedro Mendes dengan sikunya selama pertandingan, membuat Mendes jatuh pingsan dan membuat Thatcher diskors oleh Football Association Inggris selama delapan pertandingan.      

Football Association akan menghukum berat tipe kekerasan stadion dan pelanggaran keras sejenis di musim laga kali ini. Paul Scholes dan Wayne Rooney dari Manchester United diskors selama tiga putaran liga karena mereka masing-masing menerima kartu merah di pertandingan persahabatan pra-musim.      

Insiden tadi termasuk pelanggaran, tapi tinju George Wood yang disengaja jelas akan dianggap sebagai provokasi terhadap kewenangan Football Association. Hampir tidak perlu menebak-nebak lagi hukuman apa yang akan menunggu Wood. Tidak heran Twain sangat marah.      

Wood terdiam sejenak dan bisa mendengar napas berat Twain yang semakin keras, dan dia tahu kalau bosnya benar-benar marah. Lalu dia membuka mulutnya dan berkata, "Saat aku bertemu Roy Keane, dia bilang padaku kalau biasanya dia memukul seseorang lebih dulu dan kemudian baru memikirkan tentang apakah seharusnya dia melakukan itu atau tidak. Belakangan, dia belajar untuk berpikir lebih dulu tentang apakah sebaiknya dia memukul orang itu sebelum dia benar-benar memukulnya."     

Twain mendengarkan ini dengan terkejut, "Apa hubungannya semua itu dengan apa yang sedang kita bicarakan?"     

"Kali ini, aku memikirkannya lebih dulu sebelum aku memukulnya," kata Wood sambil mengangkat kepalanya.      

Twain memegang kepalanya dengan kedua tangan. Dia tidak tahu harus mengatakan apa.      

Roy, kau b*jingan, dari semua hal yang kau ajarkan pada George, kau mengajarinya ini!     

"Kau b*jingan bodoh, kalau wasit tadi baru akan menghukum pemain yang melakukan pelanggaran, pukulanmu tadi justru membuatmu menggantikan tempatnya!"     

"Apa nomer 10 dihukum?" Wood balik bertanya.      

Twain membeku sejenak, dan menjawab dengan marah, "Tidak!" Dia jelas tahu apa yang dimaksud Wood. "Kau tidak seharusnya main hakim sendiri, George. Kau adalah kapten tim. Kau harus selalu memprioritaskan kepentingan tim."      

"Aku tahu," jawab George.      

"Kau tahu dan kau masih saja..." mencoba membicarakan ini dengan Wood membuatnya merasa sangat kesal.      

"Kalau aku tidak memukulnya, mereka akan melakukan hal yang sama." Wood menunjuk ke arah pintu ruang ganti yang tertutup.      

Twain tidak bisa menyangkalnya. Dia adalah orang yang paling mengenal timnya. Wood memang mengatakan hal yang benar. Banyak pemain di tim Forest telah bermain bersama selama beberapa tahun dan mengembangkan sebuah ikatan emosional. Mereka menganggap satu sama lain sebagai keluarga sendiri. Ketika salah satu anggota keluarga mereka ditindas, mana mungkin mereka diam saja dan tidak melakukan apa-apa?     

Perkelahian itu tak bisa dihindari.      

Ada keheningan singkat diantara kedua pria itu.      

"Baiklah, George. Kalau kau sudah memikirkannya sebelum kau memukul bajingan itu, aku yakin kau sudah tahu konsekuensi dari pukulanmu itu."     

Wood mengangguk.      

"Jadi, kalau lain kali ini terjadi lagi, pukullah lebih keras!"     

Wood mendongak dan memandang Twain dengan tatapan aneh.      

"Karena kau pasti akan diusir dengan kartu merah dan mendapatkan skorsing tambahan maka kalau pihak lawan tidak masuk rumah sakit, itu hanya akan membuat hukumanmu sedikit tidak sepadan. Dengan kata lain, tadi itu kau sedang melampiaskan dendam pribadimu." Twain mengangkat bahunya dan berkata, "Pukulanmu harus memberikan efek yang lebih besar. Apa kau paham yang kukatakan?"     

Wood memikirkannya sebentar, lalu mengangguk.      

"Kembalilah kesana." Twain menepuk bahunya dan membukakan pintu ruang ganti untuknya.      

Saat Twain dan Wood kembali ke ruang ganti, Kerslake sudah selesai memberikan instruksi dan menunggu Twain memberikan kata-kata terakhirnya.      

"Kalian semua tahu situasi kita saat ini, jadi aku tidak akan bicara omong kosong. Kita harus memenangkan pertandingan ini! Aku tidak peduli metode dan cara apa yang kalian gunakan. Ringkasnya, kita harus menghentikan gerombolan bajingan itu! Aku tidak peduli dengan pelanggaran! Kartu merah, kartu kuning? Biarkan saja wasit banci itu mengeluarkan kartu dari saku celananya! Dia tidak punya ke**luan, darimana dia akan mengeluarkan kartu-kartu itu?"     

※※※     

Hasil pertandingan adalah Nottingham Forest mengalahkan Reading dengan skor 1:0.      

Meski mereka berhasil menang, itu adalah kemenangan yang tragis bagi Twain.      

Kedua tim bermain dengan penuh kebencian di babak kedua. Pepe mengalami cedera lutut dalam sebuah pertarungan sengit dengan bek lawan dan harus ditandu keluar lapangan. Diagnosis awal dokter tim tentang kondisinya tidak terlalu baik. Pepe digantikan oleh Kompany. Sonko diusir dari lapangan oleh Riley, wasit yang memberinya kartu merah karena melakukan pelanggaran itu – meski itu hanyalah pertarungan sengit yang biasa, dan tidak bisa dibandingkan dengan serangan berbahaya Hunt di babak pertama.      

Sebagai akibatnya, komentator mencemooh Riley karena berusaha menyeimbangkan permainan, dan tindakannya yang berusaha menjilat tim tuan rumah itu hanya menghasilkan lebih banyak cemoohan.      

Coppell mengganti Hunt, yang mencederai Paul Gerrard, dengan striker Korea Selatan, Seol Ki-hyeon, tidak lama setelah babak kedua dimulai. Hunt telah menjadi "target perburuan" tim Forest di lapangan. Selama dia menerima bola, akan ada pemain Forest yang berlari ke arahnya untuk "bertabrakan dengan keras". Riley tidak menghentikan perilaku tim Forest. Meski demikian, tim Forest masih menerima tiga kartu kuning atas aksi mereka terhadap Hunt saja.      

Hal ini memicu kemarahan tim Reading. Semakin lama kedua tim itu bertanding, semakin sering mereka menggunakan adu fisik. Riley benar-benar kehilangan kendali di lapangan. Di akhir pertandingan, dia mulai sering memberikan kartu.      

Karena dia memiliki dua kartu kuning, Ashley Young diusir dari lapangan dengan kartu merah. Seol ki-hyeon, yang baru masuk di babak kedua, juga diusir dengan kartu merah karena dia memukul Kompany dengan sikunya selama pertarungan sengit untuk mendapatkan bola atas.      

Saat pertandingan mencapai perpanjangan waktu, staff pelatih yang gelisah dari kedua tim juga saling berseteru di tepi lapangan. Kerslake dengan marah menghampiri mereka dan mengatakan bahwa Reading tidak sedang bermain bola melainkan mengobarkan perang. Asisten manajer Reading, Dillon, yang merasa kesal dengan tim Forest, melangkah maju untuk berkelahi dengannya. Kalau bukan karena para staff dari kedua tim yang berusaha menahan keduanya, kedua pria itu mungkin akan berkelahi tepat dibawah hidung Ofisial Keempat.      

Twain tidak berusaha menghentikan asistennya. Dia hanya menatap ke arah lapangan dengan geram. Dia sama sekali tidak memikirkan tentang bagaimana dia akan bertanding melawan Arsenal di putaran berikutnya. Dia hanya ingin menyamakan kedudukan di pertandingan kali ini.      

Wasit tidak akan menghukum, bukan? Kalau begitu, biar saja orang-orangku melakukannya!     

Di tengah kekacauan ganda yang terjadi pinggir lapangan dan di dalam lapangan, wasit utama, Riley, yang sudah kehilangan kontrol atas situasi dan melihat reaksi para pemain dari kedua tim, buru-buru meniup peluitnya untuk mengakhiri pertandingan. Dia mengabaikan perpanjangan waktu selama tujuh menit di papan yang baru saja diangkat oleh Ofisial Keempat...      

Peluitnya ditiup, suaranya ditenggelamkan oleh cemoohan yang memekakkan telinga di stadion City Ground.      

Benar-benar adegan yang lucu!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.