Mahakarya Sang Pemenang

Kartu Truf Melawan Kartu Truf (Bagian 1)



Kartu Truf Melawan Kartu Truf (Bagian 1)

0Kaka merentangkan lengannya dan kedua tangannya terbuka ke arah langit sambil berlari menuju bendera sudut. Ini adalah aksi perayaan gol khas dirinya. Bahkan di pertandingan final yang sengit ini, dia berterima kasih lebih dulu kepada Tuhan karena berhasil mencetak gol. Dia berterima kasih kepada Tuhannya, dan rekan setimnya berterima kasih padanya. Para pemain AC Milan bersorak sambil bergegas berlari ke arahnya.      
0

Di tribun, fans AC Milan mulai menyalakan kembang api yang telah mereka persiapkan sejak lama dan mulai berteriak, 'Milan! Milan!' lagi dan lagi.      

Meski itu hanya satu gol, itu memberi mereka harapan untuk menyamakan kedudukan. Sebuah umpan panjang sejauh lima puluh meter telah berhasil meningkatkan semangat mereka.      

"Apakah George Wood benar-benar sebagus itu? Dia bahkan tidak bisa menghentikan Kaka kami! Selama lari sprint sejauh lima puluh meter itu, dia hanya bisa mengikuti dari belakang! Dia hanya berfungsi sebagai latar belakang kecemerlangan Kaka, cahaya bintang yang kecil diredupkan oleh cahaya seorang superstar!"     

Wood terduduk di tanah dengan ditopang oleh tangannya dan masih mempertahankan posisi sedang melakukan tekel – satu kaki terentang keluar dan satu lagi ditindih pantatnya sendiri.      

Dia tidak bisa mendengar ucapan komentator Italia yang menjengkelkan itu, tapi dia tahu kalau dia sudah kalah melawan Kaka. Dia benar-benar kalah dalam hal kecepatan, skill maupun pengalaman.      

Pemain bertahan tidaklah sama seperti pemain penyerang. Mereka tidak punya hak untuk kalah karena kalah artinya seluruh tim mereka juga akan kalah.      

Para pemain Forest tampak sedikit kecewa dan tak bisa mengatakan apa-apa setelah melihat gol Kaka itu. Meski mereka tidak ingin kebobolan gol, mereka tak punya pilihan lain – George Wood, pemain bertahan terbaik di tim, tidak berhasil mentekel bolanya setelah dia mengikuti Kaka dan berlari bersamanya sejauh lima puluh meter. Pepe, yang termasuk dalam sepuluh bek tengah terbaik di Liga Utama Inggris, juga berhasil dilewati Kaka dengan mengubah arah larinya dan bahkan tidak punya peluang untuk melawan balik.      

Apa lagi yang bisa dikatakan tentang gol seperti itu?     

Itu adalah sebuah pukulan berat.      

※※※     

Para pemain tak bisa berkata-kata, tapi Twain punya banyak hal untuk dikatakan. Dia tidak ingin mengakui betapa bagusnya gol Kaka, karena kalau dia adalah Wood, maka serangan itu pasti sudah hilang sejak awal.      

Dari luar lapangan, dia merasa sangat marah dan mengacungkan tangannya sambil menggeram ke arah lapangan. "George! Keparat kau, kemarilah!"     

Di tengah suara sorakan fans AC Milan yang menggemuruh, Wood masih bisa mendengar raungan Twain.      

Dia bangkit dan segera berlari menghampiri.      

Twain menariknya mendekat dan berbicara dalam suara rendah melalui gigi yang terkatup. "Kau harus bertanggungjawab penuh atas kebobolan gol kali ini. Kau paham?!"     

Wood mengangguk. Dia bertingkah sangat sopan.      

"Aku tahu apa yang kaupikirkan, tapi kau harus terus mengingat ini. Ini adalah final Liga Champions, bukan semacam duel abad pertengahan ke**rat antara dua ksatria yang saling melemparkan tantangan! Untuk bisa menang, kau harus melakukan apapun itu dan menggunakan segala cara!" Twain menggeram di telinga Wood. Wood menundukkan kepalanya dalam diam dan menerima kemarahan manajernya tanpa membantah.      

"Apa yang kuajarkan padamu? Bertahan bukan pekerjaan yang gampang. Itu adalah pekerjaan yang paling melelahkan dan paling kotor. Semua fans itu... " Dia menunjuk ke arah fans AC Milan di tribun. "Apa yang ingin mereka lihat adalah apa yang akan kau hancurkan. Apapun yang mereka sukai, kau harus menentangnya. Kau harus selalu menentang mereka setiap saat, melawan mereka! Apa kau paham?"     

"Aku paham, boss."     

※※※     

Albertini merasakan sedikit bahaya. Dia menoleh ke belakang dan memandang para pemain dan fans AC Milan di tribun yang sedang merayakan gol itu.      

Gol itu sangat indah hingga mempengaruhi mood para rekan setimnya. Ini terlalu berbahaya untuk diabaikan. Dia adalah kapten tim, dan ban kapten bukan dikenakan hanya untuk terlihat keren. Dia harus melakukan sesuatu.      

Dia berteriak keras agar rekan-rekan setimnya terfokus ke arahnya. Dia harus mengatakan sesuatu.      

Semua orang berkumpul di dekatnya kecuali Wood, yang sedang dipanggil ke pinggir lapangan oleh manajer untuk dimarahi. Melihat ekspresi dan sikap boss, serta bagaimana dia tampak seperti meludahkan kata-katanya, itu jelas bukan kata-kata yang indah.      

Waktu sangatlah berharga, jadi Albertini tak lagi peduli dengan jabatan. Dia berlari untuk menyela kemarahan Twain pada Wood.      

"Maaf, chief. Apa kau keberatan kalau aku memanggil semuanya untuk berkumpul dan mengatakan sesuatu?" Dia bertanya sambil menarik Wood menjauh.      

Twain tidak keberatan. Bahkan, dia senang kalau Albertini mau melakukan itu. Apa tugas seorang kapten? Bisa dikatakan bahwa kapten adalah manajer tim di lapangan dan bisa membantu manajer dalam mencapai banyak hal yang tidak bisa dilakukan dari kursi pelatih di pinggir lapangan.      

Saat para pemain AC Milan masih merayakan, Albertini mengumpulkan rekan-rekan setimnya bersama-sama.      

"Itu hanya satu gol, guys. Kalian tidak perlu merasa tertekan, kita masih unggul satu gol dari mereka." Dia memandang sekilas ke arah para pemain AC Milan yang sedang merayakan dan kemudian melanjutkan, "ini adalah final Liga Champions. Tidak ada gelar juara yang bisa diperoleh dengan mudah tanpa mengalami hambatan dari lawan berulang kali. Dan lihat..." Dia menunjuk ke arah para pemain AC Milan.      

"Mereka hanya mencetak satu gol dan belum menyamakan kedudukan tapi mereka tampak sangat senang. Mereka adalah tim AC Milan, tim papan atas terkemuka di Italia. Tapi sekarang mereka merayakan seolah-olah mereka sudah memenangkan kejuaraan. Apa artinya itu? Itu menunjukkan kalau mereka takut pada kita. Hanya satu gol dan mereka sudah berperilaku seperti itu. Mereka merasa aman, tapi sebenarnya mereka masih tertinggal di belakang kita. Aku dulu juga pernah menjadi pemain AC Milan, aku kenal tim itu. Mereka tidak sekuat dan tak terkalahkan seperti yang kalian bayangkan. Mereka juga punya banyak kelemahan. Sebagai contoh, mereka tidak terlalu bagus dalam hal menyundul bola. Bayangkan tentang malam di Istanbul tahun 2005 saat Liverpool mencetak tiga gol dalam kurun waktu singkat dan mereka langsung panik."     

Beberapa dari kata-kata Albertini tidaklah benar, karena jujur saja, tidak ada tim yang bisa tetap tenang setelah kebobolan tiga gol dalam sepuluh menit. Dia mengatakan ini hanya untuk berusaha memulihkan kepercayaan diri para pemain Forest dan menenangkan pikiran mereka.      

"Jadi, kita masih punya peluang untuk mempertahankan keunggulan kita atas mereka. Aku bukan boss, tapi aku juga memainkan game football manager. Aku tahu tentang benak pikiran beberapa manajer. Kalau aku adalah boss, aku akan menggunakan para pemain penyerang dan meningkatkan serangan daripada terus bertahan. Apa kalian tahu kenapa?" tanpa menunggu jawaban dari para pemain lain, dia melanjutkan, "karena kalau kita tidak memperbesar selisih gol kita, situasi ini hanya akan memberikan harapan bagi lawan untuk menyamakan kedudukan atau bahkan membalikkan keadaan. Jenis harapan semacam ini tersembunyi di balik motivasi mereka. Mereka akan meluncurkan gelombang serangan ke gawang kita dan tekanan terhadap pertahanan kita akan meningkat. Itu jelas tidak akan menurun. Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan situasi ini dan itu adalah dengan mencetak lebih banyak gol. Kalau kita bisa mencetak satu gol lagi, mereka akan hancur!"     

Albertini mengepalkan tinjunya sambil mengatakan itu. Seolah-olah dia sudah lupa bahwa dia dulu juga seorang pemain AC Milan.      

Dia melirik musuh mereka dan melihat kalau para pemain AC Milan sudah selesai merayakan gol itu, jadi dia menepukkan tangannnya. "Ingat apa yang dikatakan boss sebelum pertandingan? Tak peduli situasi apapun yang kita hadapi, jangan menyerah. Ini bukan yang terburuk. Angkat dagu kalian. Kalau mereka mengira mereka bisa mengalahkan kita, kita akan tunjukkan kalau mereka salah!" Tak diragukan lagi, Albertini memiliki jejak bayangan Tony Twain di dalam dirinya. Bekerja sama dengan Twain selama tiga tahun telah mempengaruhi dirinya.      

Semua orang melakukan tos kelompok dan menyebar untuk kembali ke posisi masing-masing. Albertini menghentikan Wood karena dia harus mengatakan sesuatu pada rekan lini tengahnya tanpa didengar orang lain.      

"George, apa kau masih memikirkan tentang kebobolan gol tadi?"     

Wood tadinya menggelengkan kepalanya dan kemudian mengangguk.      

Albertini tersenyum. "Jangan pikirkan tentang itu. Sebagai seorang gelandang bertahan, akan ada banyak momen seperti itu. Kalau kau memikirkan tentang setiap gol, kau takkan bisa bermain dalam pertandingan. Kau mendengarnya, kan? Meski bos tidak membuat penyesuaian, kita harus menyerang sekarang. Kita tidak bisa menang hanya dengan bertahan."     

Wood terus mengangguk setuju.      

"Tapi aku sudah tak bisa lari lagi." Albertini merentangkan kedua tangannya dan tersenyum tanpa daya sambil mengatakan itu, "Pirlo terus berlari tanpa henti. Aku sudah mengeluarkan terlalu banyak tenaga, dia membuatku berlari berputar-putar. Kalau aku harus maju untuk menyerang, aku khawatir aku takkan bisa kembali dengan cepat."     

Wood tahu kalau hembusan nafas Albertini semakin tidak teratur jika dibandingkan dengan sebelum gol barusan. Jersey-nya hampir seluruhnya basah kuyup karena keringat. Dia akan berusia tiga puluh enam tahun di bulan Agustus, dan pertandingan yang berintensitas tinggi seperti final Liga Champions ini bukanlah pertandingan yang mudah baginya.      

"Jadi, aku perlu kau membantuku. Kita harus sedikit menyesuaikan posisi kita. Kau bisa condong sedikit ke depan dan aku akan berada di belakangmu. Kau akan bergerak maju kalau tim kita harus menyerang, dan aku akan berada di belakang untuk melindungimu. Kau masih muda dan punya stamina yang bagus. Karena kau juga bisa berlari cepat, kau bisa langsung mundur setelah ikut bergerak maju. Aku tidak bisa memikirkan kandidat yang lebih cocok untuk ini selain kau."     

Wood tidak langsung mengangguk ataupun menggelengkan kepalanya.      

Albertini melihat keraguannya dan tersenyum. "Aku tahu apa yang kaupikirkan. Kau tidak perlu ragu. Kau masih meragukan kemampuanmu dalam menyerang? Final ini adalah pertandingan terakhir dalam karirku sebelum aku pensiun dan kembali ke rumahku di Italia. Kau tidak bisa mengandalkan seseorang sepertiku untuk selalu ada disini. Kau perlu menyelesaikan masalahmu sendiri berulang kali di masa mendatang. Saat kau harus bergerak maju, maju saja dan jangan khawatir. Aku melindungimu." Dia berhenti bicara dan mendorong Wood dengan ringan sebelum berlari menjauh.      

※※※     

Kata-kata Albertini memang benar. Setelah berhasil mencetak gol, semangat AC Milan meningkat tajam dan mereka sangat antusias. Mereka meluncurkan serangan yang lebih sengit ke wilayah tim Forest. Dengan hanya selisih satu gol, AC Milan mulai memanas seperti layaknya ikan hiu yang mencium bau darah di laut dan kini mengejar Nottingham Forest tanpa henti.      

Twain menggunakan kuota pergantian pemain pertamanya tiga menit setelah mereka kebobolan gol. Dia memasukkan Gareth Bale, bek belakang yang lebih bagus dalam menyerang, untuk menggantikan Leighton Baines.      

Isyaratnya tidak bisa lebih jelas lagi – Twain ingin timnya menyerang.      

Para pemain Forest tak bisa menahan diri untuk tidak memandang kapten tim mereka, Albertini. Dia benar. Bos ingin menyerang.      

Lima menit kemudian, Twain menggunakan pergantian pemain kedua. Kali ini, dia memasukkan striker, Freddy Eastwood untuk menggantikan van der Vaart.      

Semua orang bisa memahami pergantian pemain yang pertama, tapi mereka bingung dengan pergantian pemain yang kedua – awalnya mereka mengira kalau Eastwood akan menggantikan Albertini yang fisiknya mulai lemah. Mereka tidak menduga kalau van der Vaart, yang tampil bagus, akan digantikan.      

Ancelotti diam-diam tersenyum melihat pergantian pemain itu. Dia merasa kalau Twain terlalu menghargai Albertini dan memilih untuk mempercayai pengalaman pemain veteran itu. Padahal Albertini jelas-jelas sudah tak bisa berlari lagi dan pengalamannya juga tak banyak berguna. Pirlo sudah berhasil melepaskan diri darinya dua kali berturut-turut dan mengirimkan umpan-umpan yang mengancam. Kalau bukan karena Wood yang menjaga Kaka dengan ketat, skornya takkan tetap 1:2.      

Kalau Twain sangat mempercayai pengalaman Albertini, maka Ancelotti tak keberatan membiarkan Twain merasa kecewa dengan itu.      

Dia berjalan ke pinggir lapangan dan mengisyaratkan agar Pirlo kembali menjadi inti penyusun serangan dan siapapun di dalam tim yang membawa bola harus mengopernya ke Pirlo sehingga itu akan benar-benar menyibukkan Albertini.      

Van der Vaart mengira kalau dia tidak tampil bagus dan tidak memberikan kontribusi terhadap serangan tim saat dia melangkah keluar lapangan. Karena itulah boss menggantinya. Dia sama sekali tidak mengira Twain akan mengambil inisiatif untuk memeluknya dan sambil tersenyum lebar memintanya menunggu di lapangan untuk merayakan kemenangan mereka.      

Eastwood berlari masuk ke dalam lapangan. Dengan hanya sedikit waktu untuk tampil, dia harus menghargai setiap detiknya.      

Dia tidak menyalahkan boss karena menjadikannya pemain cadangan di dua pertandingan final Liga Champions. Boss harus berpikir seperti boss dan pemain hanya perlu mendengarkan perintah. Kalau dia tidak diijinkan bermain, dia hanya akan menonton pertandingan dengan seksama dan menemukan sesuatu yang berguna untuk dirinya sendiri. Setelah dia diijinkan bermain, itu adalah saat yang tepat untuk menerapkan semua yang telah diperolehnya.      

※※※     

"Selalu ada orang yang mengatakan kalau Twain adalah manajer yang konservatif. Tapi disaat mereka masih unggul, bukannya memasukkan lebih banyak pemain bertahan untuk memperkuat pertahanan, dia justru memasukkan pemain penyerang untuk meningkatkan serangan. Apa ini masih bisa dianggap konservatif?" Komentator Inggris mulai memprotes atas nama Twain saat dia melihat dua pergantian pemain yang dilakukannya.      

Twain tidak peduli dengan pendapat orang lain tentangnya.      

Dia dan Albertini memiliki pemikiran yang sama. Memperkuat pertahanan tidak selalu harus diwujudkan dengan cara meningkatkan jumlah pemain bertahan. Dari sudut pandang lain, meningkatkan serangan juga akan membantu dalam mengurangi tekanan terhadap lini pertahanan mereka. Dia yakin AC Milan akan mundur untuk bertahan saat menghadapi serangan tim Forest. Tentu saja, kalau AC Milan masih ingin terus menyerang, itulah yang diinginkan Twain. Dengan begitu, akan ada banyak ruang kosong di belakang mereka. Mengingat mereka akan mengambil kesempatan itu, satu celah saja sudah cukup untuk menghancurkan lawan!     

※※※     

Pirlo tahu Albertini sudah kehabisan tenaga. Dia tidak harus melihat ke arahnya. Dia bisa tahu tentang itu hanya dengan mendengarkan – setiap kali Albertini berusaha menjaganya, dia merasa seperti ada hembusan nafas yang tak teratur di sekitarnya.      

Dia menekan lawannya dan mengoperkan bola ke Kaka.      

Kaka telah berhasil menerobos penjagaan Wood dan mencetak gol. Semangatnya sedang tinggi dan kondisinya juga sedang bagus. Tidak ada alasan untuk tidak mengoperkan bola ke arah pria itu.      

Saat Kaka berbalik untuk mencoba menerobos pertahanan Wood, Wood berhasil memblokir Kaka diluar area gawang. Pada saat pertarungan satu-lawan-satu ini terjadi, bola yang ditendang Kaka membentur tumit Wood dan berubah arah. Dua orang pemain berusaha mendapatkan bola ke arah yang salah, tapi di detik berikutnya, kedua pemain ini menendang bola di saat yang bersamaan.      

Wood berhasil menendang bola sebelum Kaka dan Kaka hanya berhasil menendang betis Wood.      

Kaka terkejut karena dia takut Wood akan jatuh dan wasit akan memberinya kartu kuning. Semua orang bisa melihat kalau tendangannya tadi bukanlah tendangan yang ringan...      

Wood akhirnya bangkit dari tanah dan kembali melakukan pertahanan untuk tim Forest.      

Bola kembali dioper ke kaki Kaka. Kali ini, Kaka tidak mencoba untuk menerobos secara langsung. Dia kembali mengoper bola ke Pirlo, yang berlari mendatanginya.      

Pirlo akan melakukan operan dua-lawan-satu dengan Kaka. Sebelum dia bisa menerima bola, Albertini melewatinya dan merebut bola. Tim Forest segera bergerak untuk meluncurkan serangan balik.      

Pirlo harus berbalik dan mundur untuk bertahan.      

Baru kali ini, umpan panjang Albertini kurang akurat dan titik jatuh bola direbut oleh Gattuso. Serangan cepat tim Forest gagal.      

Gattuso memberikan bolanya ke Pirlo. Setelah memulai sebuah serangan, Albertini tidak segera bertahan. Pirlo menemukan peluang untuk memberikan umpan lurus dan tajam.      

Kaka tiba-tiba saja bergerak, dia ingin menggunakan kecepatannya untuk menerobos pertahanan Wood.      

Wood sudah belajar dari pengalamannya saat tadi timnya kebobolan gol. Pemain bertahan tidak berhak melakukan kesalahan. Satu kesalahan saja sudah cukup. Wood tidak ingin melakukan kesalahan kedua. Kali ini dia menunggu untuk menyekop bola yang masih belum dikuasai sepenuhnya oleh Kaka. Dia berlari di depan Kaka yang baru akan mempercepat lajunya dan segera merebut bola. Kaka tidak bisa berhenti tepat waktu dan menabraknya. Kaka terjatuh tapi wasit tidak membunyikan peluitnya yang menandakan pelanggaran.      

Para fans AC Milan tentu saja langsung mencemooh, sementara para fans Forest bersorak dengan keras dan bertepuk tangan melihat gaya bertahan Wood.      

Serangan AC Milan masih belum selesai. Kalau Kaka tidak bisa melakukannya, Pirlo akan melakukannya.      

Para pemain AC Milan melihat kondisi fisik Albertini mulai menurun dan mereka mulai memberikan bola ke Pirlo.      

Pirlo menerima bola dan melepaskan diri dari Albertini. Dia mengamati situasi di lapangan. Dia tidak seputus asa sepuluh menit yang lalu. "Hembusan nafas tak teratur" di belakangnya masih berjarak cukup jauh darinya.      

Sekarang dia bisa mengamati situasi di lapangan dengan seksama dan memutuskan bagaimana dan kemana dia bisa mengoper bola.      

Karena kebiasaan, mula-mula dia memandang ke arah Kaka.      

Tidak ada siapapun di sekitar Kaka!     

Dimana pemain nomer 13 tim Forest, yang biasanya selalu tak terpisahkan dari pria Brasil itu?     

Hembusan angin tanpa suara muncul disampingnya. Saat Pirlo merasakan bahaya, dia sudah siap mengoper bola ke Kaka, tapi dia hanya menendang udara kosong...      

George Wood telah menyodok bola Pirlo dan mengopernya ke Albertini, yang berlari ke belakang.      

Wood tidak tahu berapa banyak yang bisa dicapainya dalam serangan tim di masa depan, dan dia juga tidak tahu apakah dia akan bisa benar-benar bagus dalam bertahan dan menyerang seperti si "Metronom", Demetrio Albertini. Tapi, suka tidak suka, dia harus mengakui satu hal – Albertini akan meninggalkan tim setelah pertandingan ini berakhir. Demetrio sudah mengatakan padanya: Aku tidak bisa lari lagi. Aku takut aku tidak bisa kembali ke posisi setelah aku bergerak maju, jadi kaulah yang harus bergerak maju, George.      

Wood menjawabnya: kau tidak perlu kembali ke belakang. Kau hanya perlu bergerak maju dan menunggu di depan. Aku akan merebut bolanya untukmu dan aku akan mengopernya padamu. Kau akan bertanggungjawab untuk menyusun serangan. Van der Vaart sudah digantikan. Serangan kita hanya bisa diorganisir olehmu.      

Serangan Forest kembali diblokir. Maldini memberikan umpan panjang ke lini depan. Wood bersaing untuk mendapatkan bola atas dengan Kaka dan Seedorf dan berhasil melakukannya. Dia menahan kedua lawannya itu dan menyundul bola ke arah Albertini.      

Saat Albertini pertama kali datang ke tim Forest, Twain mengatakan pada Wood bahwa dia adalah partner lini tengahnya dan juga gurunya. Dia ingin agar Wood belajar banyak hal dari Albertini.      

Misi Wood di lapangan adalah menjadi pengawal Albertini dan membiarkan metronom dari Italia itu menyerang tanpa perlu merasa khawatir. Sejak kapan Albertini perlu menjadi pengawal untuk Wood?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.