Mahakarya Sang Pemenang

Pengundian Terbaik yang Pernah Ada



Pengundian Terbaik yang Pernah Ada

0Markas besar Federation Internationale de Football Association berada di Zurich, ibukota Swiss, sementara markas besar Union of European Football Association berada di kota kecil Nyon di Swiss. Saat ini, banyak manajer sepakbola terbaik dari seluruh dataran Eropa sudah berkumpul disana.      
0

Upacara pengundian untuk babak 16 besar Liga Champions musim ini akan diselenggarakan disana, dimana media berkerumun dengan antusias dan menunggu dengan penuh ketegangan untuk setiap pertandingan yang akan diumumkan.      

Upacara pengundian itu akan diadakan di sore hari. Banyak mobil mewah berhenti berturut-turut di pintu masuk hotel tempat upacara pengundian itu digelar. Para reporter yang menunggu di pintu masuk hotel mulai sibuk, saat orang-orang yang mereka tunggu mulai muncul.      

Seolah-olah para manajer itu sudah mengaturnya sebelum ini. Mereka yang sudah datang lebih dulu adalah para manajer dari tim-tim yang tidak terlalu kuat. Tidak ada satupun dari manajer tim papan atas yang sudah tiba.      

Orang-orang itu biasanya datang di menit-menit terakhir.      

Orang pertama yang muncul di depan media adalah manajer Manchester United, Alex Ferguson. Dia memberikan wawancara singkat setelah dia melangkah turun dari mobil. Kedatangannya membuat para reporter yang sudah lama menunggu kembali sibuk – semua orang masih ingin melihat kedatangan manajer besar itu.     

Saat Ferguson sedang diwawancara, sebuah mobil Audi putih berhenti di pintu masuk hotel di belakangnya dan melangkah keluar dari dalam mobil itu adalah musuh lamanya, Arsene Wenger.      

Wenger berjalan melewati Ferguson seolah dia tidak melihatnya. Saat para reporter melihat manajer Arsenal sudah datang, separuh dari mereka segera berusaha mendekati Wenger, yang melangkah pergi. Dia berjalan agak jauh dari Ferguson sebelum kemudian berhenti untuk menerima wawancara.      

Datang untuk meliput acara undian ini, mata Tang Jing berbinar saat dia melihat adegan ini. Perseteruan antara dua manajer Liga Utama Inggris ini seringkali jauh lebih menarik daripada gosip para pemain bintang. Di liga-liga negara lain, dimana manajer mungkin tidak terlalu terekspos media, perseteruan selama satu dekade antara Wenger dan Ferguson adalah sesuatu yang tak terbayangkan.      

Setelah Ferguson dan Wenger, manajer besar lain mulai bermunculan satu per satu.      

Manajer Bayern Munich, Ottmar Hitzfeld, manajer Inter Milan, Roberto Mancini, manajer Real Madrid, Fabio Capello....      

Kedatangan tiap manajer menyebabkan hiruk pikuk aktivitas dan keriuhan diantara kalangan pers.      

Twain dan Dunn duduk di sebuah sedan merah gelap yang disiapkan oleh UEFA dan berbincang dengan santai. Dia memperhatikan kalau mobil mulai melambat, jadi dia menjulurkan kepalanya untuk melihat keluar. Dia kembali memandang Dunn dan berkata, sambil tersenyum, "kurasa kita hampir tiba disana."     

"Ini sangat ramai," kata Dunn sambil melihat semua mobil yang diparkir di tepi jalan.      

"Ini benar-benar ramai dengan semua kegaduhan dan kegembiraan," Twain tertawa. Saat sekelompok besar orang dengan berbagai jenis permusuhan berkumpul bersama, akan sangat mengejutkan kalau acara itu tidak ramai.      

Tepat saat Twain dan Dunn bisa melihat dengan jelas para reporter di dekat pintu masuk hotel, mobilnya berhenti. Sopirnya memandang ke belakang dan berkata, "Kita sudah tiba, tuan-tuan."     

"Terima kasih," Dunn baru membuka pintu untuk melangkah keluar, tapi dia segera ditarik kembali oleh Twain.      

"Tunggu sebentar." Dia menunjuk keluar.      

Dunn memandang melalui jendela mobil dan melihat kalau pria yang turun dari mobil di depan mereka adalah manajer Chelsea, Jose Mourinho.      

Oh, Dunn baru sadar.      

Mourinho tampaknya sangat populer. Setelah dia melangkah turun dari mobil, lampu blitz kamera tak henti-hentinya menyala. Para reporter berkerumun di sekelilingnya dan banyak sekali mikrofon yang diarahkan padanya. Dia berdiri sambil tersenyum di tengah kerumunan dan tampak gembira. Beberapa media Inggris menyatakan bahwa Mourinho termasuk salah satu yang paling ramah diantara para manajer dan kelihatannya itu bukan pujian tak berdasar.      

Karena wawancara Mourinho masih belum selesai dan Twain juga tidak terburu-buru untuk melangkah turun, dia masih tetap duduk di dalam mobil dan mengamati Mourinho dengan penuh perhatian dari dalam mobil.      

Sopir mobil menganggapnya sedikit aneh saat kedua pria itu tidak melangkah turun dari dalam mobil, jadi dia menoleh beberapa kali untuk mengingatkan mereka berdua, tapi Twain berpura-pura tidak melihatnya. Dunn tahu apa yang hendak dikatakan oleh sopir itu, tapi Twain masih belum mau melangkah keluar, jadi dia harus berpura-pura tidak melihat tindakan sopir itu.      

Hal ini terjadi selama dua menit penuh sebelum akhirnya para reporter tertarik pada Mercedes merah gelap itu, yang berhenti di depan pintu masuk hotel tanpa aktivitas apapun. Jendela mobil itu dilapisi kaca film jadi tidak ada yang bisa melihat ke dalam dari luar, tapi siapapun yang berada di dalam bisa melihat keluar dengan jelas.      

Seseorang meninggalkan Mourinho dan mengalihkan perhatian ke sisi ini. Selain itu, mobil yang diparkir di belakang mobil ini mulai menekan tombol klakson dengan tidak sabar, yang menarik perhatian hampir semua orang. Bahkan Mourinho, yang sedang menjawab pertanyaan wawancara, juga ikut menoleh.      

Di dalam mobil, Twain mengambil kacamata hitam dari dalam saku kemeja dan memakainya. Dia menoleh ke arah Dunn dengan senyum licik. "Sudah waktunya bagi kita untuk masuk, Dunn."     

Setelah itu, dia mendahului dan membuka pintu mobil lalu melangkah turun.      

Dunn mengikuti tanpa daya di belakangnya. Dia tahu apa yang ada di pikiran Twain. Kalau itu adalah dirinya, dia tidak akan pernah melakukan hal semacam ini untuk mencuri perhatian.      

Segera setelah Twain menunjukkan wajahnya, tidak ada yang terkejut melihat kelakuan aneh mobil itu.      

Mungkin pikiran pertama semua orang hanyalah, oh ternyata orang itu!     

Twain tersenyum lebar. Dia melambaikan tangan kepada banyak media disana dan berkata, "Hey, selamat sore, semua."     

Semua reporter memutar mata mereka.      

Disaat para reporter masih agak kaget, Tang Jing mendesak maju di dalam kerumunan agar bisa berada di depan Twain. "Kita bertemu lagi, Tn. Twain." Dia menyapanya dengan bahasa Mandarin, dan Twain juga menjawabnya dalam bahasa Mandarin.      

"Aku tidak menduga akan melihatmu disini, Nn. Tang."     

Para reporter di sekeliling mereka mendengarkan percakapan berbahasa Mandarin itu dengan bingung. Tang Jing segera beralih menggunakan bahasa Inggris dan melontarkan pertanyaannya. "Apa yang Anda antisipasi dari pengundian ini, Tn. Twain?"     

Pertanyaan ini tepat sama seperti yang ingin diajukan oleh para reporter lainnya. Setelah mereka mendengar seseorang mengajukan pertanyaan itu, banyak mikrofon, pena perekam dan ponsel disorongkan ke depan wajah Twain.      

Twain berdehem dan membuka mulutnya untuk menjawab.      

Saat Twain melangkah turun dari dalam mobil, mobil Mercedes yang tadi dinaikinya segera menuju ke tempat parkir. Mobil yang ada di belakangnya segera menepi dan berhenti di belakang Twain. Pintu mobil terbuka dan seorang pria dalam setelan gelap dengan rambut ikal melangkah turun.      

Seseorang di antara para reporter langsung tertawa. Dia bukan menertawakan gaya rambut pria itu, karena itu masih cukup umum, melainkan menertawakan kebetulan yang terjadi malam ini.      

Mourinho masih berbicara kepada beberapa media Portugis di bagian depan karena kebanyakan reporter lain berkerumun ke sekeliling Tony Twain saat dia muncul, siap untuk mendengarkan kata-kata menakjubkan yang terlontar keluar dari dalam mulutnya. Lalu saat Twain baru akan membuka mulutnya dan berbicara, Rijkaard muncul di belakangnya.      

Tiga musuh...      

Twain teralihkan sejenak oleh kemunculan Rijkaard, tapi dia segera memfokuskan perhatiannya untuk menjawab pertanyaan para reporter. Kali ini, dia sedikit meninggikan suaranya. "Apa yang kuantisipasi dalam pengundian ini? Ah, aku ingin sekali bertemu dengan 'teman lama'". Saat dia mengatakan itu, dia memandang Rijkaard yang sedang menaiki tangga dan mengulurkan tangan ke arahnya sambil tersenyum. "Halo, Tn. Rijkaard."     

Rijkaard tadinya ingin mengabaikan Twain dan langsung berjalan lurus. Tapi sekarang, setelah Twain mengulurkan tangan ke arahnya, tidak akan terlihat bagus kalau dia tidak menyambut uluran tangan itu. Dia harus tersenyum dan menjabat tangan Twain sejenak sebelum kemudian melepaskannya.     

"Halo, Tn. Twain."     

Rijkaard ingin langsung pergi setelah mengatakan itu, tapi dia dihentikan oleh Twain. "Tn. Rijkaard, apa yang Anda harapkan dari pengundian ini?"     

Rijkaard sama sekali tidak mengira kalau Twain akan mengajukan pertanyaan semacam itu. Dia membeku sejenak sebelum kemudian menjawab, "tidak ada yang bisa diharapkan. Hasilnya tidak akan bisa diubah. Kita hanya harus bertanding. Tidak jadi masalah siapa yang akan menjadi lawan."     

"Bagus sekali, Tn. Rijkaard. Kurasa juga begitu. Tidak jadi masalah siapa lawannya." Sambil mengatakan itu, Twain membuka jalan diantara para reporter dan melangkah masuk ke hotel dengan senyum lebar. Dia tidak lagi menjawab pertanyaan.      

Saat dia melangkah melewati Mourinho, orang Portugis itu, yang sudah menyelesaikan wawancaranya, tampaknya sedang menunggunya. "Kau cukup percaya diri," katanya dengan suara rendah. "Apa kau tidak takut dengan apa yang diam-diam disiapkan UEFA? Kau sudah mempermalukan UEFA musim lalu. Pikirkan tentang Chelsea, eh?"     

Twain menoleh untuk memandang Mourinho dan tertawa. "Tiba-tiba saja aku ingin UEFA melakukan sesuatu sekarang."     

Twain tertawa sambil melangkah pergi.      

※※※     

Twain meninggalkan tempat dengan penuh percaya diri, tapi Dunn masih tertahan oleh para reporter.      

Orang yang menahan Dunn adalah Tang Jing. Dia harus membuat asisten manajer Cina itu menerima wawancaranya untuk membahas pendapatnya tentang berpartisipasi dalam upacara pengundian Liga Champions UEFA ini.      

Setelah setengah musim, media juga sudah mulai bisa menerima asisten manajer Cina ini, yang bekerjasama dengan selaras bersama Twain. Karena itu, saat media lain melihatnya tertahan oleh Tang Jing dan menjawab pertanyaannya, mereka ikut berkumpul. Dunn ingin meminta Twain untuk membawanya pergi, tapi kelihatannya Twain benar-benar lupa kalau ada orang lain yang datang bersamanya dan langsung masuk ke dalam hotel.      

"Jangan mencarinya, Pelatih Dunn." Tang Jing tersenyum puas pada dirinya sendiri. Dengan gesit, dia telah berhasil membuat orang ini tetap tinggal. "Bisakah Anda menjawab pertanyaanku?" Dia merasa kalau Dunn yang pendiam di hadapannya ini lebih mudah untuk disukai dibandingkan dengan pria yang satunya, karena dia tidak perlu susah payah membuatnya angkat bicara. Saat dia berhadapan dengan Twain, dia harus memikirkan tentang mana yang benar atau salah dari setiap kata yang keluar dari mulutnya.      

"Setelah babak final Liga Champions musim lalu, manajer Twain mempermalukan UEFA." Tang Jing mengulangi dalam bahasa Inggris jadi para reporter di sekelilingnya bisa memahami pertanyaannya. "Sebagai seorang asisten manajer untuk tim tersebut, apakah Anda merasa cemas dengan apa yang mungkin telah disiapkan oleh UEFA dalam upacara pengundian ini?"     

Dunn tahu kalau dia tidak bisa mengelak hari ini, jadi dia hanya berkata, "Aku tidak tahu. Tapi kami beruntung dalam pengundian untuk babak penyisihan grup."     

"Tapi sekarang akan ada pengundian yang baru." Tang Jing mengingatkannya bahwa itu terjadi di masa lalu dan saat ini tidak ada hal yang pasti.      

"Karena itulah aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa-apa tentang hal yang belum terjadi."     

Tang Jing mengerutkan bibirnya. Jawaban barusan membuatnya sekilas mengira kalau dia lebih suka Tony Twain-lah yang berdiri di hadapannya.      

"Kalau begitu, bisakah kau membuat prediksi? Atau mungkin kau punya tim yang ingin kau pertemukan dengan tim Forest di babak 16 besar?" Dia harus bertanya dalam cara yang berbeda.      

"Tim yang manapun akan sama saja." Terpaksa menghadapi ini atas nama Twain, Dunn memilih taktik perlawanan pasif. Dia selalu menjauhkan orang-orang dengan jawaban yang paling singkat saat dihadapkan dengan pertanyaan semacam ini.      

"Pelatih Dunn, jangan katakan padaku kalau kau tidak punya tim yang ingin kau pertemukan dengan tim Forest, atau mungkin ada tim yang ingin kau hindari?"     

"Tidak," Dunn menjawabnya dengan jelas dan ringkas. Rasanya Tang Jing sudah mulai menggelegak karena marah.      

"Apa begini caranya Twain mengajarimu berurusan dengan media?" Dia tiba-tiba saja beralih menggunakan bahasa Mandarin sambil mengerutkan kening. Para reporter di sekeliling mereka kembali tampak bingung.      

Dunn membeku sesaat dan kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak."     

"Jadi, kau belajar dari Twain, benar kan? Ada banyak sekali hal yang bisa dipelajari, kenapa kau harus belajar darinya? Oh, ya Tuhan. Satu Twain sudah cukup. Aku tidak mau satu lagi. Tolong, Tn. Dunn. Aku tidak bisa menulis artikel kalau kau melakukan ini. Aku tidak bisa menulis kalau orang yang kuwawancara hanya menjawab 'aku tidak tahu' di setiap pertanyaan yang kuajukan, kan?"     

Melihat ekspresi Tang Jing yang memohon, Dunn tampak ragu dan kemudian berkata, "Aku benar-benar tidak punya pemikiran apa-apa tentang ini. Tim manapun yang akan menjadi lawan kami, kami hanya akan mengambil profilnya – kami sudah menyiapkan laporan untuk semua lima belas tim sebelum pengundian ini. Itulah sebabnya kenapa aku mengatakan itu. Aku tidak berusaha untuk menyesatkanmu, Nn. Tang. Itulah yang sebenarnya."     

Meski Dunn berbicara dengan tulus, hal itu tidak bisa memuaskan Tang Jing. Jawaban semacam itu tidak akan bisa memuaskan rasa penasaran para pembaca. Dia memandang Dunn dengan tatapan sedih.      

Dunn terdiam sejenak sebelum akhirnya dia menghela nafas panjang. "Baiklah.. Tony tidak mengatakan apa-apa padaku, tapi kupikir... kurasa, dia pasti ingin bertemu dengan tim yang pernah kami hadapi sebelumnya."     

Inilah jawaban yang diinginkan oleh Tang Jing. Dia kembali bersemangat dan mengubah ekspresi di wajahnya. Dia mengejarnya dan bertanya, "Kenapa kau mengatakan itu? Apa itu karena kau sudah mengenal mereka dengan cukup baik dan karenanya kau punya pengetahuan lebih tentang mereka?"     

Dunn menggelengkan kepalanya, "Tidak. Tim yang pernah kami kalahkan sebelumnya, dia ingin terus menang dari mereka. Tim yang belum pernah kami lawan, dia ingin... balas dendam."     

Tang Jing tiba-tiba saja memahaminya dan dia tersenyum manis pada Dunn. "Terima kasih banyak, Tn. Dunn. Oh, ini akan jadi berita eksklusif dariku."     

Mereka telah bercakap-cakap dalam bahasa ibu mereka. Di sekeliling mereka, para reporter yang lain tidak memahami percakapan bahasa Mandarin.      

"Kau tidak boleh mengatakan ini pada orang lain." Tang Jing memunggunggi reporter yang lain dan berkedip ke arah Dunn.      

Dunn mengangguk dengan patuh dan kemudian memandang Tang Jing. "Apa aku boleh pergi sekarang, Nn. Tang?"     

Mendengar ini, Tang Jing tertawa geli. "Aku tidak menahanmu disini. Kenapa kau bertanya padaku?"     

"Err..." Dunn juga baru sadar kalau dia tidak seharusnya mengatakan itu. "Kalau begitu... aku pergi."     

Dunn berjuang untuk keluar dari kerumunan orang itu dan berusaha menyusul Twain. Para reporter mulai melontarkan beragam jenis pertanyaan ke arah Dunn, tapi dia terus berjalan tanpa mengatakan apa-apa lagi – ini adalah hal yang bisa dilakukannya dengan baik.      

Di belakangnya, Tang Jing melihat sosoknya bahunya yang sedikit membungkuk dan tiba-tiba saja teringat sebuah buku teks di jaman sekolah menengahnya dulu: The Man in the Case.      

Ada media di Cina yang saat ini mengatakan bahwa Dunn adalah seorang pahlawan desa dan seorang pelatih berbakat di dunia sepakbola yang berhasil pergi keluar negeri. Tapi apa ada orang yang tahu tentang peristiwa yang terjadi dibalik itu semua?     

Dia pernah meneliti pengalaman Dunn sebelum ini, dan orang-orang di sekeliling Dunn mengatakan kalau dia bukan orang yang mudah diajak bergaul. Dia adalah orang yang tertutup dan sulit untuk disukai. Di sekolah menengah, semua anak laki-laki akan bermain sepakbola. Tapi karena dia tidak bisa bermain bola dengan baik dan hanya punya sedikit teman, dia akan ditinggalkan untuk menonton anak-anak yang lain bermain bola di pinggir lapangan.      

Tang Jing tidak tahu tentang situasi spesifik yang ada saat itu, tapi dia bisa membuat hubungan asosiatif dan membayangkan bagaimana Dunn saat itu. Dia mungkin akan menyegel dirinya ke dalam sebuah koper hitam dan menggunakan keheningan dalam menghadapi seluruh dunia.      

Sebuah perasaan istimewa tiba-tiba saja mekar di hatinya.      

※※※     

Tidak ada banyak orang di dalam aula tempat upacara pengundian saat Dunn membuka pintunya, jadi cukup mudah baginya untuk menemukan Twain, yang sedang berbincang dengan orang-orang lain. Dia segera menghampiri dan kemudian berdiri tanpa suara di belakangnya.      

Pria yang sedang berbincang dengan Twain adalah manajer Arsenal, Arsene Wenger. Dia melihat Dunn berdiri di belakang Twain dan terlihat hendak mengatakan sesuatu yang tidak bisa dikatakannya di depan orang lain. Twain kelihatannya tidak sadar kalau ada seseorang yang sedang berdiri di belakangnya, jadi dia tampak bingung saat Wenger menemukan alasan untuk mengakhiri percakapan mereka dan melangkah pergi.      

"Tony..." Dunn membuka mulutnya saat dia melihat Wenger pergi.      

"Bagaimana rasanya?" tanya Twain tanpa menoleh.      

"Apa?" Dunn tidak paham apa yang ditanyakan Twain.      

"Apa yang ditanyakan oleh reporter wanita itu?"     

"Dia mengajukan pertanyaan yang ingin diajukannya padamu." Dunn merasa sedikit kesal.      

Twain tersenyum. "Sorry, aku menggunakanmu sebagai perisai."     

Dunn tidak meneruskan topik ini. Sebagai gantinya, dia bertanya, "Aku ingin tahu pemikiranmu juga, Tony. Hasil apa yang kauinginkan dari pengundian ini?"     

"Aku jelas menginginkan lawan yang lemah... semakin lemah semakin bagus," cibir Twain.      

"Kurasa akan sulit bagi UEFA untuk mengabulkan keinginanmu."     

Twain menoleh dan memandang ke arah panggung dimana staff masih sibuk menyelesaikan persiapan mereka. Para pejabat UEFA akan ada disini untuk mengambil bola bundar dari kotak kaca bening dan membukanya di hadapan semua orang untuk membuktikan hasil pengundian memang adil.      

Di belakang panggung terdapat sebuah layar televisi besar yang berulang kali menunjukkan beberapa highlight dari babak penyisihan grup Liga Champions. UEFA dan logo delapan bintang yang menyimbolkan Liga Champions terlihat di sekeliling meja.      

"Dunn, hasil pengundian ini bukanlah sesuatu yang bisa kita kontrol. Kenapa kau memikirkan tentang apa yang belum terjadi? Tim yang diundi akan menjadi tim yang kita lawan. Jangan katakan padaku kalau kau masih cemas kita akan mendapat tim kuat dan tereliminasi lebih awal?"     

"Aku tidak cemas."     

"Kalau begitu kenapa? Tak peduli tim mana yang kita peroleh, kita tidak takut. Kita akan menghadapi siapapun yang berdiri menghalangi tujuan kita. Kalau UEFA ingin cari gara-gara dengan kita, aku akan memenuhi tantangan mereka!"     

※※※     

Satu jam kemudian di Nottingham, Inggris.      

Eastwood menghubungi masing-masing rekan setimnya dan berkata, "Hey, guys, nyalakan televisimu! Tonton TV-nya! Mereka akan mengundi tim sekarang! Apa? Kalian semua menonton... Well, kalau begitu aku tidak perlu mengulangi, tonton teve-nya!"     

Dia melemparkan ponselnya dan menggenggam tangannya di bawah dagu. Dia menahan napas saat dia menatap layar televisi.      

Semua orang di tim Forest tetap tinggal di rumah untuk menonton siaran langsung upacara pengundian. Ada banyak sekali fans Nottingham Forest melakukan hal yang sama seperti mereka.      

Pub Kenny Burns penuh sesak dengan banyak orang. Semuanya memegang gelas bir sambil mendongak memandang televisi, menantikan hasil pengundian.      

Nottingham Forest sudah dipilih, tapi lawan mereka masih belum ditentukan.      

Siaran televisi menunjukkan gambar Twain dari jarak dekat. Dia sedang menatap tajam ke arah panggung, tapi ada senyum samar di sudut mulutnya.      

Si sopir taksi, Landy James, saat ini berharap lampu lalu lintas di persimpangan jalan di depannya mengalami kerusakan dan tetap berwarna merah. Suara penyiar bisa didengar di radio mobil yang mengumumkan situasi pengundian terkini kepada para pendengarnya.      

"Lawan Real Madrid adalah Bayern Munich. Musuh lawas di kancah sepakbola Eropa ini akan saling berhadapan untuk yang keempat kalinya dalam tujuh tahun terakhir. Inter Milan akan melawan Valencia. Kedua tim ini saling berhadapan untuk yang keempat kalinya dalam enam tahun terakhir...."     

Landy memandang ke depan, tapi matanya tidak fokus. Jarinya mengetuk lembut setir mobil. Mobil-mobil di belakangnya membunyikan klakson, tapi dia tidak menyadarinya.      

※※※     

Hampir separuh dari semua tim sudah diundi, dan ketegangan sudah mulai berkurang. Twain memandang Dunn, yang duduk disampingnya dan melihat kalau dia sama sekali tidak terlihat gugup. Dia hanya melihat ke arah orang-orang di panggung dengan konsentrasi yang sama. Twain tersenyum dan kembali mengalihkan perhatiannya ke upacara pengundian.      

"Tim yang akan dipilih selanjutnya... lawan Nottingham Forest di babak 16 besar." Tuan rumah mengumumkan. Pejabat nomer dua di UEFA, Michel Platini, berjalan ke arah kotak kaca dan memasukkan tangannya ke dalam kotak yang hanya menyisakan sedikit bola.      

Setengah penduduk Nottingham menahan nafas mereka.      

Jari-jari Landy James sudah berhenti mengetuk tapi kini menggantung di udara. Seorang polisi mengetuk jendela kaca mobilnya dari luar, tapi dia tampak seperti dilumpuhkan oleh iblis. Dia benar-benar tidak mendengar apa yang terjadi di dunia luar.      

Eastwood duduk di sofa dengan tubuh condong ke depan. Dia terlihat siap akan bangkit kapan saja sambil bergumam pada dirinya sendiri.      

Kenny Burns berhenti mengelap gelas-gelas dan menonton televisi seperti halnya orang lain. Bar yang penuh sesak itu hening kecuali suara yang terdengar dari televisi.      

Platini memutar bola-bola selama sesaat dan kemudian mengambil sebuah bola. Dia mengeluarkannya dan membukanya dengan kepala tertunduk. Dia mengeluarkan sebuah kertas terlipat, lalu membuka dan membacanya. Siaran televisi mengambil gambar jarak dekat Platini. Wajah pria Prancis itu tanpa ekspresi. Jawabannya tidak bisa diprediksikan dari wajahnya.      

Dia tersenyum sambil membalikkan catatan itu ke arah banyak manajer di bawah panggung. Dia menghadap ke arah kamera dan para pemirsa di depan televisi.      

Dia mengumumkan nama yang tercantum di catatan itu dengan jelas:     

"Barcelona."     

※※※     

"Barcelona."     

Landy tiba-tiba saja menekan tombol klaksonnya.      

Eastwood mengepalkan tangannya dan melompat bangkit dari sofa. Pemain dan pelatih tim Forest lainnya juga melompat. Bahkan para pekerja di lapangan latihan juga melompat.      

Bar Forest yang tadinya hening tiba-tiba dipenuhi sorakan.      

"Bagus sekali, orang Prancis!"     

"Bersulang! Bersulang untuk hasil undian yang bagus ini!"     

"Wooohooo! Ini hasil terbaik yang pernah kulihat!"     

Di layar televisi, Twain tampak mengepalkan tangannya dan mengangkat kedua tinjunya sambil bangkit dari kursinya untuk berputar di tempat seolah dia adalah jenderal yang memperoleh kemenangan. Gayanya yang sok pamer kembali menjadi pusat perhatian di lokasi itu. Terjadi keributan di aula dimana suara suitan, tepuk tangan, tawa dan obrolan saling bercampur. Semua media mengarahkan kamera mereka pada pria yang menyebabkan keributan itu.      

Rijkaard berada tidak jauh dari kursi Twain, hanya terpisah empat kursi. Twain menurunkan lengannya dan berjalan menghampiri, tanpa diduga mengambil tangan Rijkaard dan menjabatnya.      

"Tn. Rijkaard, kita bertemu lagi!" dia tersenyum lebar dan membuat Rijkaard tampak bingung.      

Meski upacara pengundian masih belum berakhir, acara itu mulai kacau dan seramai pasar tradisional. Para ofisial UEFA di panggung tidak menunjukkan pikiran mereka dan berusaha mempertahankan senyum sopan di wajah mereka sambil memandang sosok yang menjadi tokoh utama keributan itu.      

Sementara itu, setengah penduduk Nottingham meraung penuh kegilaan. "Barcelona, kami kembali lagi! Apa kalian sudah siap?!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.