Mahakarya Sang Pemenang

Turnamen Bagian 1



Turnamen Bagian 1

0Dengan tiga gol berturut-turut dalam tiga pertandingan, penampilan Anelka menarik perhatian media. Meskipun media tidak senang dengan dua kakak lelaki Anelka, mereka tidak bisa mengabaikan penampilan Anelka. Kembalinya anak yang royal itu adalah topik terbaik untuk Liga Utama musim ini.     
0

Sebagai akibatnya, jumlah reporter di lapangan latihan tim Forest semakin bertambah banyak. Lalat-lalat yang berdengung itu sudah kembali.     

Melihat para wartawan yang mengganggu Anelka, Twain tiba-tiba merasa bahwa kedua kakak lelaki Anelka telah melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Harga empat puluh ribu pound per wawancara benar-benar bisa menakuti banyak orang. Dia menggosok dagunya dan bertanya-tanya apakah dia harus mematok harga seratus ribu pound untuk membuat hidupnya lebih tenang. Sejalan dengan kemenangan tim Forest, ada semakin banyak orang yang ingin menemui dan mewawancarai Twain.     

Twain tidak akan menolak wawancara media, tapi dia tidak bisa terima kalau mereka pergi ke rumahnya dan memblokir pintu rumahnya.     

Itulah yang terjadi pada Anelka, dan Twain tidak terlalu khawatir tentang hal itu. Striker Prancis itu adalah seseorang yang sudah menjadi pemain sepakbola profesional selama bertahun-tahun. Beberapa hal sudah tampak jelas di benaknya.     

Bagaimanapun juga, dia telah menyatakan sikapnya dengan jelas —— Karena sekarang kau berada di timku, kau harus melakukan pekerjaanmu dengan baik. Kalau kau melakukannya dengan baik, akan ada banyak uang untuk diambil. Tapi kalau kau tidak ingin bekerja dengan baik dan ingin pergi dari sini, aku tidak akan memaksamu tetap tinggal disini.     

Apa yang sebenarnya dia katakan pada Anelka hari itu adalah, Entah kau mau tinggal atau pergi, aku tidak peduli.     

Anelka berbeda dari pemain lainnya. Twain tidak membutuhkan Anelka untuk setia padanya karena Anelka tidak pernah menjadi bagian dari rencananya. Dia tidak meminta Anelka untuk menyukainya. Dia hanya membutuhkan Anelka untuk mencetak gol baginya.     

Hal yang lebih membuatnya khawatir adalah seseorang yang lain.     

※※※     

George Wood sedang menghadapi masalah yang paling penting dalam sembilan belas tahun hidupnya.     

Dia merasa bahwa dia seharusnya sedikit berbeda sekarang daripada dulu, baik itu di saat latihan, di ruang ganti, dan di dalam pertandingan ... Dia seharusnya melakukan beberapa hal yang tidak pernah dilakukannya atau tidak pernah diperhatikannya sebelum ini.     

Tapi dia tidak tahu bagaimana dia bisa melakukannya.     

Karena dia adalah kapten tim. Meskipun dia hanya pengganti, dia masih kapten.     

Dia perlu berperilaku berbeda dari sebelumnya karena sekarang dia memakai ban kapten.     

Sebenarnya, memintanya melakukan ini adalah hal yang cukup sulit baginya.     

Saat Albertini masih ada, dia bisa membuat rekan satu timnya merasakan kehadirannya sebagai kapten, baik itu selama pelatihan, di ruang ganti, ataupun di lapangan pertandingan.     

George Wood tidak memiliki kemampuan itu. Seringkali, semua orang tidak merasa kalau mereka memiliki seorang kapten di samping mereka selama latihan, di ruang ganti, ataupun di dalam pertandingan.     

Meskipun tidak ada yang mengeluh secara terbuka tentang hal itu, Twain bisa melihat beberapa tanda-tandanya; dia yakin Wood juga bisa melihatnya. Dia bukan idiot.     

Twain merasa bahwa dia harus turun tangan untuk membantu dalam masalah ini. Karena dia telah menyerahkan ban kapten itu kepada Wood, dia merasa berkewajiban untuk membantunya kapanpun Wood mendapat kesulitan, atau kalau tidak, dia bisa saja menyerahkan ban kapten itu pada Edwin van der Sar, atau ke pemain lain.     

Saat tim sedang melakukan pelatihan, Twain kembali ke kantornya dan menggunakan telepon kantor untuk menelepon ke rumah George Wood.     

Orang yang menerima panggilan itu adalah ibu Wood, Sophia, yang kedengarannya terkejut tapi senang saat mendengar suara Twain. "Tn. Twain!"     

Twain merasa tidak yakin bagaimana dia bisa menghadapi Sophia yang semakin antusias, jadi belakangan ini dia jarang menghubunginya. Tapi, mungkin akan lebih baik kalau ibu Wood yang menangani masalah ini.     

"Halo, Nyonya. Apa kau merasa sehat?"     

"Aku merasa jauh lebih sehat."     

"Itu bagus sekali."     

"Ada apa, Tn. Twain?" Sophia bisa merasakan kalau Twain hanya berbasa basi, jadi dia langsung bertanya lebih dulu.     

"Erm, Nyonya. Apa Wood berbicara padamu tentang situasinya di tim baru-baru ini?"     

"Ya, dia bicara padaku. Dia bilang kalau sekarang dia dijadikan kapten tim." Sophia tersenyum. Dia merasa bangga dengan putranya.     

"Masalahnya adalah kapten baru ini sedang mengalami sedikit kesulitan belakangan ini." Twain menceritakan situasinya, "Wood selalu mendengarkan kata-kata ibunya. Jadi, aku membutuhkan bantuanmu untuk masalah ini."     

Sophia terdiam selama beberapa saat di telepon, dan kemudian mengangguk, "Oke, aku mengerti. Jangan khawatir, Tn. Twain. Aku mengenal putraku dengan baik, aku tahu apa yang harus kulakukan."     

"Terima kasih banyak, Nyonya."     

"Akulah yang harus mengucapkan terima kasih, Tn. Twain. Kalau kau tidak membuatnya pergi berlatih ke tim Forest, akan ada di mana George saat ini?"     

Twain tertawa saat dia mengingat musim pertamanya melatih tim Forest. Dia telah bertemu George Wood di musim dingin itu dan bocah itu berkata padanya, "Kurasa kau seharusnya mengontrak pemain terbaik di Inggris," seolah-olah dia sedang menghapal sebuah kalimat di dalam naskah. Wood sendiri sama sekali tidak tahu apa itu pemain terbaik di Inggris saat itu tapi kini dia semakin dekat dengan tujuan itu.     

Setelah Sophie kembali mengucapkan terima kasih, Twain mengakhiri panggilan telepon itu dan kembali ke lapangan latihan. Dia berdiri di pinggir lapangan dan mengamati dalam diam.     

Wood berlatih dengan rajin, lebih keras daripada sebelumnya. Dia terlihat seperti dia ingin menyelesaikan latihan untuk dua orang. Tapi pendekatannya yang sederhana dan kasar itu tidak memberikan dampak apapun pada rekan-rekan setimnya, karena dia memang selalu bekerja keras. Semua orang sudah terbiasa dengannya yang selalu berlatih dan bekerja sekeras itu.     

Bocah itu gagal memahami maksud Twain saat menjadikannya kapten. Twain diam-diam menggelengkan kepalanya.     

Dia hanya bisa menunggu untuk melihat apa yang bisa dilakukan Sophia untuk membantu.     

※※※     

Latihan hari itu sudah berakhir, dan Wood kembali ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya dengan lesu. Lalu dia berjalan pulang sendirian.     

Dia merasa kalau hari ini sama buruknya seperti hari-hari sebelumnya. Dia tidak mencapai apapun dan telah gagal sebagai kapten. Dia bahkan mulai meragukan keputusan Twain yang membuatnya menjadi kapten tim. Dia merasa sama sekali tidak cocok sebagai kapten. Meski dia mengagumi Demetrio dan telah belajar beberapa hal darinya, dia merasa kalau dia tidak akan bisa menjadi kapten seperti Demetrio.     

Terlalu sulit bagi George Wood untuk tersenyum sepanjang hari dan memperlakukan semua orang dengan akrab seperti teman lama yang sudah saling kenal selama bertahun-tahun.     

Wood hanya tersenyum saat dia pulang ke rumah dan menanggapi senyuman ibunya. Ibunya selalu tersenyum padanya dan memperhatikannya tersenyum. Sulit untuk tetap menjaga wajahnya tetap datar. Selain itu, senyum ibunya terasa hangat tanpa mengandung arti lain. Itu adalah senyum yang tulus, benar-benar berbeda dari semua senyuman yang ditemuinya diluar rumah. Senyuman tulus seperti itu adalah jenis yang bisa membuatnya merasa nyaman.     

Ibu dan anak itu sama-sama memasak di dapur untuk makan malam. Seolah-olah teringat sesuatu, Sophia bertanya dengan santai sambil menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya di dapur. "Ah, George. Saat kau kembali dari Spanyol, aku ingin mengundang seseorang untuk makan malam."     

Wood tampak sedikit terkejut. Kesehatan ibunya tidak terlalu baik. Kecuali Twain dan agennya, Woox, yang sesekali datang untuk memberikan kabar pekerjaan terbaru pada Wood, mereka tidak menerima tamu lain di rumah itu. Saat ibunya tiba-tiba saja mengatakan kalau dia ingin mengundang seseorang untuk makan malam, dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia menoleh untuk melihat ke arah ibunya.     

Ibunya menunjuk ke arah panci. "Aduk itu."     

Wood dengan patuh mengambil sendok sup untuk mengaduk sup.     

"Yah, bukankah sekarang kau sudah menjadi kapten?" kata ibunya sambil tersenyum. "Kurasa kita harus berterima kasih pada beberapa orang, jadi aku ingin mengundang mentormu untuk makan malam di rumah."     

"Demetrio?" Wood tidak mengira kalau ibunya memiliki gagasan untuk mengundang Demi.     

Sophia mengangguk. "Dia sudah sangat membantumu. Aku ingin mengucapkan terima kasihku secara langsung padanya."     

Meskipun dia terkejut, apa yang disarankan oleh ibunya memang masuk akal. Wood tidak merasa keberatan dengan itu.     

"Selain itu, aku juga ingin mengundang Tn. Twain."     

Wood menoleh untuk melihat lagi ke arah ibunya. Sophia menundukkan kepalanya dan tampak sibuk dengan apa yang dilakukannya seolah-olah dia tidak mengatakan apa-apa barusan.     

"Oh, oke. Aku akan bicara padanya." Wood mengangguk.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.