Mahakarya Sang Pemenang

Selamat Natal Bagian 1



Selamat Natal Bagian 1

0Saat Twain mengajak Wood ke lapangan latihan tim pemuda untuk mencari Dunn, Dunn baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap untuk pulang sesuai jadwal.     
0

"Jangan pulang dulu, kita punya rencana lain malam ini," kata Twain padanya.     

Dunn menatap Wood, yang sedang bersama Twain, dan mengangguk. "Aku paham. Tapi ..."     

"Tapi?"     

"Ini tidak cocok." Dunn menunjuk ke arah dirinya sendiri.     

Twain baru sadar kalau Dunn memakai jaket olahraga yang kebesaran. Twain bahkan tidak biasa memakai pakaian seperti itu. Saat mengawasi latihan rutin biasa, Twain tetap berpakaian mirip seperti seorang bos geng: setelan merah gelap untuk mewakili warna merah gelap tim Hutan, kemeja putih, dan mantel wol hitam.     

Tang En memandang Dunn dari atas ke bawah dan setuju denganya. "Ya, kita akan harus pulang dulu." Dia menoleh ke arah Wood dan berkata, "George, kau pulanglah dulu. Kami akan kesana kalau kami sudah siap."     

Wood mengangguk dan berbalik untuk pergi lebih dulu.     

Twain dan Dunn pergi ke arah lain, yang lebih dekat dengan Branford Garden Lane dimana mereka tinggal.     

Mereka melewati kompleks latihan pemuda, di mana hampir semua pemain muda sudah pergi. Dan sekarang, hanya personel pemeliharaan rumput yang ada di sana, menyirami lapangan latihan yang baru saja digunakan.     

Twain berhenti sejenak di tepi lapangan untuk melihat-lihat kompleks latihan yang tampak kosong. Dari belakangnya, Dunn bertanya, "Apa yang kau pikirkan?"     

"Aku bekerja di sini selama setengah musim," kata Twain, menunjuk ke lapangan latihan. "Tidak, bahkan tidak sampai setengah musim. Waktuku di sini sangat singkat, tapi aku menggunakan apa yang telah kupelajari saat itu hingga sekarang. Aku sudah membaca semua catatan dan buku yang kau letakkan di rak buku di rumah." Dia menoleh ke arah Dunn dan berkata, "Mentormua adalah Paul Hart, dan mentorku adalah kau."     

"Kenapa kau ingin membicarakan tentang itu hari ini?" Dunn tidak tersenyum. Dia hanya terus bertanya.     

"Tidak ada alasan ... Hanya saja, setahun telah berlalu. Aku merasa sedikit sedih."     

Dunn, yang berdiri di belakang Twain, ingin mengatakan sesuatu, tapi pada akhirnya, dia mengurungkan niatnya dan tetap diam.     

"Setahun yang lalu, George masih berlatih di lapangan ini, dan aku berjanji padanya akan memasukkannya ke Tim Pertama setelah Natal. Pada saat itu, aku berencana akan membiarkannya berlatih di Tim Pertama, bermain di pertandingan tim pemuda dan tim cadangan, kadang-kadang memasukkannya ke daftar pemain cadangan untuk pertandingan, dan lalu menurunkannya ke lapangan di saat-saat terakhir pertandingan untuk membuatnya terbiasa dengan atmosfir pertandingan resmi. Dan setelah satu musim, kupikir aku mungkin akan bisa membiarkannya bermain di lebih banyak pertandingan... Tapi penampilan anak itu jauh mendahului rencanaku, dan ekspektasiku ..." Twain memandang ke arah langit mendung. "Sekarang ini, Dunn, apa kau tahu? Hampir setiap hari aku selalu ditanya tentang harga transfer oleh beberapa klub sepakbola, dan semuanya menanyakan tentang dia."     

Dunn mengangguk. "Saat aku masih bekerja di tim pemuda Forest, tidak ada pemuda sepertinya disana." Maksudnya adalah Wood merupakan pemuda yang ditemukan oleh Twain sendiri; itu adalah caranya untuk secara tidak langsung memuji kemampuan Twain dalam membina pemain muda dan menemukan bakatnya.     

Twain balas tersenyum berterima kasih padanya. "Ayo kita pergi."     

Saat kedua pria itu tiba di pintu samping kompleks latihan tim pemuda, mereka melihat Gareth Bale dan ayahnya, Bale Senior, yang sedang memakaikan syal pada Gareth.     

Bale Senior menghadap ke arah pintu dan melihat kedua manajer itu berjalan berdampingan. Dengan cepat dia melambai untuk menyapa mereka.     

"Selamat Natal, Tuan Twain! Selamat Natal, Tuan Dunn!"     

"Selamat Natal, Tuan Bale. Kenapa Anda belum pulang?" Twain terkejut saat melihat pemain yang merupakan kontrak pertamanya masih berada disini.     

"Kami baru saja akan kembali dengan mobil."     

Bale muda berbalik dan menyapa kedua pelatih.     

Dia lebih kuat dan lebih percaya diri daripada saat Twain terakhir kali melihatnya, dan dia kelihatannya tampil dengan sangat baik di tim pemuda.     

Dunn, yang berdiri di samping Twain, berkata pada Gareth Bale, "Bale, jangan lupa datang malam hari tanggal 29."     

Bale mengangguk dengan gembira.     

Dunn merujuk pada upacara penghargaan Natal yang diadakan di dalam Klub Sepakbola Nottingham Forest. Pada hari itu, sejumlah penghargaan akan dipilih dari dalam klub, seperti misalnya pemain terbaik tahun ini, pelatih terbaik tahun ini, pemain muda terbaik tahun ini, dan rookie tahun ini akan diumumkan. Juga akan ada beberapa penghargaan yang sangat menarik, seperti misalnya pelatih paling populer tahun ini, rekan setim paling populer tahun ini, staf pemeliharaan rumput terbaik tahun ini, dan lain sebagainya.     

Sebagai manajer, Twain sudah tahu penghargaan mana yang menjadi milik siapa, tapi para pemain sendiri hanya tahu siapa yang termasuk ke dalam nominasi. Tentu saja, terlepas dari apakah mereka dinominasikan atau tidak, mereka semua harus menghadiri acara itu, yang juga merupakan sebuah pesta Natal.     

Di masa lalu, tim Forest mengalami banyak pasang surut, dan saat mereka berada di titik terendah serta tengah menghadapi krisis keuangan, klub tidak pernah berpikir untuk mengadakan acara seperti ini. Sekarang setelah Edward memimpin klub dan situasi mereka telah mulai stabil, dia ingin memulai sebuah tradisi dan membuatnya lebih modern. Ini juga sebuah peluang besar untuk menunjukkan itikad baik, menumbuhkan rasa kepemilikan para pemain terhadap klub, dan membangun kembali citra Nottingham Forest.     

Setelah melihat Gareth dan ayahnya pergi, Twain dan Dunn berjalan pulang untuk berganti pakaian dan kemudian memenuhi janji mereka makan malam di rumah Wood.     

※※※     

Kedua pria itu perlahan berjalan kembali ke Branford Garden Lane nomer 13, dan dari kejauhan Twain melihat seseorang duduk di depan pintu rumahnya. Dia bertanya-tanya siapa orang itu. Dia berjalan mendekat, dan tercengang. "Shania!"     

Saat dia mendengar suara Twain, Judy Shania Jordana, yang sedang duduk di dekat ambang pintu dan terangguk-angguk mengantuk, tiba-tiba saja mendongak. Setelah melihat kalau pria yang berdiri di depannya adalah Tony Twain, senyum bahagia muncul di wajahnya. "Selamat Natal, Paman Tony!"     

"Selamat Natal, Shania ... Apa yang kau lakukan di sini?"     

Mendengar pertanyaan Twain, Shania cemberut. "Apa kau lupa? Aku kan sudah bilang kalau aku akan menghabiskan Natal bersamamu."     

"Tidak, bukan itu maksudku. Maksudku ... Bukannya kau seharusnya bersama bibi dan keluargamu malam ini?" Twain buru-buru menjelaskan, karena dia tahu Shania salah paham.     

"Aku menghabiskan malam Natal bersama mereka, dan datang ke sini hari ini. Aku memang sengaja tidak menghubungimu, karena aku ingin memberimu kejutan. Apa aku tidak diinginkan disini?" Shania masih cemberut.     

"Bagaimana mungkin aku tidak ingin kau datang kemari?" Twain membuka pintu. "Masuklah!"     

Shania mengambil sebuah ransel yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tubuhnya, lalu dia tersenyum ke arah Dunn di dekatnya. "Selamat Natal, Paman Dunn! Aku tidak mengganggumu, kan?"     

Dunn menggelengkan kepalanya. "Tidak, Tony sudah memberitahuku tentang ini. Dia membersihkan kamarmu setiap minggu ..."     

Twain berdehem di dekat mereka.     

Shania melirik sekilas ke arah Twain dan wajahnya akhirnya menunjukkan senyum nakal. Kemudian dia masuk dengan kepala terangkat tinggi dan dadanya membusung. Di belakangnya, Twain menunggu Dunn mendekat dan bergumam dengan suara pelan, "Kenapa kau banyak bicara hari ini?"     

"Bukannya kau ingin aku lebih terbuka dengan orang lain?" Dunn bertanya.     

Twain tak bisa membalas. Sial, aku tidak bisa menyalahkan orang lain kecuali diriku sendiri.     

"Hei, kenapa kalian berdua tidak masuk? Apa yang kalian bicarakan di luar sana?" Shania berbalik dan mendapati Twain dan Dunn masih berdiri di luar pintu.     

"Um, tidak ada apa-apa ..." Twain masuk lebih dulu, dan Dunn langsung naik ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian.     

Shania merasa seperti berada di rumahnya sendiri. Dia langsung naik ke atas dan membuka pintu kamarnya. Semuanya masih tetap sama seperti saat musim panas dulu. Ruangan itu sangat bersih, dan kelihatannya Dunn memang benar. Tony memang membersihkan kamar yang tak ditempati itu setiap minggu. Dia memekik gembira, dan kemudian, dengan ransel diletakkan di dekat pintu, melompat ke tempat tidur dan memeluk boneka Totoro besar yang lembut. Dia membenamkan wajah di perut boneka itu, membuatnya mencicit tanpa henti.     

Pada saat itu, Twain sedang memikirkan tentang masalah lain di ruang tengah.     

Sophia telah mengundang dirinya dan Dunn ke rumahnya untuk merayakan hari libur ini, tapi sekarang Shania juga ada di sini. Dia tidak bisa meninggalkan gadis muda itu sendirian di sini dan pergi makan malam bersama Dunn. Dan dia juga tidak bisa menolak undangan Sophia hanya untuk menemani Shania. Satu-satunya solusi yang bisa dilakukan adalah membawa Shania ke rumah Sophia.     

Dia tidak tahu apakah gadis muda itu akan setuju dengan pengaturan ini.     

Sambil memikirkannya, Twain naik ke lantai atas untuk meminta pendapat Shania. "Shania?"     

"Ya?" Saat dia mendengar Twain memanggilnya, Shania duduk di atas tempat tidur.     

"Apa kau lapar?"     

Shania menggelengkan kepalanya. "Tidak lapar!"     

"Yah, apa kau capek?"     

Shania masih terus menggelengkan kepalanya. "Tidak capek!"     

"Kalau begitu ... ayo kita pergi untuk memenuhi janji."     

"Janji?"     

"Um ... Apa kau tahu George Wood?"     

Shania mengangguk. "Tentu saja! Bagaimana aku bisa menyebut diriku fans Forest kalau aku bahkan tidak tahu siapa Wood?"     

Twain tertawa; gadis muda itu sangat menggemaskan saat dia berbicara dengan sungguh-sungguh. "Ibunya mengundang kita untuk makan malam."     

"Fantastis, aku ikut!"     

"Tentu saja, bagaimana mungkin aku bisa meninggalkanmu sendirian di rumah yang dingin dan gelap? Pakailah pakaian terbaikmu." Twain mengedipkan mata pada Shania dan kemudian meninggalkan kamar, ingat untuk menutup pintu di belakangnya.     

Saat dia turun, Dunn sudah berganti pakaian dan sedang duduk di sofa. Dia memakai jaket biru gelap dengan sweater turtleneck. Dia tidak terlihat seperti Dunn si manajer sepakbola, yang selalu memakai jaket olahraga sepanjang hari.     

Melihat Twain turun dari lantai atas, Dunn berkata kepadanya, "Aku harus mengakuinya ..."     

"Apa?"     

"Kehidupan Tony Twain yang baru jauh lebih baik daripada kehidupan Tony Twain yang lama."     

Twain tertawa. "Bukankah itu bagus?"     

Dunn mengangguk dan bergumam, "Ya ... Ini sangat bagus ..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.