Mahakarya Sang Pemenang

Malaikat Utara Bagian 2



Malaikat Utara Bagian 2

0Itu adalah musim 2004-2005 yang familiar bagi Tang En. Tapi kini masa depan akan berubah karena dirinya dan Nottingham Forest turut berpartisipasi di dalamnya; terkait apakah perubahannya besar atau kecil akan tergantung pada sejauh mana dia dan tim Forest terlibat.     
0

Tang En tentu tak ingin berakhir dengan tangan kosong musim ini. Dia tidak cukup baik hati untuk rela mengorbankan dirinya sendiri demi melindungi konsistensi sejarah.     

Pada tanggal 4 November, Nottingham Forest bertanding dengan lawan kedua mereka di babak penyisihan grup Liga Eropa UEFA: tim Serie A, Lazio, di stadion City Ground. Stadion City Ground kembali menyelenggarakan turnamen Liga Eropa UEFA setelah delapan tahun. Di hari pertandingan, tidak hanya stadion yang dipenuhi para penonton, tapi sebagian besar pub dan bar di kota itu pun penuh sesak dengan mereka yang ingin menonton.     

Para fans Nottingham Forest membiarkan orang-orang Italia, yang telah rela melakukan perjalanan jauh, menyaksikan tingginya semangat mereka. Dari awal hingga akhir pertandingan, nyanyian dan teriakan para fans Forest tak pernah berhenti meski hanya sesaat. Stadion City Ground adalah lapangan sepakbola standar tanpa ada jalur lari diantara lapangan dan tribun penonton. Stadion kecil seperti ini jelas tidak bisa dibandingkan dengan Stadio Olimpico milik lawan mereka. Namun, stadion ini memiliki satu kelebihan: yakni memungkinkan tim tamu merasakan kekuatan dari suporter tuan rumah dan membuat mereka merasakan tekanan yang luar biasa.     

Ditambah lagi dengan gaya yang unik dari para fans Inggris, memainkan pertandingan tandang di sini hampir bisa membuat seseorang mengalami serangan jantung.     

Karena ini adalah stadion kandangnya, taktik yang digunakan Tang En di sini sama sekali tidak konservatif. Gaya bermain ofensif yang intens di seluruh lini membuat Lazio seolah tercekik. Para pemain Italia sama sekali tidak menduga bahwa tim Inggris yang baru dipromosikan itu cukup kuat untuk membuat mereka tidak bisa membalas; mereka benar-benar dihabisi.     

Saat pertandingan berakhir, skornya adalah 2:0. Nottingham Forest telah mengalahkan tim Lazio Italia dengan keuntungan bermain di kandang sendiri.     

Saat tim tamu meninggalkan City Ground, para fans Forest masih berkumpul di alun-alun di luar stadion, mengacungkan tinju mereka ke arah bus tim tamu dan menyanyikan "We've Got the Whole World in Our Hands." Lagu itu dulu menemani tim Forest milik Clough ke seluruh Eropa, dan kini lagu itu kembali terdengar!     

※※※     

Sekarang setelah mereka mengalahkan Lazio di pertandingan kandang Liga Eropa UEFA, Nottingham Forest telah mendapatkan dua kemenangan beruntun di babak penyisihan grup. Tinggal dua pertandingan tersisa: pertandingan tandang melawan Villarreal CF, dan pertandingan kandang melawan Partizan Belgrade. Selama mereka tidak melakukan kesalahan besar, situasi mereka di babak penyisihan grup sangatlah bagus.     

Setelah mendapatkan kemenangan di pertandingan itu, tim Forest tiba-tiba saja kehilangan momentum mereka, seolah-olah mereka kehilangan semangat karena takut mereka telah mencapai puncak, meskipun mereka masih harus menempuh lebih dari setengah perjalanan lagi.     

Tiga hari kemudian, dalam pertandingan tandang pada tanggal 7 November, Nottingham Forest berhadapan dengan Liverpool, yang sedang dalam kondisi kurang baik. Ini adalah peluang yang bagus untuk mendapatkan poin di pertandingan tandang. Tapi, tim Forest justru menunjukkan penampilan yang buruk, yang tak bisa dipahami oleh semua orang.     

Motivasi terbaik Twain sama sekali tidak mempan digunakan dalam pertandingan itu. Penekanannya yang konstan terhadap semangat untuk pantang menyerah sama sekali tidak berguna, dan taktiknya ditekan dengan kuat oleh master taktis dari Spanyol, Rafael Benítez. Twain sama sekali tidak punya peluang. Benitez segera mengetahui semua penyesuaian yang dibuatnya. Dan meski Twain melakukan perubahan-perubahan di dalam penyesuaian yang dilakukan olehnya, dia masih tetap tidak bisa lepas dari jebakan yang dipersiapkan oleh Benitez untuknya.     

Dia hanya bisa menyaksikan timnya kalah di stadion Anfield dengan skor 1:4. Itu adalah kekalahan kedua Nottingham Forest di liga musim ini dan juga kekalahan terbesar mereka.     

Sebagai manajer tim, melihat semua itu terjadi sangatlah menyakitkan ... Hal yang lebih menyakitkan lagi bukanlah skor kekalahan mereka, melainkan bagaimana Tang En merasa tak berdaya dalam menghentikan kekalahan itu, dan bagaimana dia masih jauh dibawah pria Spanyol itu dalam hal kemampuan taktik. Bukan keberuntungan yang membuat Liverpool bisa membalikkan keadaan di babak kedua pertandingan final melawan AC Milan dan memenangkan Liga Champions UEFA.     

Saat Tang En masih menjadi seorang fans sepakbola, pembalikan keadaan di pertandingan itu tidak terlalu mempengaruhinya. Tapi, setelah bertanding melawan Benitez, dia sadar bahwa dia masih jauh dari menjadi seorang manajer kelas dunia.     

Pada konferensi pers paska-pertandingan, media menunggu untuk melihat alasan apa yang akan diberikan Twain atas kekalahan mereka. Para wartawan yang suka mencari sensasi itu sama sekali tidak mengira bahwa pernyataan pembuka Twain akan mengecewakan mereka.     

"Aku tidak punya sesuatu untuk dikeluhkan; kami telah kalah. Aku tidak ingin mencari alasan atas kekalahan kami, seperti misalnya kebugaran fisik kami yang tidak bagus, atau terlalu banyak tekanan, atau bahwa lawan terlalu kuat, atau bahwa ini adalah pertandingan tandang, atau semacamnya. Tidak ada alasan. Kalah tetap kalah." Twain duduk disamping Benitez dan terfokus pada pernyataan yang dibuatnya. "Satu-satunya alasan kenapa kami kalah adalah karena kami tidak tampil cukup bagus. Aku ingin mengucapkan selamat kepada Benitez dan timnya. Liverpool bermain lebih baik daripada kami dalam pertandingan ini dan mereka pantas untuk menang."     

Tepat setelah dia selesai berbicara, seseorang tak bisa menunggu lagi dan mengangkat tangannya. "Manajer Twain, bagaimana evaluasi Anda terhadap penampilan tim Anda?"     

Twain memandang pria itu sekilas. "Aku tidak pernah mengomentari tim dan pemainku di konferensi pers." Jelas, dia bicara omong kosong. Dia selalu memuji para pemainnya di banyak kesempatan usai pertandingan. Dia hanya menolak berkomentar karena dia kalah.     

Reporter itu juga tahu bahwa kata-kata Twain itu bohong, tapi apa yang bisa dia lakukan kalau pria itu menolak untuk berkomentar? Dia hanya bisa kembali duduk dengan frustrasi.     

Reporter lain berdiri dan bertanya, "Maaf, Manajer Twain, karena Anda tidak mau mengomentari pemain Anda, bisakah Anda berkomentar tentang pemain Liverpool? Bagaimana pendapat Anda tentang penampilan mereka dalam pertandingan?"     

Twain merasa bahwa para reporter itu jelas mendesaknya, jadi dia kembali bertanya, "Apa kau seorang jurnalis untuk media Liverpool?" Melihat pria itu mengangguk, dia melanjutkan dan berkata, "Sangat bagus. Kurasa beberapa pemain Liverpool bermain dengan sangat bagus, dan beberapa dari mereka menunjukkan penampilan rata-rata. Kau bisa mengisi sendiri bagian yang kosong dan mengganti 'beberapa pemain' dengan nama pemain Liverpool manapun. Terserah bagaimana kau mengisinya." Dia merentangkan tangannya.     

Meski Twain mengatakan kalau tidak ada yang dia keluhkan, itu tidak berarti dia akan bisa mengobrol dengan para wartawan disini dan tersenyum kepada mereka. Setelah memberikan jawaban asal-asalan terhadap sejumlah pertanyaan dengan ekspresi suram, dia bangkit dan meninggalkan konferensi pers. Dia memberikan peran utama di konferensi itu untuk pemenang pertandingan, Rafael Benitez. Twain tidak peduli bagaimana lawannya mengevaluasi pertandingan hari ini.     

Tidak ada yang tahu berapa kali Tony Twain meninggalkan ruangan di tengah-tengah konferensi pers yang sedang berlangsung, tapi mereka tahu bahwa kali ini jelas bukan yang terakhir.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.