Mahakarya Sang Pemenang

Liburan Sudah Berakhir Bagian 1



Liburan Sudah Berakhir Bagian 1

0"Lihatlah! Ini adalah Stadion Santiago Bernabéu!" Tang En berdiri di bawah dinding putih besar, dan menunjuk ke nama di dinding saat dia mengucapkannya dengan gembira. Tapi Jude baru saja menguap. Mereka sudah berada di Spanyol selama beberapa hari, dan Jude mengira mereka akan pergi ke pantai atau berjalan-jalan. Dia sama sekali tak mengira bahwa mereka akan mengunjungi stadion pagi-pagi sekali.     
0

"Paman Tony, apa kau belum cukup melihat stadion di pekerjaanmu?"     

Tang En sangat terkesan dengan kemegahan Stadion Bernabéu sampai-sampai dia tak melihat ketidakpuasan di wajah dan nada bicara Jude. Dia menggelengkan kepalanya. "Bagaimana mungkin stadion tingkat sekolah menengah semacam itu bisa dibandingkan dengan istana sepakbola ini?"     

Kali ini Jude sengaja menguap lebih keras dan dengan berlebihan, dan Tang En akhirnya menyadarinya.     

"Apa kau masih belum benar-benar bangun? Kupikir aku menyuruhmu tidur jam 11 semalam."     

Jawabannya membuat Jude merasa putus asa, dan dia memutar matanya dan berhenti menguap. "Aku memang tidur jam 11 kemarin. Aku hanya melatih otot-otot wajahku, trik kecantikan."     

"Kau masih terlalu muda untuk memikirkan hal-hal seperti itu," Tang En tertawa. Setelah beberapa hari tinggal bersama gadis ini, dia merasa bahwa Jude sangat imut.     

Kadang dia berpikir bahwa jika gadis itu benar-benar tak ingin kembali ke orang tua angkatnya, dia bisa mengajukan diri untuk mengadopsinya. Meski dia tak tahu apakah dia akan ingin memiliki anak sendiri di masa depan, dia cukup menyukai hidupnya saat ini dengan ditemani malaikat yang riang itu. Dia jarang merasa bosan dan memiliki seseorang untuk diajak bertengkar dan bercanda akan membuat hidup menjadi lebih menarik.     

"Kau benar-benar mencintai sepakbola," kata Jude dengan nada sarkastik.     

"Bukankah kau juga menyukainya? Kupikir kau berasal dari Brasil." Tang En meliriknya.     

"Tentu saja! Aku orang Brasil. Aku juga suka sepak bola. Jadi, biar kuubah kata-kataku... kau tidak hanya menyukai sepak bola! Kau terobsesi dengan sepak bola! Terobsesi!" Jude menunjuk Tang En dan mengumumkan dengan keras, "Kau terobsesi dengan sepakbola, sama seperti bagaimana kau bisa terobsesi dengan wanita!"     

"Apa yang kau tahu tentang obsesi pada wanita!" Tang En melepaskan tangan Jude yang menunjuk ke arahnya. "Sepak bola dan wanita adalah dua hal yang berbeda. Apa kau lapar sekarang? Ayo. Aku akan membelikanmu sesuatu untuk dimakan."     

Jude berpikir bahwa aneh kalau mereka pergi sekarang. "Apa kau tidak mau masuk ke dalam?"     

Tang En mengangkat kepalanya dan melihat stadion yang megah itu, lalu menggelengkan kepalanya.     

"Jude, aku ini manajer sepakbola. Kau tahu itu kan?"     

Jude mengangguk, tapi dia masih tidak tahu kenapa Tony bertanya seperti itu.     

'Kalau suatu hari nanti aku memasuki tempat ini," Tang En menunjuk ke arah Bernabéu dan berkata, "maka hanya akan ada dua alasan untuk itu. Pertama, karena aku membawa tim-ku kesini untuk bertanding. Atau, kedua, karena aku adalah pemilik tempat ini."     

Punggung Tang En menghadap ke arahnya saat dia mengatakan itu, dan Jude tak bisa melihat wajahnya.     

"Ayo kita pergi dari sini dan makan siang! Aku akan membawamu makan ragout Madrid yang terkenal." Tang En memegang tangan Jude dan meninggalkan istana sepak bola di hatinya tanpa menoleh lagi ke belakang.     

Pada hari-hari berikutnya, Tang En membawa Jude ke stadion kandang Madrid, Calderón, stadion kandang Barcelona, ​​Stadion Camp Nou, dan juga ke Stadion Mestalla, yang merupakan stadion kandang tim Valencia. Mereka bergegas ke kota-kota yang berbeda seolah-olah mereka kehabisan waktu, kemudian mengunjungi stadion di tiap kota secara singkat, dan kemudian pergi ke tujuan selanjutnya.     

Jude hanya bisa melihat matahari dan pantainya yang tercinta dari kejauhan, serta ombak laut yang beriak dari jendela kereta api saat mereka melewati pinggiran kota Barcelona.     

Meskipun secara fisik Jude berada di Spanyol selama seminggu, dia merasa tak ada bedanya dengan ketika dia berada di Brasil atau Inggris. Apa kami pergi ke Paradise City Malaga? Apa kami menonton pertandingan banteng yang terkenal? Apa kami pergi ke tanah surga terakhir di Mediterania, Pulau Formentera? Apa kami pergi ke Katedral Seville? Apa kami bahkan pergi ke Catedral de Santa Eulalia de Barcelona? Kami bahkan belum pergi kemana pun. Ratusan foto di galeri ponsel itu adalah foto stadion sepak bola!     

Dia menghela nafas dan melihat ke arah Tang En, yang sedang tidur di sampingnya, dan cemberut.     

Liburan yang telah dinanti-nantikannya akan segera berakhir. Membosankan!     

Tang En, yang sangat mengantuk, dan Jude, yang mencibir tentang perjalanan itu, tidak tahu bahwa ketika mereka sedang berlarian di Spanyol, seseorang sedang mencari mereka dengan panik di Inggris.     

Ritual pria terhormat Finnan adalah membaca koran The Times usai dia menyelesaikan sarapannya. Setelah membaca berita keuangan dan politik terkini dengan seksama, ia melihat sebuah foto di sudut salah satu halaman.     

Itu adalah pemberitahuan untuk orang hilang. Orang tua yang sangat khawatir meminta bantuan publik untuk menemukan putri mereka yang melarikan diri dari rumah. Di sebelah foto itu ada deskripsi yang jelas tentang gadis itu, termasuk nama, usia, dan tinggi badannya.     

Foto itu menarik perhatian Finnan. Dia yakin dia pernah melihat gadis itu sebelumnya. Lalu dia menyadari bahwa itu adalah gadis dari taksi, gadis yang sedang sakit dan meringkuk di lengan Tony Twain.     

Meski dia tidak tahu keseluruhan ceritanya, dia merasa sudah menjadi kewajibannya untuk menghubungi nomer telepon yang ada di pengumuman itu.     

Sambil menunggu penerbangan mereka di Bandara Madrid, Tang En berusaha memilah-milah foto-foto di kameranya. Itu memang proses yang sangat memakan waktu, dan Tang En tak berharap dia akan bisa menyelesaikannya hanya dalam satu jam yang singkat. Jude duduk di seberangnya, menendangkan kakinya ke depan dan ke belakang. Gerakan konstan dari sepasang kaki yang putih seperti salju itu sangat mengganggu.     

Tang En tetap berada di posisinya, tapi diam-diam mendongak untuk memeriksa gadis kecil itu dengan cermat.     

Dia tampak bosan dan tak bisa duduk diam di kursinya. Dia melihat sekeliling seolah-olah tak tahu harus berbuat apa. Kadang dia cemberut saat melihat pesawat mendarat dan lepas landas di luar jendela. Dan kadang dia mengambil kikir kuku untuk mengikir kukunya. Lalu perhatiannya tertuju pada jenggot panjang seorang pria yang duduk diagonal darinya.     

Saat itulah Tang En menyadari bahwa sepanjang waktu ini pikirannya hanya tertuju pada sepak bola dan tim-tim terkenal, dan bahwa dia secara tak sengaja telah mengabaikan Jude. Meskipun begitu, Jude tak pernah menunjukkan kekesalannya di hadapannya, dan yang dilakukannya paling-paling hanyalah sering menghela napas atau cemberut.     

Tang En memutuskan untuk mencoba melakukan sesuatu untuk Jude, dan dia bangkit sambil berkata, "Jude, aku akan segera kembali. Tunggulah di sini."     

Saat dia mendengar Tang En berbicara dengannya, kesedihan di wajahnya segera memudar, dan dia mengangguk. "Oke, aku akan menunggumu di sini."     

Keluar dari ruang tunggu, Tang En melihat sekeliling terminal untuk mencari toko suvenir. Dia tadinya memang ingin membelikan Jude sesuatu, tapi dia lupa tentang itu saat mereka berada di tempat-tempat wisata. Sekarang ini sulit menemukan sesuatu yang cocok untuk menebus kesalahannya itu.     

Tang En hanya melihat-lihat tanpa memiliki rencana khusus, dan kemudian dia menemukan toko yang menjual suvenir. Boneka lembut yang berpose imut di etalase menarik perhatiannya. Dia yakin gadis-gadis pasti menyukai makhluk kecil yang lucu seperti itu.     

Dia pergi ke toko untuk memilih satu yang mungkin disukai Jude. Ada begitu banyak jenisnya! Mana yang paling bagus? Akhirnya, dia berhenti di boneka lembut paling besar, dan itu adalah Totoro. Dia ingat ketika pertama kali bertemu Jude, ada Totoro mini yang bergantung di tasnya. Ini yang paling cocok!     

Setelah kembali ke ruang tunggu, Jude masih mengikir kukunya dengan kepala menunduk, meski tak ada yang tersisa untuk dikikir. Karena Jude sedang teralihkan perhatiannya, Tang En memutuskan untuk menggodanya.     

Dia diam-diam pergi ke belakang kursi Jude dan meletakkan boneka Totoro perlahan di depan gadis itu. Tang En sengaja menurunkan suaranya untuk meniru suara Totoro.     

"Waaaaa!" Jude hampir melompat dari kursinya karena ketakutan.     

Tang En tak bisa menahan diri dan tertawa keras ketika dia melihat Jude melompat dari kursinya.     

Jude menyadari bahwa dia telah digoda oleh Tang En dan mengerutkan kening. Dia duduk dengan bibir terkatup rapat dan tak mau mengatakan apa-apa. Dia hanya memelototi Tang En, tapi Tang En tak melihat kemarahan yang nyata di matanya. Dia menyerahkan boneka lembut itu pada Jude, yang berpura-pura merasa terganggu.     

"Lihatlah, ini untukmu. Awalnya, kubilang aku akan membawamu jalan-jalan, tapi ternyata malah kau yang menemaniku kemana-mana. Aku benar-benar lupa tentang perasaanmu." Tang En merasa malu saat mengatakan ini, dan dia menyentuh hidungnya dengan gugup lalu menggaruk kepalanya dengan tangannya yang bebas dan tak tahu harus diletakkan dimana.     

Jude membuat suara "hmm" sebagai balasan untuk Tang En, menyadari kekikukan pria besar itu. Tapi kemudian dia mengambil boneka lembut itu dan menempelkan wajahnya ke Totoro yang lembut.     

'Totoro!" Jude berteriak dengan gembira ke bulu lembut boneka itu.     

Melihat suasana hati Jude yang lebih baik, Tang En merasa lega.     

Liburannya sudah berakhir, dan dia harus menangani latihan baru untuk musim mendatang saat dia kembali ke Nottingham. Meskipun timnya masih berlibur, ia, sebagai manajer, harus membuat persiapan lebih dulu. Bagaimana kalau pekerjaannya nanti menjadi sangat sibuk dan tak teratur? Bagaimana dia akan bisa menjaga dan merawat Jude? Dia harus menghadapi pertanyaan yang telah dihindarinya selama seminggu.     

Setelah menghabiskan seminggu bersamanya, Tang En menemukan banyak hal yang menggemaskan dan menyenangkan tentang Jude. Dia merasa mungkin hidupnya takkan terasa begitu hambar kalau ditemani gadis kecil yang ceria itu. Sebelum dia bertemu Jude, hidupnya sebenarnya sangat sederhana dan membosankan. Selain pekerjaannya, ia menghabiskan sebagian besar waktunya di bar dan sesekali menantikan pelajaran Yang Yan.     

Kalau Jude juga menikmati menghabiskan waktu bersamanya, kenapa tidak sekalian mengadopsinya saja? Terutama karena dia sudah diadopsi oleh orang tua yang kejam. Sebenarnya, alasan yang sesungguhnya dibalik keinginan untuk mengadopsinya — yang tetap disembunyikan oleh Tang En di dalam hatinya dan mungkin tersembunyi dari dirinya sendiri — adalah bahwa gadis kecil berusia 13 tahun yang cerdas itu membuatnya teringat pada seorang anak yang lain, yang seharusnya akan sebaya dengan Jude, tapi takkan pernah memiliki kesempatan untuk menunjukkan senyumnya.     

"Jude, apa kau masih ingin pulang? Ehm, maksudku ke rumahmu di Brasil."     

Jude menggelengkan kepalanya seraya memainkan Totoro dengan senang.     

"Kalau begitu ... kau..." Tang En tidak tahu bagaimana mengajukan pertanyaan itu.     

"Aku bisa tinggal dengan Paman Tony. Jangan khawatir. Aku tidak akan membuat masalah bagimu!"     

Itulah yang ingin didengar Tang En, dan dia meringis. Tapi, hatinya tak setuju. Anak itu mungkin berpikir bahwa ini akan menjadi hal yang mudah. Meski Tang En belum pernah mengadopsi anak, ia tahu prosesnya akan rumit. Sepertinya musim panas ini akan lebih sibuk daripada biasanya. Mungkin aku akan harus menghubungi pengacara itu, Jack Landy, untuk bertanya tentang prosedur hukum untuk pengajuan adopsi.     

Tang En tak tahan saat dia melihat Jude memeluk Totoro yang hampir separuh ukuran tubuhnya. Dia menggelengkan kepalanya dan tertawa. Sungguh tak terduga bahwa dia tak memiliki istri, tapi malah memiliki seorang anak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.