Mahakarya Sang Pemenang

Si Idiot Collymore Bagian 1



Si Idiot Collymore Bagian 1

0 Wasit akhirnya meniup peluit yang menandakan akhir pertandingan. Para pemain Arsenal sebagian besar terpuruk di lumpur, dan para pemain Forest berpelukan untuk merayakan kemenangan yang telah mereka raih dengan susah payah. Mereka telah mengalahkan favorit tim pemuda Arsenal dan maju ke putaran keempat FA Youth Cup!     
0

Fàbregas, yang kalah, membungkuk ke depan dan berdiri di tengah hujan. Dia meletakkan kedua tangannya di lutut dan terengah-engah. 25 menit terakhir babak kedua ini jauh lebih melelahkan daripada 65 menit di babak pertama dan kedua. Ada kelelahan dan kegagalan, dan ini semua diberikan oleh pemain nomer punggung 55 itu.     

Dia menatap pemain nomer punggung 55, yang dikelilingi oleh rekan satu timnya, dan benar-benar kaget. Dia masih pemain pemula!     

Aku benar-benar dibuat tak berdaya oleh pemain pemula selama lebih dari 20 menit! Aku takkan pernah melupakan penghinaan ini! Suatu hari nanti, aku akan membalasmu! Kalau kita bertemu lagi di pertandingan yang lain ...     

Dia tiba-tiba menegakkan dirinya dan berjalan keluar dari lapangan dengan kepala terangkat tinggi. Dia tak lagi melirik pemain Forest dan pemain nomer 55, yang sedang merayakan kemenangan mereka dengan liar di lapangan.     

Meski kalah, Brady masih tampak ramah. Dia mengambil inisiatif untuk berjabatan tangan dengan Twain, dan Wenger berada di sampingnya.     

"Seperti yang sudah saya katakan sebelum pertandingan, ini memang pertandingan yang bagus." Setelah kalah dalam pertandingan, Brady tampak yakin.     

Suasana hati Tang En sedang baik, dan kata-kata yang diucapkannya tidak kasar. "Tim Anda juga bermain sangat baik. Anda hanya sedikit bernasib buruk."     

Brady tak mengatakan apa-apa lagi kepadanya. Dia hanya tersenyum dan berjalan pergi. Wenger, yang memegang payung, tak mengikuti langkahnya. Namun, dia berdiri di hadapan Twain.     

Tang En tahu bahwa orang Prancis itu ingin mengatakan sesuatu, tapi dia takkan bertanya lebih dulu. Itu akan membuatnya terlihat seolah dia tampak cemas ketika berhadapan dengan Wenger. Dia adalah pemenang pertandingan ini, jadi dia harus mempertahankan martabatnya.     

Alhasil, Wenger berdiri di depan Twain sambil memegang payung, dan Tang En berdiri di tengah hujan di depan Wenger. Kedua pria itu tak ada yang membuka mulut untuk berbicara. Akhirnya, tak tahan karena basah kuyup, Tang En berubah pikiran dan menyerah. "Tuan Wenger, bolehkah saya bertanya kenapa Anda ingin menemui saya? Kalau tidak ada apa-apa, saya harus kembali dan mengganti pakaian saya."     

Saat itu Wenger memberinya senyum kemenangan. "Tuan Tony Twain, saya datang untuk memberi ucapan selamat pada Anda. Anda melakukan pekerjaan dengan sangat baik, dan tim Anda pantas memenangkan pertandingan." Pujian Le Professeur yang sopan terhadap Twain membuatnya tampak lebih seperti pemenang.     

Dibandingkan dengan pria terhormat yang otentik itu, Tang En tampak agak kasar. Ya, di depan orang Prancis ini, yang bahkan tak memiliki setetes noda lumpur di celana panjangnya, Twain yang basah kuyup karena hujan terlihat seperti orang kampung.     

"Ah, terima kasih, Tuan Wenger. Hanya itu saja?" Tang En tiba-tiba melihat dari sudut matanya bahwa ada pria lain di samping Sophia. Dan orang itu, mengenakan setelan ungu dengan kerah kemeja merah muda yang menyembul dari bawah jasnya, jelas bukan Wood. Dia berdiri di depan Sophia dan sepertinya sedang mengatakan sesuatu. Karena terlindungi oleh payung, Tang En tak bisa melihat ekspresi dan reaksi Sophia.Tapi dia merasa agak cemas. Dia ingin mengakhiri percakapan dengan Wenger ini sesegera mungkin dan bergegas untuk mengecek Sophia.     

"Oh, begini. Aku ingin bertanya tentang pemain nomer 55 itu ..."     

Tang En sudah bisa menebak apa yang dimaksud Wenger meskipun ia belum menyelesaikan kata-katanya. Saat orang Prancis bermata mematikan itu bertanya tentang seorang pemain muda, itu karena, sembilan dari sepuluh dugaan, pemain itu menarik perhatiannya. Jadi, dia menggelengkan kepalanya. "Maaf, Tuan Wenger. Wood tidak dijual. Saya takkan pernah menjualnya pada siapa pun."     

Melihat sikap Twain yang keras dan tegas, Wenger mengangguk. "Saya mengerti. Kalau begitu, selamat tinggal, Tuan Twain. Saya harap lain kali saat kita bisa bertemu dan mengobrol, tempatnya bukan disini."     

"Tentu saja. Saya juga berharap begitu." Tang En tahu apa yang dimaksud Wenger, dan dia ingin mengatakan, "Maaf, Tuan Wenger. Saya rasa ada sesuatu yang harus saya lakukan sekarang." Dia sudah melihat Wood berlari ke arah ibunya dari sudut matanya. Terlepas dari siapa yang berada di samping Sophia, atau apa yang sedang dia lakukan, dia akan kehilangan keberuntungannya! Tang En harus menghentikannya sebelum Wood menyebabkan masalah.     

"Baiklah, semoga Anda beruntung, Tuan Twain." Wenger belum selesai bicara ketika Twain berbalik dan berlari, bergerak seolah-olah dia adalah pemain sepak bola profesional.     

"Pria yang menarik." Wenger menggelengkan kepalanya dan berbalik untuk meninggalkan tempat itu.     

Sophia, yang memegang payung di tepi lapangan, melihat Wood dikelilingi oleh rekan setimnya yang bersemangat. Dia merasa senang dengan penampilan dan bagaimana putranya diterima oleh tim dan dia juga tersentuh dengan perhatian yang diberikan oleh Tuan Twain yang cermat.     

Untuk datang menonton pertandingan putranya ini, Sophia secara khusus merias wajah dan berdandan sebelum dia keluar. Dia terlihat 10 tahun lebih muda dengan rambut hitamnya yang mengkilat ditata keatas dan dihias dengan jepit rambut putih, dia memakai sweater turtleneck putih dengan motif bunga biru diatas celana jinsnya, dan tas kecil yang indah di tangan kanannya. Berdiri di tengah hujan dengan membawa payung, Sophia tampak seperti bunga yang dibasahi tetesan hujan, bergoyang lembut tertiup angin dan hujan.     

Collymore berdiri di belakang Sophia dan benar-benar terpikat oleh wanita pendiam itu. Dia bahkan lupa dengan tujuannya datang ke sana. Teriakan orang-orang di sekitarnya terdengar jelas, membuatnya merasa bahwa di dunia yang bising dan dingin ini, betapa indahnya saat dia melihat bunga lembut yang tiba-tiba muncul.     

Satu-satunya yang patut disayangkan adalah bahwa payung hitam besar di tangan wanita itu sama sekali tidak cocok dengan penampilannya. Wanita yang begitu cantik seharusnya membawa payung bermotif bunga merah yang cantik, terlihat ramping dan anggun di bawah hujan gerimis. Yah, tentu saja, hujan hari ini agak terlalu deras.     

Tepat ketika pertandingan berakhir, Collymore mengambil inisiatif untuk mendekatinya. Dia memiliki banyak pengalaman tentang wanita di tempat parkir. Biasanya setelah 15 menit, dia akan bisa melakukan hubungan seks yang penuh gairah dengan targetnya di mobil.     

"Aku sama sekali tak menyangka wanita cantik sepertimu akan datang menonton pertandingan yang membosankan." Collymore berdiri di belakang Sophia, dan keduanya berdiri sangat dekat. "Semoga aku bisa mendapat kehormatan untuk mengetahui namamu, Nona ... Ahhhh!"     

Sophia, terkejut karena ada suara seorang pria yang tiba-tiba saja berbicara dari belakangnya, segera membalikkan badan, dan tetesan hujan di payung memerciki wajah Collymore.     

"Oh! Maafkan saya, Pak. Saya tidak ..." Dia melihat Collymore memejamkan mata dan memiringkan kepalanya ke samping, tapi dia tampak menyedihkan karena dia tak bisa mengelak tepat waktu dan wajahnya basah karena air hujan. Sophia berulang kali meminta maaf dan mengambil tisu dari dalam tasnya agar pria itu bisa menyeka air hujan dari wajahnya.     

"Ah, tak perlu meminta maaf, Nona yang cantik," kata Collymore lembut. Pada saat yang sama, dengan cepat dia menggenggam tangan kecil Sophia dan memegangnya di telapak tangannya, merasakan ujung jarinya yang dingin. Collymore benar-benar tak peduli dengan menyeka air dari alisnya.     

"Pak, jangan!" Sophia tak menduga pria itu akan menarik tangannya dengan cara yang begitu mencolok. Dia berusaha melepaskan tangannya, tapi pria itu memegangnya dengan erat.     

"Ah, tanganmu sangat dingin dan kecil, membuat orang merasa tersentuh olehmu," kata Collymore sambil menikmati momen itu.     

"K*parat! Lepaskan tanganmu darinya!" Lamunannya diganggu oleh suara teriakan.     

Seorang anak laki-laki, mengenakan kaus jersey Forest nomer 55 yang semuanya tertutup lumpur, berdiri di dalam lapangan. Tangannya mencengkeram pagar kawat, dan dia menggeram padanya dengan wajah menyeramkan, seperti binatang buas yang marah.     

Collymore memandang ke arahnya dan mengerutkan kening, tapi dia tak mendengarkan anak itu dan tetap memegang tangan si wanita.     

"Tuan Stan Collymore, kusarankan kau melepaskan tangannya." suara lain terdengar di samping anak itu.     

Tony Twain memelototi Collymore. Dia belum selesai bicara, dan Wood yang marah sudah mulai memanjat pagar kawat.     

"Ah! Sialan!" Tang En tahu apa yang akan dilakukan Wood, jadi dia bergegas ke pagar kawat juga, berharap bisa berada di depan Wood untuk menghentikannya. Tapi kelihatannya agak sulit setelah melihat seberapa cepat dia memanjat naik.     

Sebagai seorang pemain, Wood lebih gesit daripada Twain. Dia melompat turun dari pagar kawat lebih dulu, bergegas maju setelah mendarat, dan meninju Collymore!     

"Wood!" Tang En baru saja melewati bagian atas pagar dan tak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya.     

"George!" seru Sophia.     

Collymore roboh dan membuat percikan di tanah. Payungnya terbalik di tengah hujan dan bergoyang lembut. Sedangkan untuk tangannya, secara alami dia melepaskan cengkeramannya.     

Dia jatuh ke dalam genangan air dan basah kuyup. Jas dan baju barunya dibasahi air kotor hingga warna aslinya tak lagi terlihat. Pipi kanannya memar dan bengkak. Beberapa saat yang lalu, dia adalah playboy yang penuh gairah tapi sekarang dia kelihatan seperti anjing basah yang menyedihkan.     

"Dasar b*jingan kecil!" kata Collymore, yang, merasa dipermalukan di depan seorang wanita cantik, bangkit berdiri dan baru akan melawan. Tapi kali ini Tang En berdiri di antara mereka.     

"Apa yang kau lakukan, Tuan Collymore?" Tang En menghadangnya dan menatapnya dengan dingin.     

"Minggir! Ini bukan urusanmu!" Collymore yang marah menggeram dan mengayunkan tinjunya.     

Tang En tak berniat mendengarkan Collymore. Pada waktu yang sama, di belakangnya, Wood juga sedang bertingkah buruk. Dia ingin menyerang dan memukuli pria yang berani menyentuh ibunya. Sophia berusaha keras untuk menahan putranya hingga payung di tangannya jatuh ke tanah.     

"George, bantu ibumu dengan payung itu, jangan biarkan dia basah karena hujan," kata Tang En tanpa menoleh.     

Wood menatap kosong sejenak, memandangi ibunya yang rambutnya basah terkena hujan, dan dengan cepat bergegas mengambil payung itu. Dia kemudian memayungi ibunya. Dia ingin mengeringkan wajah ibunya tanpa tahu apakah wajah ibunya basah karena hujan atau air mata, tapi tangannya penuh lumpur dan begitu pula bajunya. Dia hanya bisa berdiri tanpa daya di depan ibunya dan tak bisa mengeringkan wajah ibunya.     

Tapi, Sophia tersenyum dan mengeluarkan tisu dari dalam tasnya dan menyeka lumpur dari tangan Wood dan keringat serta hujan dari wajah Wood.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.