Bos Mafia Playboy

Kamar Terpisah



Kamar Terpisah

0Happy Reading     
0

Mobil mewah yang membawa keluarga Prayoga langsung berhenti begitu sampai di depan villa milik Brian. "Sayang. Turunlah bersama suamimu, Papa ada sedikit urusan penting," pamit Adi Prayoga pada menantu kesayangannya.     

"Papa mau ke mana?" Perasaan khawatir dan juga cemas terlihat sangat jelas di wajah Imelda. Wanita itu terlalu mengkhawatirkan ayah mertuanya itu. Karena kondisinya belum cukup stabil untuk melakukan pekerjaan berat.     

Adi Prayoga tersenyum kecil pada menantunya itu. "Tenanglah, Sayang. Papa hanya mau pulang ke rumah utama, kamu tak perlu khawatir," jelas pria itu pada seorang wanita yang terlihat sangat peduli pada keselamatannya. Adi Prayoga menyentuh kepala Imelda lalu membelainya penuh kasih sayang. "Papa berjanji akan kembali dengan selamat," tambahnya lagi.     

Dengan berat hati, Imelda memutuskan untuk keluar dari mobil itu. Terlihat sebuah senyuman terukir begitu tulus dari wajah Adi Prayoga sebelum pria itu pergi. Wanita itu pun memandang suaminya penuh tanya. Imelda berharap jika Brian mampu menenangkan hatinya. "Apa Papa akan baik-baik saja? Aku sangat mengkhawatirkan kondisi fisiknya," ucap wanita itu dengan wajah cemas.     

Brian memandang sang istri yang terlihat sangat gelisah. Pria itu menggenggam kedua tangannya lalu mengecup keningnya dengan sangat lembut. "Jangan khawatir pada Papa, Martin pasti akan melindunginya," hibur pria yang telah sah menjadi suami dari seorang dokter bedah terhebat di negeri itu. Kemudian Brian mengajak istri barunya itu masuk ke dalam villa, diikuti beberapa bodyguard yang sejak tadi mengamankan perjalanan mereka.     

Kedua pasangan itu masuk ke dalam kamar dan berniat untuk mengganti baju yang dipakai untuk acara pernikahannya tadi. Imelda sedikit kesusahan untuk menurunkan resleting di belakang gaunnya. Wanita itu mencoba untuk menurunkan resleting belakang gaun yang sedang dipakainya sejak pagi tadi. Berulangkali Imelda mencoba untuk melakukannya, sayangnya dia tak mampu melakukannya sendiri. Dia pun memanggil suaminya untuk membantunya melepaskan gaun itu. "Brian ... tolong bantu aku melepaskan gaun ini," pintanya pada seorang pria yang baru saja melepaskan kemeja yang dipakainya.     

Pria itu langsung meletakan pakaian yang akan dipakainya lalu menghampiri Imelda yang masih berusaha untuk menurunkan resleting gaunnya. "Apa yang harus aku lakukan untukmu?" tanya Brian pada istrinya.     

"Kamu cukup menurunkan resleting gaun ini, biar aku yang melepasnya sendiri," jawab Imelda dengan wajah yang terlihat sedikit malu-malu. Wanita itu terlihat ragu-ragu membiarkan suaminya itu untuk menurunkan resletingnya.     

Dengan hati yang sangat berdebar dan juga jagung yang serasa akan meledak, Brian mencoba untuk menurunkan resleting itu dengan sangat hati-hati. Sekuat hati dan tenaganya, dia menekan perasaan di dalam dirinya. Pria itu menahan godaan di dalam hatinya. Namun ketika punggung yang begitu mulus terpampang di depannya, Brian seolah kehilangan akal sehatnya. Pria itu langsung memeluk Imelda cukup erat. "Biarkan aku memelukmu sebentar saja," ucapnya tanpa melepaskan sang istri.     

"Apa yang kamu lakukan, Brian?" protes Imelda tanpa mampu menatap wajah sang suami.     

"Ijinkan aku memelukmu, aku sudah sangat lama menantikan hari ini," sahut Brian tanpa berpikir panjang.     

Sekuat tenaga Imelda melepaskan diri dari pria yang baru saja memeluknya. Dia menatap tajam Brian yang terlihat kecewa setelah wanita itu melepaskan dirinya. "Sudah sangat lama? Apa maksud dari ucapanmu, Brian?" Imelda mencoba untuk mencari tahu sebuah kebenaran yang selama ini sedang ditutupi oleh suaminya itu. Dia sama sekali tak mengerti dengan perkataan suaminya itu. Sebuah tatapan yang begitu tajam dan sangat dalam memancarkan jelas dari sorot mata wanita yang telah sah menjadi seorang istri dari Brian Prayoga.     

Brian tertawa kecil dengan ekspresi yang sedikit aneh. "Maksudku ... sejak kita resmi menjadi suami istri, aku ingin memelukmu," kilahnya pada wanita yang terus menatap dirinya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya. Pria itu tak memiliki nyali untuk mengatakan sebuah kebenaran yang selama ini sedang ditutupinya.     

"Kamu sepertinya melupakan alasan pernikahan kita. Sudah ku katakan berulang kali jika pernikahan ini hanya demi bayi kita kan?" Imelda melemparkan sebuah senyuman kecut pada pria yang sedang berdiri sambil memandangi dirinya. "Lagi pula ... tubuhku tak se-sexy wanita-wanita yang biasa bersamamu itu, kamu tak mungkin bergairah meskipun aku telanjang di depanmu," lanjutnya lagi tanpa perasaan sedikit pun.     

"Cukup!" Brian sedikit meninggikan nada suaranya. Dia merasa kesal dengan ucapan Imelda terhadapnya. Pria itu pun membalikkan badannya dan membelakangi sang istri. "Kamu tak cukup mengenalku, Imelda. Jangan pernah menilai apa yang tidak kamu ketahui," ucap Brian tanpa melihat lawan bicaranya. Sejujurnya dia cukup kesal mendengar cibiran dari wanita yang dicintainya itu. Namun pria itu tak mampu menunjukkan kekesalannya pada calon ibu dari anak-anaknya.     

Di belakang pria itu, Imelda melukiskan senyuman simpul di wajahnya. Dalam hatinya, dia sangat penasaran dengan ucapan Brian yang terdengar cukup menggantung baginya. Ada sebuah rasa penasaran yang menuntut sebuah jawaban dan juga penjelasan. "Balikkan badanmu, Brian! Apa yang sedang kamu sembunyikan dariku?" Wanita itu bertanya dengan wajah yang terlihat sangat tidak sabar.     

Brian pun terpaksa membalikkan badannya dan menatap istrinya dengan penuh arti. "Bagaimana jika aku benar-benar sudah mencintaimu?" Sebuah pertanyaan yang terasa begitu memacu adrenalin bagi seorang Brian Prayoga. Bahkan hatinya lebih berdebar dibandingkan saat menghadapi puluhan musuh di depannya. Pria itu merasa jika jantung seolah akan meledak menunggu respon dari istrinya.     

Bukannya langsung menjawab, Imelda justru menertawakan pria yang berstatus sebagai suaminya itu. Dia merasa pertanyaan yang baru saja diucapkan Brian terlalu tidak masuk baginya. "Jangan mencoba merayuku, Brian! Aku tidak seperti para wanita itu." Sebuah senyuman sini kembali terukir di wajah Imelda Mahendra. "Sudahlah! Kita tak perlu membahas ini lagi, semua sudah jelas. Mulai saat ini, aku ingin kita tertidur di kamar terpisah." Wanita itu langsung melepaskan gaun pengantin yang masih menempel di tubuhnya di hadapan Brian. Bahkan Imelda seolah tak peduli dengan keberadaan pria yang harus menahan gairahnya.     

Rasanya Brian ingin sekali menenggelamkan diri di dalam samudera. Dia merasa jika istrinya itu terlalu meremehkan perasaannya. Namun Brian pun tak mampu menyanggah ataupun membela dirinya sendiri di hadapan wanita itu. "Aku akan tidur di kamar sebelah," ucapnya lirih sambil melangkah meninggalkan kamar tidur miliknya.     

"Tunggu sebentar! Bisakah kamu ambilkan pakaianku di dalam koper yang masih berada di luar," pinta Imelda pada suaminya.     

Brian langsung keluar dari kamar untuk mengambil sebuah koper milik Imelda yang sengaja dibawa Davin sebelum melangsungkan upacara pernikahan mereka. Setelah mendapatkan koper itu, Brian kembali masuk ke dalam kamar di mana istrinya berada. Baru membuka pintu kamar itu, dia disuguhi sebuah pemandangan yang siap untuk meledakkan hati dan juga kepalanya. Seorang Imelda Mahendra berdiri menunggu dirinya hanya dengan pakaian dalam saja. Ingin rasanya Brian membenturkan kepalanya di lantai kamar itu. Seolah wanita di depannya itu sengaja ingin mencobai dirinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.