Bos Mafia Playboy

Takdir Berkata Lain



Takdir Berkata Lain

0Happy Reading     
0

Tiba-tiba saja ponsel milik Davin Mahendra berdering cukup keras. Pria itu langsung menjauhkan diri dari mereka semua untuk menerima panggilan itu. "Ada apa?" tanyanya pada seseorang di dalam ponsel. "Aku akan segera ke lokasi," sahutnya sebelum mengakhiri panggilan telepon itu. Pria itu pun kembali menemui anak dan juga menantunya yang masih berdiri sambil berbincang ringan dengan sang bos mafia. "Imelda. Papa harus pergi sekarang juga, untuk sementara tinggallah di villa Brian. Tempat itu cukup aman untuk tempat tinggal kalian. Dan satu lagi, jangan datang ke rumah sakit dulu. Aku sudah mengatur surat cuti untukmu. Kamu bisa kembali kapan saja di saat kondisi sudah lebih baik," ujar seorang pria yang menjadi anggota BIN itu.     

"Aku bisa kembali ke rumah sakit kapanpun aku mau. Papa tidak berhak untuk mengatur hidupku," sahut Imelda dengan wajah yang terlihat kesal. Dia sangat tak menyukai keputusan sepihak yang diambil ayahnya. Wanita itu selalu saja menentang seorang Davin Mahendra.     

Davin mengerutkan keningnya mendengar tanggapan anaknya itu. "Brian. Aku titip Imelda kepadamu. Ku harap kamu bisa melindunginya dengan nyawamu," pinta pria itu dengan tatapan serius.     

"Baik, Pa. Aku akan melindungi istriku dengan hidup dan matiku," jawab Brian dengan sangat yakin.     

Imelda tersenyum sinis mendengar percakapan kedua pria di hadapannya itu. "Kalian berdua terlalu meremehkan aku. Aku yakin jika aku bisa melindungi diriku sendiri, tak perlu mengkhawatirkan aku seperti itu," ucap wanita yang sedang mengandung penerus dari dua keluarga yang cukup berpengaruh itu.     

Davin Mahendra hanya menggelengkan kepalanya sambil melangkahkan kakinya keluar dari ruangan yang tadinya tertutup rapat itu. Pria itu selalu saja tak sependapat dengan anak perempuannya. Selama ini, Imelda selalu saja menolak keputusan yang diambilnya. Padahal sebagai seorang ayah, Davin hanya ingin yang terbaik bagi anak perempuan satu-satunya itu.     

Begitu Davin dan seluruh anak buahnya meninggalkan lokasi itu, Martin langsung masuk menemui keluarga Prayoga yang masih berada di dalam. "Bos. Ada hal penting yang ingin ku bicarakan," ucapnya dengan wajah cemas dan juga sangat berhati-hati pada perkataannya.     

"Katakanlah!" sahut Adi Prayoga dengan suara yang terdengar sangat jelas.     

Martin terlihat sedikit ragu untuk mengatakan hal itu. Dia pun melihat sekeliling lalu mendekatkan wajahnya di telinga seorang pria yang menjadi bos-nya itu. "Beberapa menit yang lalu, kediaman rumah utama mendapatkan serangan bom," bisiknya pelan. Martin tak mungkin mengatakan hal itu di hadapan orang-orang yang masih berada di sana.     

"Apa! Bagaimana keadaannya sekarang?" Adi Prayoga terlihat cukup terkejut mendengar kabar itu. Dia pun menarik seseorang yang menjadi tangan kanannya itu dan mengajaknya berbicara di tempat yang sedikit jauh dari mereka. "Jelaskan kondisinya!" cetus Adi Prayoga begitu berada di tempat yang berbeda dari beberapa orang itu.     

"Beberapa hari ini kita terlalu lengah hingga musuh berhasil memasang beberapa bom di kediaman utama. Beberapa berhasil di jinakkan namun ada satu bom yang berhasil meledak di dekat gudang. Aku berpikir jika ada mata-mata di antara penghuni rumah utama," jelas Martin dengan panjang lebar.     

Adi Prayoga sama sekali tidak menunjukkan sebuah ekspresi yang berarti. Seolah dia sudah menduga jika hal itu akan terjadi. Pria itu juga tak ingin membahas hal itu di sebuah tempat yang begitu berbahaya bagi mereka. "Kita bicarakan lagi nanti, lebih baik kita kembali ke villa terlebih dahulu. Sepertinya hanya tempat itu yang paling aman untuk sementara waktu." Adi Prayoga pun kembali menemui anak dan juga menantunya. Terlihat beberapa orang sudah meninggalkan ruangan itu, pria itu pun juga ingin segera meninggalkan lokasi itu. "Ayo kita kembali sekarang, lebih cepat lebih baik." Pria itu pun menarik tangan Imelda dan mengajaknya keluar dari bangunan itu. "Ayo, Sayang. Lebih baik kamu kembali bersama Papa saja," ajaknya sambil menggandeng menantunya itu.     

"Papa! Imelda itu istriku, kenapa harus Papa yang menggandengnya?" kesal Brian sambil menyusul ayah dan juga istrinya yang sudah keluar lebih dulu.     

Martin yang melihat momen itu langsung melemparkan senyuman pada Brian. Dia tak mampu menahan diri untuk tidak tertawa karena melihat ekspresi wajah pengantin pria yang terlihat sangat frustasi. "Sebenarnya aku ingin mengucapkan selamat atas pernikahanmu tetapi kamu sedang tidak terlihat bahagia," ledek pria yang baru saja berjalan mendahului sang pengantin pria itu.     

"Sialan kamu, Martin! Bawa Papa pulang bersamamu, aku ingin menghabiskan waktu bersama istriku," seru Brian sangat kesal. Namun Martin sama sekali tak menggubris ucapannya itu. Merasa tak ada yang mempedulikan dirinya, Brian langsung masuk ke dalam mobil di mana Imelda dan ayahnya masuk. Pria itu langsung duduk di samping istrinya.     

Imelda yang melihat suaminya yang masuk dan duduk begitu saja langsung menatapnya tajam. "Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah kamu membawa mobil sendiri?" protes wanita itu pada suaminya.     

Brian langsung tersenyum penuh arti di samping sang istri. "Sayang. Tdakkah kamu sadar ... yang baru saja kamu nikahi itu aku, bukan Papa. Jadi aku lebih berhak atas dirimu," sahutnya sambil menatap Imelda penuh arti.     

"Dasar pria menyebalkan!" kesal Imelda pada pria yang duduk di sampingnya dan membuat mereka berdesakan. Wanita itu langsung menatap sini pada suaminya, dia berpikir jika pria di sampingnya itu bertingkah seperti anak-anak. "Apa Papa tak keberatan kita berdesakan seperti ini?" tanyanya dengan suara lembut dan tatapan penuh arti.     

Adi Prayoga langsung mengembangkan senyuman di wajahnya. Pria itu cukup bahagia menjadikan Imelda sebagai menantunya. Bahkan dia masih belum percaya dengan semua itu, rasanya seperti mimpi bisa menjalin hubungan dengan keluarga Mahendra. "Tak masalah, Sayang. Asal itu bersamamu," jawab Adi Prayoga dengan penuh kasih sayang.     

Brian pun merasa lega sekaligus kesal pada jawaban yang diberikan oleh ayahnya. "Ku dengarkan sejak tadi ... Papa selalu memanggil Imelda dengan sebutan 'sayang', bukankah itu sedikit berlebihan?" protes Brian pada ayahnya. Pria itu menjadi sedikit kesal dengan panggilan khusus yang diberikan oleh ayahnya pada wanita yang baru saja sah menjadi istrinya.     

"Tidak ada yang berlebihan. Kamu saja yang berlebihan, Brian!" ketus Imelda pada pria di sebelahnya. Wanita itu semakin kesal melihat tingkah suaminya yang semakin menyebalkan baginya.     

Sedangkan Adi Prayoga hanya senyum-senyum sendiri melihat kelakuan anak dan juga menantunya itu. Meskipun mereka berdua terlihat tidak akur, dia sangat tahu jika Brian benar-benar mencintai Imelda. Jauh sebelum kecelakaan itu terjadi. Bahkan sejak masih sekolah, Brian pernah menceritakan tentang Imelda kepada sang ayah. Sayangnya, dengan sangat tegas Adi Prayoga melarang Brian untuk mencintai teman SMA-nya itu. Dia tak ingin jika keluarganya harus terlibat dengan keluarga Mahendra. Namun takdir berkata lain, mereka berdua justru dipersatukan dengan cara yang tidak terduga.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.