Bos Mafia Playboy

Mengkhianati Natasya?



Mengkhianati Natasya?

0Menjelang acara pernikahan duo pasangan Martin dan juga Vincent, segenap keluarga semakin sibuk dengan berbagai macam persiapan. Kali ini, Brian dan juga Kevin yang harus bekerja keras. Mereka tak mungkin meminta calon pengantin untuk mempersiapkan sendiri pernikahannya.     
0

Mau tak mau, kedua sahabat itu harus bekerja keras untuk mengurus banyak hal. Untung saja, Imelda tak merengek untuk ikut suaminya. Setidaknya hal itu bisa mengurangi kecemasan Brian terhadap wanita hamil yang semakin manja bersamaan kehamilannya yang semakin membesar.     

"Sepertinya akan ada pernikahan lain di gedung sebelah," celetuk Brian saat melihat sebuah gedung pernikahan mewah yang juga berada di area hotel itu.     

Kevin yang tadinya sedang sibuk mengawasi beberapa orang yang sedang menurunkan berbagai macam dekorasi, akhirnya melihat ke arah yang sama seperti Brian. Dia memperhatikan jika memang ada sebuah persiapan pernikahan di gedung sebelah.     

"Dilihat dari orang-orang yang berada di sana, mereka semua bukanlah orang biasa," sahut Kevin sembari memeriksa sendiri beberapa barang yang baru saja selesai diturunkan.     

"Kenapa Papa Davin justru meminta kita mengurus semuanya sendiri. Bukankah kita bisa membantu WO untuk mengurus pernikahan Martin dan juga Kak Vincent?" Brian sedikit kesal karena ayah mertuanya meminta dirinya turun tangan sendiri untuk mengurus semuanya.     

Sahabat dekat Brian itu hanya menggelengkan kepalanya tanpa menanggapi ungkapan kekesalan dari menantu Davin Mahendra. Tak ingin melihat kekesalan sahabatnya, Kevin pun berangsur masuk ke dalam bersama beberapa orang yang membantunya mengurus semuanya.     

Mau tak mau, Brian juga bergegas mengikuti pemilik klinik itu. Dia tak mungkin berada di depan hotel tanpa melakukan apapun.     

"Kevin! Apa kamu sudah melakukan tes DNA pada Laura dan juga Tante Verlita?" tanya Brian sembari berjalan di belakang Kevin yang tadi sempat berjalan lebih dulu.     

"Hasilnya akan keluar besok pagi," jawab Kevin tanpa melihat lawan bicaranya. Dia sedang sibuk untuk memeriksa beberapa hal yang mungkin saja masih diperlukan untuk pesta pesta pernikahan dari saudara perempuan yang baru kemarin diketahuinya.     

"Bukankah menggunakan sampel darah hasilnya akan lebih cepat?" Lagi-lagi Brian berpura-pura memahami hal itu, jelas-jelas di antara mereka berdua, hanya Kevin yang berprofesi sebagai dokter.     

Kevin meletakkan segala kesibukan yang dilakukannya, kemudian memalingkan wajahnya ke arah Brian. Sebuah tatapan kesal diperlihatkan Kevin pada sahabatnya itu.     

"Sepertinya kamu lebih mengerti tentang itu. Kenapa tak menjadi dokter sana kamu, Brian?" ledek Kevin dalam senyuman sinis yang sengaja dimaksudkan untuk meremehkan Brian.     

"Kamu sengaja meledek aku! Mentang-mentang kamu seorang dokter." Brian mulai ikut kesal dengan sindiran Kevin kepadanya. Sebenarnya dia dulu juga ingin menjadi seorang dokter seperti ibunya, sayangnya Brian merasa tak sanggup untuk menjalani pendidikan kedokteran yang cukup panjang.     

Di saat kedua pria itu sedang saling meledek, mereka tak sadar saat Davin Mahendra sudah berjalan ke arah mereka. Tak biasanya pria tua itu datang sendirian ke dalam keramaian.     

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Davin Mahendra yang tiba-tiba sudah berdiri tak jauh dari kedua sahabat itu.     

Brian tampak terkejut dengan kedatangan ayah mertuanya, dia pun membalikkan badannya lalu menyambut kedatangan Davin Mahendra.     

"Papa! Apakah Papa datang sendirian?" tanya Brian pada ayah dari istrinya. Dia tak melihat seorang pun yang datang bersama dengan ayah mertuanya itu.     

"Tidak. Aku datang bersama beberapa orang lalu mereka harus mengurus beberapa hal penting." Begitulah jawaban Davin Mahendra yang terdengar menggantung dan tak menjelaskan apapun.     

Pria penguasa Kediaman Mahendra itu mendekati Kevin dalam perasaan cemas yang tak bisa ditutupi. Tampak ada hal yang sangat penting yang harus dikatakan Davin Mahendra.     

"Dokter Kevin! Aku meminta sedikit bantuanmu di acara pernikahan besok. Kuharap Dokter Kevin bisa lebih memperhatikan Imelda, aku khawatir jika terjadi sesuatu dengan kehamilannya." Tanpa menjelaskan dengan lebih lanjut, Kevin langsung memahami maksud dari kecemasan Davin Mahendra kepada anaknya. Terlebih ... Imelda bukanlah sosok wanita yang mudah diatur.     

"Saya mengerti, Om," jawab Kevin sangat menyakinkan.     

Bukan hanya Davin Mahendra, Brian juga sangat mengkawatirkan istrinya. Apalagi itu merupakan kehamilan pertama bagi Imelda. Brian sudah menyiapkan beberapa ambulans lengkap dengan beberapa dokter untuk mengantisipasi hal-hal yang tak terduga.     

Di tempat lain, Natasya baru saja mendapatkan seorang pengunjung yang tak lain adalah orang kepercayaannya sendiri. Mereka sedang membicarakan sebuah misi yang sangat berbahaya dan juga melibatkan orang-orang penting di negeri itu.     

"Apakah semua berjalan sesuai rencana?" tanya Natasya dalam suara dingin yang cukup mengintimidasi lawan bicaranya.     

"Semua sudah sesuai rencana Anda, Nyonya. Seluruh titik lokasi sudah terpasang bahan peledak seperti yang Anda katakan." Pria itu sedang menjelaskan tentang segala persiapan menjelang pernikahan Martin dan juga Vincent.     

Natasya tiba-tiba terdiam pandangan yang terlihat sangat menyedihkan. Ada sesuatu yang seakan berusaha untuk menahannya agar tak melakukan hal berbahaya itu.     

"Hanya Brian yang menjadi beban terberat ku saat ini. Jika rencana ini berhasil, itu artinya aku telah membunuh anakku sendiri. Namun aku tak memiliki cara lain untuk membalaskan segala dendam dan rasa sakit hatiku pada mereka semua." Natasya terdengar sangat sedih dan juga tak rela jika harus kehilangan anak semata wayangnya. Sayangnya ... dia tak memiliki cara lain selain hal itu.     

"Kita masih bisa menggagalkan rencana ini, Nyonya. Dua hari tentunya sangat cukup untuk membersihkan lokasi itu." Pria itu berusaha untuk mengingatkan Natasya agar tak melakukan kekejian itu.     

Wanita itu justru tersenyum kecut mendengar perkataan orang kepercayaannya sendiri. Natasya tak mungkin bisa menggagalkan rencana itu setelah dia membayar mahal beberapa orang profesional. Segala dendam di dalam hatinya tak akan mungkin terhapus sebelum mereka menerima kematian.     

"Setelah aku mempertaruhkan segalanya, kamu menyarankan untuk menggagalkan rencana ini? Apakah kamu takut?" ledek Natasya pada sosok pria yang mulai ragu untuk melakukan sebuah kejahatan yang sangat menakutkan. Bukan tentang hukuman yang mungkin saja akan diterimanya. Melainkan sebuah dosa yang mungkin saja tak akan bisa ditanggungnya seumur hidup.     

"Bukan begitu, Nyonya. Saya hanya memikirkan nyawa orang-orang yang tak bersalah. Apalagi jika mereka sampai menjadi korban dari pembalasan dendam ini," peringat seorang pria yang duduk tepat di hadapan Natasya.     

Perkataan itu terdengar seperti sebuah pengkhianatan bagi Natasya. Bagaimana pria itu bisa mengatakan dengan begitu mudah? Padahal wanita itu sudah membayar mahal dirinya.     

"Apakah setelah aku berada di balik jeruji besi, kamu berpikir untuk mengkhianati aku?" geram Natasya karena ucapan seorang pria yang selama ini sudah sangat dipercayainya.     

"Saya tidak berani, Nyonya!" sahut pria itu dalam balutan wajah yang sangat pucat karena ketakutan. Dia sangat tahu ... meskipun Natasya berada di balik penjara, wanita itu bisa melakukan apapun kepada siapapun.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.