Bos Mafia Playboy

Impoten?



Impoten?

0Brian dan juga Imelda langsung terkekeh menertawakan rengekan Eliza terhadap Martin. Tak menyangka jika seorang jaksa muda yang cukup ternama bisa bertingkah manja seperti seorang anak kecil yang meminta jajan. Benar-benar terlalu menggelikan bagi setiap mata yang melihatnya.     
0

"Papa Adi pasti akan setuju jika kalian menikah di hari yang sama. Bukankah begitu, Brian?" Imelda berusaha untuk menyakinkan hal itu pada suaminya.     

"Tentu saja. Papa sudah menganggap Martin seperti anaknya sendiri. Sepertinya akan menghemat biaya jika kalian menikah secara bersamaan," cibir Brian Prayoga pada dua pria yang sudah tak sabar untuk melepaskan masa lajangnya.     

Sontak saja, Vincent melirik kesal ke arah adiknya. Ucapan Brian terdengar seolah Keluarga Prayoga sudah kekurangan kekayaan saja. Hal itu tentunya terdengar tak nyaman di telinga kekasih dari Laura itu.     

"Dasar adik yang pelit! Dengan kakak sendiri hitung-hitungan seperti itu," kesal Vincent dalam wajahnya yang sangat masam. Padahal Brian justru menertawakan kekesalan dari kakak laki-lakinya.     

"Sudahlah, Kak. Jangan membuat keributan di sini, Brian hanya bercanda saja." Imelda berusaha untuk melerai kedua pria yang sangat disayanginya itu. Dia tak ingin mereka berdua membuat kekacauan di rumah sakit.     

Kemudian Imelda melangkah kakinya untuk lebih dekat dengan Martin dan Eliza. Dia tak melupakan alasan kedatangan mereka ke rumah sakit selain ingin menjenguk Eliza.     

"Ada yang ingin kutanyakan padamu, Martin? Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya saja ... aku tak bisa menahan rasa penasaran di dalam hati." Imelda memandang Martin dan Eliza secara bergantian. Ada sesuatu yang membuatnya harus membuatnya menanyakan hal itu pada mereka berdua. "Bukti apa yang sebenarnya kamu berikan pada Eliza hingga membuat Mama Natasya tak bisa lolos kali ini?" tanyanya.     

Martin akhirnya mengingat jika dirinya masih belum memberitahukan segala rencana yang telah disusunnya sejak lama. Semua itu dilakukannya semata-mata hanya untuk kebaikan ketiga keluarga yang telah menjadi korban kekejian Natasya.     

"Selain mengumpulkan beberapa bukti kejahatan Natasya, aku juga mengumpulkan bukti-bukti kejahatan dari orang-orang yang selama ini mendukung mangan istri Bos Adi Prayoga. Sepertinya, Rizal Hartanto sangat mengerti dengan sebuah rencana yang sudah aku susun. Hanya saja, aku masih khawatir jika Natasya masih memiliki beberapa orang yang begitu loyal bekerja untuknya." Martin menjelaskan segala rencana yang telah disusunnya sejak lama. Bahkan dia melibatkan seorang profesional untuk mendapatkan seluruh bukti kejahatan para pendukung Natasya.     

"Tunggu, Martin!" Brian langsung bergegas menghampiri istrinya. Dia ingin memperjelas kalimat terakhir yang dikatakan oleh Martin. "Apa maksudmu ... meskipun Mama sedang mendekam di penjara, dia masih bisa mengirimkan orang bayaran untuk mencelakakan keluarga kita?" tanya Brian dalam perasaan sangat cemas.     

Selama ini Natasya selalu menargetkan Imelda dalam setiap rencana jahatnya. Bahkan sudah tak terhitung seberapa sering wanita itu hampir menghilangkan nyawa putri kandung dari Irene itu.     

Suasana mendadak menjadi mencekam, ada sebuah perasaan terancam yang singgah di dasar hati. Mereka semua tak bisa memprediksi apa yang akan dilakukan oleh Natasya. Hal itu membuat Martin harus berpikir keras untuk melindungi mereka semua.     

"Mungkin saja, dulu Tante Natasya hanya menargetkan Imelda saja. Namun sekarang, segalanya telah berbalik arah dan sulit diprediksi. Bahkan dia hampir saja mencelakakan Eliza dan juga ayahnya," celetuk Vincent dengan segala analisa yang tengah dipikirkannya. Dia berpikir jika rencana Natasya pasti akan berubah total sejak dirinya mendekam di balik jeruji besi.     

"Vincent benar! Justru sekarang, kita harus lebih berhati-hati lagi dari sebelumnya. Namun ... Imelda tetap menjadi prioritas dalam pengamanan kita." Entah mengapa, Martin masih saja mengkhawatirkan keselamatan Imelda. Dia tak ingin terjadi apa-apa pada wanita itu.     

Sejak tadi Eliza terlihat sangat serius memikirkan perkataan mereka. Meskipun dia merasa sedikit cemburu karena kekasihnya begitu peduli pada Imelda, wanita itu tak ingin menjadikan matanya buta karena keegoisan untuk memiliki Martin. Dia tentunya sangat tahu jika prioritas utama dari kekasihnya itu adalah Keluarga Prayoga.     

"Sebenarnya aku sangat cemburu pada Imelda. Dia bisa begitu banyak mendapatkan perhatian dari kekasihku." Ucapan Eliza itu tentunya mengundang perhatian mereka semua. Seketika itu juga, beberapa pasangan mata melemparkan tatapan tajam ke arahnya. Tentunya hal itu sangat mengintimidasi dirinya.     

"Apakah kamu benar-benar cemburu dengan Imelda? Bukankah aku sudah menjelaskan alasanku untuk memprioritaskan menantu dari Keluarga Prayoga?" Martin tampak tak suka dengan ucapan Eliza barusan. Seolah wanita itu sama sekali tak memberikan kepercayaan terhadap dirinya. Padahal mereka berdua sering membahas hal itu satu sama lain.     

Eliza justru tersenyum lembut pada kekasihnya. Dia tahu jika Martin menjadi sangat kesal atas perkataannya itu. Terlebih, pria itu terdengar memberikan beberapa penekanan pada beberapa kata yang baru saja diucapkannya.     

"Jangan marah dulu, Martin. Kecemburuan itu adalah sifat manusiawi di dalam diriku. Namun perasaan cintaku untukmu telah merubah pandanganku terhadap Imelda. Aku tahu jika istri Brian Prayoga sudah seperti adik perempuan bagimu. Dan satu hal yang paling penting .... Sepertinya Tante Natasya berusaha untuk mencelakakan bayi di dalam perut Imelda. Dia tak pernah menginginkan cucunya lahir dari seorang Imelda Mahendra." Eliza berusaha untuk menjelaskan semuanya. Dia tak mau Martin sampai marah ataupun kesal terhadap dirinya. Bukan hanya Martin saja, Eliza juga ikut mencemaskan keselamatan cucu pertama dari kedua keluarga adikuasa itu.     

Sebuah kecupan hangat yang penuh perasaan dihadiahkan Martin untuk kekasihnya. Dia merasa sangat beruntung bisa memiliki Eliza di sisinya. Sosok wanita yang selalu berusaha untuk mengerti kondisi dan juga posisinya.     

"Terima kasih, Eliza," ucap Martin sangat tulus pada seorang wanita yang berstatus sebagai seorang pasien itu.     

"Terima kasih? Untuk apa, Martin? Bahkan aku belum memberikan kamu apapun, kamu selalu menolak setiap aku ingin memberikan semuanya." Eliza menahan senyuman di wajahnya karena menyadari kekasihnya menjadi sangat malu di hadapan mereka semua. "Coba kamu belajar menjadi pria brengsek seperti Brian Prayoga, aku akan lebih bahagia menjadi kekasihmu," ledek Eliza lagi.     

"Jangan bawa-bawa namaku, Eliza! Tentunya aku tak bisa dibandingkan dengan kekasihmu yang tak bisa .... " Belum juga menyelesaikan ucapannya, Brian sudah mendapatkan sebuah cubitan menyakitkan dari istrinya.     

Imelda menajamkan matanya pada sang suami, dia tak ingin Brian memprovokasi hubungan mereka berdua.     

"Tutup mulutmu, Brian!" bentak Imelda dengan wajah kesal.     

"Tunggu! Martin tak bisa apa, Brian?" Eliza semakin penasaran apa yang ingin dikatakan oleh Brian tadi. Seharusnya Imelda tak perlu menghentikan ucapan suaminya. Hal itu hanya menambahkan teka-teki di kepala mereka.     

Dalam kecurigaan yang semakin memuncak, Eliza lalu memandang kekasihnya dengan penuh pertanyaan. Dia tak mungkin menahan sesuatu yang mulai bergemuruh di dalam hatinya.     

"Kamu tidak impoten 'kan, Martin?" tuduh Eliza pada kekasihnya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.