Bos Mafia Playboy

Aku Bukan Lagi Pamanmu



Aku Bukan Lagi Pamanmu

0Semua orang langsung memandang ke arah yang sama. Pandangan mereka terfokus pada Davin Mahendra. Tentunya mereka sangat penasaran pada jawaban atas pertanyaan dari Adi Prayoga.     
0

Tatapan mereka semua cukup mengintimidasi seorang Davin Mahendra. Dia merasa jika semua orang sedang berusaha untuk menelanjangi dirinya. Tak ada jalan lain selain mengatakan kebenaran yang diketahuinya.     

"Irene juga tak mengetahui jika Vincent adalah anaknya dan dirimu." Begitulah jawaban singkat Davin Mahendra atas pertanyaan dari sahabatnya. Dia merasa jika sudah tak ada rahasia lagi yang masih tertutup rapat. Beban di pundaknya seakan baru saja terangkat. Davin Mahendra sangat lega bisa mengatakan semuanya di saat segalanya belum terlambat.     

"Kalau Irene saja tak mengetahuinya, bagaimana Natasya seakan telah mengetahui kebenaran itu?" tanya Adi Prayoga. Bukan hanya pria itu yang sangat penasaran. Semua orang di sana pasti juga sangat penasaran dengan kebenaran itu.     

Terlalu keras berpikir, mereka semua hampir melupakan seorang wanita yang sedang berjuang di dalam ruang operasi. Meskipun operasinya telah selesai, Laura harus berjuang untuk segera tersadar dari kondisinya.     

Imelda baru tersadar jika dia keluar untuk memberitahukan kondisi Laura. Namun wanita itu justru ikut tenggelam dalam sebuah kebenaran yang sangat mengejutkan untuknya.     

"Oh iya ... operasi Laura sudah berhasil. Aku dan Dokter Kevin sudah berhasil mengeluarkan peluru yang menembus dadanya. Untung saja peluru itu tak mengenai jantungnya atau organ vital lainnya," jelas Imelda atas kondisi dari calon kakak iparnya. Dia sempat panik saat kakaknya membawa Laura dalam kondisi yang berlumuran darah. Bahkan kesadarannya hampir hilang.     

"Syukurlah. Terima kasih, Imelda." Vincent mengatakan hal itu dengan sangat tulus. Jika Imelda tak berada di sana, dia tak bisa membayangkan hal buruk apa yang mungkin terjadi pada kekasihnya.     

Imelda mengulum senyuman pada kakak laki-lakinya lalu menatapnya cukup serius. Seolah dia ingin mengetahui sesuatu yang masih belum dikatakan oleh mereka semua.     

"Tunggu dulu .... Siapa sebenarnya yang telah menembak Laura?" Imelda memandangi mereka semua satu persatu. Dia harus tahu bagaimana calon kakak iparnya itu hampir merenggang nyawa karena sebuah peluru yang menembus dadanya.     

"Papa yang tanpa sengaja menembak Laura, Sayang." Adi Prayoga sengaja ingin menutupi kesalahan anak kandungnya. Dia tak ingin jika Vincent sampai terpuruk dengan hal itu.     

Vincent langsung saja menatap ayah kandungnya itu. Dia merasa bersalah karena telah berniat untuk membunuh ayahnya sendiri. Terlebih, kekasihnya harus terluka karena telah melindungi ayahnya.     

"Aku yang menembak Laura," celetuk Vincent tanpa keraguan sedikit pun.     

"Apa!" Imelda masih mencoba untuk memahami jawaban dari kakaknya. Dia tak percaya jika Vincent akan menembak kekasihnya sendiri. Hal itu terdengar begitu kejam di telinga Imelda.     

Melihat kejujuran Vincent yang setengah-setengah, Davin Mahendra pun berpikir untuk mengatakan semuanya. Dia tak ingin jika mereka semua harus menutupi sebuah kesalahan lalu melakukan banyak kesalahan lainnya.     

Pria itu pun berjalan ke arah Imelda dan juga Vincent yang sedang berdiri saling berhadapan. Davin Mahendra sengaja berdiri di antara mereka berdua.     

"Vincent ingin menembak Prayoga. Dan Laura tiba-tiba datang dan menghalangi tembakan yang diarahkan pada ayah mertuamu," terang Davin Mahendra pada mereka semua.     

"Apa!" Brian dan juga Imelda merespon hal itu dengan perkataan sama. Pasangan itu lalu melemparkan sebuah tatapan tajam pada Vincent.     

Merasa sangat bersalah dan juga telah terpojok, Vincent pun membalikkan badannya ke arah Adi Prayoga. Dia memandang pria itu dengan perasaan yang tidak karuan.     

"Maafkan aku, Om. Aku terlalu bodoh telah mempercayakan Tante Natasya." Vincent bermaksud untuk berlutut dan memohon pengampunan dari ayah kandungnya. Namun, Adi Prayoga lebih dulu menghalanginya dan justru memeluk kakak dari Imelda dan Brian itu.     

Rasanya segala penyesalan dan juga kegalauan di dalam hati dua pria itu berubah. Mereka berdua sama-sama merasa sebuah perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.     

"Ingatlah hal ini! Aku bukan lagi pamanmu. Panggil aku 'Papa', aku akan sangat senang jika kamu mau melakukannya." Sebuah permintaan yang cukup sederhana namun telah berhasil menyentuh hati mereka semua.     

Tak hanya Imelda yang menumpahkan air matanya, Vincent bahkan juga tak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Pria itu tak peduli jika mereka semua menganggap dirinya sangat lemah.     

"Maafkan aku, Pa. Aku menyesal telah melakukan kebodohan itu," sesal Vincent dalam suara lirih di dalam pelukan ayah kandungnya. Dia benar-benar menangis, menyesali segala kebodohan dan juga sikap tak sopannya pada Adi Prayoga.     

Vincent bertekad untuk melupakan semuanya dan memulai lembaran baru dalam hidupnya. Memiliki dua ayah yang sangat hebat adalah sebuah keberuntungan terbesar baginya.     

"Sudah lupakan semuanya. Cepat lepaskan pelukanmu ini, sebelum Mahendra terbakar dengan kecemburuan," goda Adi Prayoga sembari melirik seorang pria yang sudah berdiri di samping Jeffrey.     

Tawa mereka pecah saat mendengar candaan dari Adi Prayoga. Vincent dan juga Brian juga ikut tersenyum memecahkan ketegangan di antara mereka semua.     

Mereka pun mengobrol di depan ruang operasi sambil menunggu Laura sadar. Setelah beberapa saat kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Kevin keluar dengan wajahnya yang tampak lebih baik dari saat masuk ke dalam ruang operasi.     

"Laura baru saja tersadar. Dia ingin bertemu dengan Anda semua." Kevin mengatakan hal itu dengan tutur yang begitu sopan. Dia sangat menghormati ketiga pria hebat yang juga berada di depan ruang operasi. "Silahkan tunggu dulu sebentar. Laura akan segera dipindahkan ke ruang perawatan," lanjutnya.     

Kevin kembali masuk untuk memeriksa beberapa hal sebelum Laura dipindahkan dari ruangan itu. Dia ingin memastikan jika kondisi wanita itu sudah benar-benar stabil.     

"Apakah kamu sudah siap untuk bertemu dengan mereka, Laura?" Wanita itu tersenyum tipis lalu menganggukkan kepalanya. Laura juga ingin melihat Vincent berhubungan baik dengan ayah kandungnya.     

Jika mereka sedang berada di rumah sakit, tak mungkin semua orang bisa masuk untuk menemui seorang pasien yang baru selesai operasi. Untung saja, Vincent membawa kekasihnya itu ke klinik Kevin bukan ke sebuah rumah sakit besar yang memiliki banyak peraturan.     

Begitu Laura dibawa keluar dari sana, mereka semua segera menyusul dua orang perawat yang sedang mendorong ranjang di mana Laura terbaring. Rasanya sudah tak sabar untuk memastikan jika wanita itu benar-benar baik-baik saja.     

Untung saja, Kevin menempatkan Laura di sebuah ruangan yang cukup besar. Mereka tak perlu berdesak-desakan untuk berada di sana.     

"Apa kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Vincent yang lebih dulu masuk untuk melihat kekasihnya. Dia memegang jemari tangan Laura dan mengecupnya berkali-kali. Bahkan pria itu telah melupakan jika mereka semua sedang berdiri di belakangnya.     

Laura tersenyum penuh arti pada kekasihnya. Ia tahu jika Vincent benar-benar mencemaskan keadaannya.     

"Sejak kapan kamu memanggil aku dengan sebutan itu, Vincent?" tanya Laura dengan rasa sakit yang bercampur dalam kebahagiaan.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.