Bos Mafia Playboy

Keluarlah, Brian!



Keluarlah, Brian!

1"Hentikan, Imelda!" teriak Eliza dengan dirinya yang berangsur memeluk sang kekasih. Ia tak rela jika Martin harus menanggung sebuah hukuman yang bukan kesalahannya.     
2

Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Imelda saat itu, ia tertawa tanpa mempedulikan perasaan Eliza yang sudah tak karuan. Sedangkan Martin dan juga Adi Prayoga hanya bisa menyaksikan kekejaman dari istri Brian itu.     

"Baiklah. Sepertinya kalian memutuskan untuk sehidup semati," ucap Imelda sangat tegas. Ia kembali membidik pasangan kekasih yang ingin saling melindungi itu.     

Di saat Imelda akan menarik pelatuk senjata di tangannya, tiba-tiba saja ....     

"Hentikan, Nona! Saya akan mengatakan kebenarannya. Bos Martin tak layak menerima hukuman kami," celetuk seseorang dari mereka.     

Saat itu juga, Imelda menurunkan senjata di tangannya. Lalu berjalan ke arah seorang pria yang bersedia untuk mengatakan semuanya. Akhirnya, rencana itu cukup berhasil untuk menggertak mereka semua. Sedikit teriakan dari Eliza, membuat hati mereka tergerak karena pasangan kekasih sehidup semati itu.     

"Kenapa tak sejak tadi kamu berbicara?" Imelda tampak kesal karena harus membuang waktu dan juga tenaganya untuk menggertak mereka semua.     

Pria itu memandang rekan-rekannya sebelum mengatakan kebenaran itu. Mereka tak ingin ada pertumpahan darah di kediaman keluarga Prayoga.     

"Sebenarnya ... semua adalah kesalahan kami. Di saat kami sudah menghajar orang-orang Yudha Fabian, mereka semua langsung masuk ke dalam mobil untuk meninggalkan tempat itu. Di saat mobil itu sudah melaju ... tiba-tiba salah seorang dari dalam mobil mengarahkan senjata ke arah Bos Brian yang akan masuk ke dalam mobil. Saat kami meneriakinya, Bos Brian mencoba untuk menghindar .... Namun tetap saja peluru itu mengenai lengan tangannya." Pria itu mencoba untuk menjelaskan semuanya tanpa menambahkan ataupun menguranginya.     

"Apa Brian yang meminta kalian untuk merahasiakan hal ini?" Meskipun Imelda sudah bisa menebak jawabannya, ia tetap ingin mendengar jawaban dari mereka.     

Kemudian pria yang lain maju beberapa langkah ke depan Imelda. Ia pun menatap istri dari bos-nya itu dengan penuh penyesalan.     

"Benar, Nona. Bahkan kami sempat mendatangi klinik Dokter Kevin. Begitu selesai operasi, Bos Brian langsung mengajak kami semua untuk segera kembali," sahut seorang pria yang lainnya.     

Imelda langsung terdiam dalam pandangan mata yang mulai berkabut. Ia tak menyangka jika Brian akan merahasiakan jika dirinya sedang terluka. Hatinya terasa sangat sesak dan sangat menyakitkan mendengar kebenaran itu. Ia pun terduduk di halaman itu dengan hati yang tak karuan.     

"Kembalilah bekerja!" perintah Adi Prayoga pada beberapa anak buahnya yang tadi datang bersama Brian.     

"Berdirilah, Sayang. Jangan duduk di sana." Adi Prayoga membantu menantunya untuk bangkit dan membawanya duduk di sebuah bangku yang tak jauh dari mereka berdiri.     

Tiba-tiba Eliza merasa sangat menyesal karena sudah meneriaki Imelda. Ia semakin bersalah karena Brian harus terluka saat menyelamatkan dirinya. Hatinya menjadi tidak tenang saat melihat air mata Imelda mengalir di wajahnya.     

"Brian terluka gara-gara aku, Martin. Dan tadi ... aku justru meneriaki Imelda sangat keras," sesal Eliza atas segala perbuatannya yang sangat berlebihan. Bahkan ia sudah mengatai Imelda dengan ucapan yang sedikit kasar.     

"Semua sudah direncanakan oleh Imelda. Ia sengaja memprovokasi dirimu agar mereka semua mau berkata jujur padanya." Martin mencoba menjelaskan sebuah rencana yang sudah begitu apik dimainkan oleh Imelda.     

Martin masih saja melihat wajah kekhawatiran pada Eliza. Ia tahu jika kekasihnya itu merasa bersalah karena telah membuat Brian terluka.     

"Brian sudah biasa terluka. Kamu tak perlu mengkhawatirkan apapun," hibur Martin pada Eliza. Ia pun meminta wanita itu untuk mendorong kursi rodanya dan duduk bersama Imelda dan juga Adi Prayoga di halaman rumah itu.     

"Lebih baik kita tetap berpura-pura tak mengetahui jika Brian telah terluka. Setidaknya kita bisa sedikit menghargai kebohongan pria bodoh itu," pinta Adi Prayoga pada mereka bertiga. Ia berpikir jika berpura-pura tak tahu justru bisa membuat Brian lebih nyaman.     

Mereka semua menyetujui usulan dari Adi Prayoga. Setidaknya hal itu bisa membuat Brian merasa lebih tenang karena ia pikir tak membuat cemas sang istri. Meskipun kenyataannya lebih buruk dari itu.     

"Cepat hapus air matamu, Sayang. Brian sedang berjalan ke arah kita," ucap Adi Prayoga pada menantu kesayangannya yang duduk di sebelahnya.     

Dan benar saja, Brian berjalan ke arah mereka dengan penampilan yang cukup rapi. Wajahnya juga terlihat lebih segar dari sebelumnya. Pria itu tersenyum hangat yang penuh arti pada mereka semua.     

"Kenapa justru pindah ke sini saat hari hampir gelap?" Brian cukup penasaran alasan mereka duduk di luar saat menjelang petang.     

"Aku mengajak mereka ke sini, Brian. Rasanya sumpek berada di dalam terus." Martin menjawab pertanyaan itu agar Imelda tak perlu menjelaskan apapun pada suaminya.     

Adi Prayoga lalu pamit untuk mandi dan lain-lain. Sang bos mafia itu sudah terlalu lama duduk bersama mereka seharian. Ia pun juga perlu membereskan beberapa pekerjaannya.     

Imelda memandang wajah suaminya dalam tatapan aneh yang sulit untuk diartikan. Ia berharap jika Brian sama sekali tak terluka setiap meninggalkan rumah itu. Hal itu juga yang selalu membuat wanita itu selalu mengkhawatirkan suaminya.     

"Mengapa kamu memakai baju berlengan panjang? Bukankah kamu jarang memakai baju ini?" tanya Imelda pada pria yang duduk di sampingnya.     

"Sudah lama tidak dipakai. Rasanya sayang saja kalau hanya menumpuk di lemari pakaian," jawab Brian tanpa ada kecurigaan apapun terhadap pertanyaan istrinya.     

Tak lama kemudian, Martin dan Eliza juga pamit untuk masuk duluan. Mereka juga harus melakukan banyak hal sebelum hari semakin gelap.     

Tinggallah Brian dan juga Imelda duduk berduaan di bangku yang ada di tengah-tengah halaman. Mereka hanya duduk berdua tanpa mengatakan apapun.     

"Ayo kita juga masuk, Sayang. Kamu juga belum mandi 'kan? Sebentar lagi makan malam, Sayang," bujuk Brian pada wanita yang tiba-tiba menjadi lebih banyak diam dari biasanya.     

Tak bisa menolak keinginan suaminya, Imelda bangkit dari kursi lalu masuk ke dalam kamarnya bersamaan dengan Brian yang juga ikut serta. Pria itu langsung masuk ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untuk istrinya. Begitu semua siap, Brian pun memanggil Imelda untuk segera masuk ke kamar mandi.     

"Sayang! Air hangatnya sudah siap," seru Brian dari dalam kamar mandi. Saat menunggu Imelda tak kunjung masuk, ia pun menghampirinya. Wanita itu terlihat melamun di pinggiran ranjang.     

"Aku akan membantumu untuk mandi, Sayang." Brian dengan sangat hati-hati melepaskan pakaian Imelda lalu mengajaknya masuk ke dalam kamar mandi.     

Imelda lalu masuk ke dalam bathtub berisi air hangat yang sudah disiapkan oleh suaminya. Ia hanya terdiam tanpa mengatakan apapun.     

"Aku akan menggosok punggungmu, Sayang," ucap Brian lembut.     

"Keluarlah, Brian! Aku ingin mandi sendiri," usir Imelda pada seorang pria yang sudah memperlakukan bak seorang ratu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.