Bos Mafia Playboy

Kecemasan Adi Prayoga



Kecemasan Adi Prayoga

0Begitu kembali dari hotel, Imelda langsung menuju ke kamar Martin. Ia cukup cemas karena meninggalkan pria itu sejak semalam. Tanpa mengetuk pintu, Imelda memutar handle pintu lalu mendorongnya.     
0

"Apa kamu baik-baik saja, Martin?" tanya Imelda pada seorang pria yang terlihat sangat serius menatap layar monitor.     

Martin sedikit terkejut melihat kedatangan Imelda yang tiba-tiba saja berada di kamarnya. Padahal ia tahu jika pasangan itu tak pulang sejak semalaman.     

"Sepertinya rencana kalian sangat lancar," celetuk Martin dalam balutan senyuman penuh arti pada wanita di depannya.     

"Eliza pasti sudah memberitahu semuanya." Imelda merasa sangat yakin jika pasangan kekasih itu pasti sudah saling memberikan kabar satu sama lain. Apalagi hal itu juga akan melibatkan Martin.     

Martin menutup laptopnya lalu meletakkannya di atas ranjang. Ia pun memandang sosok wanita yang sudah sangat bekerja keras untuk memecahkan teka-teki dalam keluarganya.     

"Eliza menghubungiku pagi ini hanya untuk menanyakan tentang Yudha Fabian. Ia berpikir jika pria itu adalah saksi kunci atas kematian mamamu," terang Martin pada seorang wanita yang justru terlihat bingung akan penjelasan dari pria itu.     

"Apa maksudmu, Martin? Apa Mama Natasya sengaja membayar Yudha Fabian untuk menghabisi Mama Irene?" Hanya itu saja yang terlintas di pikiran Imelda. Ia tak memiliki pikiran lain tentang hubungan Yudha Fabian dengan kematian ibunya.     

Pria itu tak langsung menjawab pertanyaan Imelda. Ia sendiri juga masih belum yakin dengan jawabannya.     

"Aku masih menyimpan tanda tanya besar dalam hal itu. Semuanya terasa sangat abu-abu. Semoga saja kakiku bisa lekas pulih dan aku bisa menemui Yudha Fabian secepatnya." Itulah harapan Martin atas dirinya. Dia juga tak ingin hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun untuk membantu mereka semua.     

"Apa kamu memiliki hubungan baik dengan penjahat itu?" Imelda terlalu kesal hingga menyebutkan Yudha Fabian dengan kata sedikit kasar.     

Meskipun bukan sebuah hubungan yang baik, Martin memang memiliki hubungan khusus dengan pria itu. Ia berharap jika kisah mereka di masa lalu mampu membuat Yudha Fabian mau membuka kebenaran tentang insiden kecelakaan yang telah menewaskan Irene Mahendra.     

"Tak sedekat itu, Imelda." Hanya jawaban singkat itu yang dilontarkan oleh Martin kepadanya. Hal itu semakin membuat Imelda sangat penasaran dengan hubungan mereka berdua.     

Setelah pembicaraan singkat itu, Imelda pun bergegas untuk memeriksa kondisi kaki Martin. Terakhir kali kedatangan Dokter Dennis di rumah itu, meminta mereka semua agar lebih memperhatikan kondisi kaki orang kepercayaan keluarga Prayoga. Jangan sampai Martin membuat kakinya benar-benar tak berguna karena terlalu memaksa untuk lekas berjalan.     

"Bagaimana keadaannya, Sayang?" Tiba-tiba Brian masuk ke ruangan itu, saat Imelda sedang memeriksa kaki Martin.     

"Sepertinya sudah lebih baik. Semoga saja beberapa hari ke depan sudah bisa berjalan dengan normal." Imelda lalu bangkit dari hadapan Martin dan duduk tak jauh dari suaminya.     

"Brian .... Bisakah kamu membantu Martin untuk mandi? Eliza tak sempat mampir ke sini, setidaknya kamu bisa membantunya," pinta Imelda dalam tatapan tajam penuh tekanan.     

Brian pun langsung melebarkan matanya, ia tak menyangka jika istrinya itu justru memintanya untuk membantu Martin mandi. Padahal banyak pria yang bekerja di rumah itu. Seharusnya tak masalah jika memanggil salah satu dari mereka.     

"Jika kamu tak mau, aku bisa membantunya sendiri." Ucapan Imelda kali ini terdengar seperti ancaman bagi Brian. Lagi-lagi wanita itu harus menggunakan senjata pamungkas agar suaminya itu segera bergerak.     

"Biar aku saja, Sayang. Kamu bisa menunggu di luar." Dengan senyuman kecut, Brian mengatakan hal itu pada istrinya. Sudah sangat jelas jika dirinya tak mungkin bisa menolak permintaan Imelda. Pria itu tak mungkin membiarkan istrinya membantu pria lain untuk mandi. Meskipun sebagai seorang dokter bedah, tentunya hal itu sudah biasa bagi Imelda untuk menyaksikan tubuh orang lain.     

Wanita itu hanya tersenyum simpul lalu keluar dari kamar yang dipakai oleh Martin. Ia pun melangkahkan kakinya menuju ke sebuah kursi di teras samping rumah itu. Belum juga sampai di sana, ia melihat ayah mertuanya baru saja tiba di rumah itu.     

"Selamat pagi, Pa," sapa Imelda pada sang bos mafia.     

"Selamat pagi, Sayang. Apa kamu sudah sarapan?" tanya Adi Prayoga pada sang menantu kesayangan.     

Imelda menghampiri ayah mertuanya lalu berdiri tepat di sebelahnya. Ia bisa melihat kegelisahan yang bercampur dengan perasaan cemas tersirat di wajah sosok Adi Prayoga. Hal itu membuat Imelda begitu penasaran akan perasaan ayah mertuanya.     

"Apa Papa sedang sakit?" cemas Imelda karena melihat Adi Prayoga yang begitu tidak tenang.     

"Papa baik-baik saja, Sayang. Apakah ada yang aneh dengan wajah Papa?" Adi Prayoga balik bertanya pada menantunya itu. Ia yakin jika Imelda pas bisa melihat kegelisahan di dalam hatinya. Meskipun ia mencoba untuk menahan, tetap saja Imelda bisa membaca air mukanya.     

Untuk menyamarkan kegelisahan yang begitu jelas di wajahnya, Adi Prayoga mengambil sebotol air dingin dan langsung menghabiskannya dalam satu tegukan. Setidaknya hal itu bisa sedikit mendinginkan suasana dalam dirinya.     

"Papa tampak gelisah dan juga cemas. Bahkan aku melihat semburat ketakutan yang sengaja Papa tutupi itu." Imelda hanya bisa menebaknya saja. Ia sama sekali tak bisa membaca pikiran seseorang.     

Akhirnya Adi Prayoga memilih untuk menyerah. Ia sudah tak bisa menutupi segala perasaan di dalam dirinya. Pria itu memilih pasrah dan mengatakan perasaan cemas yang sangat menggangu hati dan juga pikirannya. Apalagi jika hal itu menyangkut tentang Imelda.     

"Semalam Davin Mahendra datang menemui Papa. Ia menceritakan sebuah rekaman pembicaraan antara Natasya dan juga Teddy Julian." Adi Prayoga tiba-tiba menghentikan pembicaranya. Ia masih saja terlihat gelisah dan juga takut.     

Hal itu menunjukkan sisi lain dari seorang Adi Prayoga. Sang bos mafia yang biasanya tak pernah takut menghadapi apapun, bisa sangat cemas begitu mengetahui kebenaran itu.     

"Apakah Papa takut dengan Mama Natasya?" Akhirnya pertanyaan itu benar-benar keluar dari mulut Imelda. Ia tak bisa menahan dirinya lebih lama lagi.     

"Papa sama sekali tak takut dengan Natasya, Sayang. Hanya saja .... Papa takut jika Natasya benar-benar akan melukaimu," ungkap Adi Prayoga atas segala kegundahan di dalam hatinya. Ia tak mungkin lagi menyembunyikan perasaan itu dari menantu kesayangannya.     

Sebuah ungkapan yang begitu tulus dari Adi Prayoga membuat hati Imelda sangat tersentuh. Ia pun memeluk sang ayah mertua dengan penuh kasih sayang dan juga rasa nyaman.     

"Papa tak perlu mengkhawatirkan aku. Sebisa mungkin aku akan menjaga diriku." Imelda hanya bisa menenangkan hati ayah mertuanya. Ia tak ingin pria tua itu berpikir yang berlebihan. Terlebih sampai stress karena memikirkan dirinya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.