Bos Mafia Playboy

Sebuah Tuduhan



Sebuah Tuduhan

0"Baiklah! Asal kamu baik-baik saja." Akhirnya Eliza memilih untuk mengalah untuk yang kesekian kalinya. Ia juga tak ingin jika hubungan mereka jadi memburuk.     
0

Imelda akhirnya sedikit lega setelah melihat kerelaan hati wanita yang duduk di sebelah Martin. Walaupun bagaimanapun, Eliza berhak tahu kondisi dari kekasihnya itu. Entah itu baik atau buruk, sepertinya tak masalah bagi Eliza.     

"Silahkan dilanjutkan sarapannya," ucap Imelda pada beberapa orang yang menjadi tamu di rumahnya. Dalam perkataan yang sangat tulus, ia mempersilakan mereka semua untuk menikmati hidangan yang sudah tersaji di atas meja.     

Mereka pun melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda. Hingga tak berapa lama, Dennis bangkit dari kursi lalu pamit untuk kembali ke rumah sakit.     

"Aku harus kembali ke rumah sakit. Pastikan jika Martin tak memaksakan diri untuk berjalan," pesan Dennis pada mereka semua. Ia pun segera bergerak ke arah pintu depan rumah itu. Disusul oleh Imelda di belakangnya.     

"Jika terjadi apa-apa, aku akan segera menghubungimu, Dokter Dennis," ujar Imelda sembari berjalan di sebelah rekan dokternya itu.     

Wanita itu mengantarkan Dennis hingga ke halaman depan. Begitu pria itu pergi, Imelda kembali ke meja makan di mana Brian dan juga pasangan kekasih itu masih duduk di sana.     

"Apa kamu akan ke kantor, Eliza?" tanya Imelda pada wanita di sebelah Martin.     

Eliza mengulum senyuman tipis lalu berdiri di sebelah Martin. Ia memandang kekasihnya itu dengan penuh perasaan cinta kasih yang mendalam.     

"Aku akan ke kantor pagi ini. Begitu urusanku sudah selesai, aku kembali ke sini, Imelda," terang seorang wanita yang sudah berpakaian rapi dan terlihat sangat siap untuk bekerja. Sebenarnya, semalam Eliza merasa tak nyaman saat hendak tidur. Ia terus saja memikirkan kekasihnya itu. Hingga keesokan harinya, ia langsung mampir ke rumah itu untuk melihat kondisi Martin.     

Dan ternyata ... firasat Eliza cukup benar. Kondisi buruk benar-benar terjadi pada Martin. Pantas saja, hatinya tak tenang semalaman. Mungkin pasangan itu memang sudah ditakdirkan untuk berbagi kehidupan satu sama lain. Buktinya, Eliza bisa merasakan sebuah firasat atas kondisi kekasihnya itu.     

"Berhati-hatilah, Eliza." Imelda hanya bisa mengatakan hal itu kepada Eliza. Ia sangat berharap jika hubungannya dengan Martin baik-baik saja.     

Saat Imelda hendak mengantar Eliza ke depan, Martin mencoba untuk menghentikan dirinya. Pria itu ingin ia sendiri yang mengantarkan kekasihnya keluar.     

"Biar aku yang mengantarkannya ke depan, Imelda." Ucapan itu membuat Imelda menghentikan langkahnya seketika. Martin pun berusaha untuk bergerak dengan kursi rodanya.     

Eliza yang menyadari hal itu, bergegas balik arah dan membantu Martin untuk mendorong kursi rodanya. Mereka berdua lalu menuju ke depan rumah. Wanita itu seolah sangat tak rela saat akan pergi meninggalkan kekasihnya itu.     

"Apa kamu masih marah denganku, Eliza?" Martin merasa jika kekasihnya memandang dirinya dengan tatapan yang sedikit aneh. Ia takut jika wanita itu masih marah kepadanya.     

"Aku tidak marah, Martin. Namun jangan pernah menutupi apapun dariku. Apapun itu, aku ingin mendengar kabar darimu." Eliza duduk di depan Martin. Ia mengatakan hal itu dalam suara lirih namun cukup menusuk hati kekasihnya.     

Rasanya Martin merasa sangat berdosa atas hal itu. Tak seharusnya ia tak memberitahukan hal itu pada wanita yang telah berhasil menyentuh hatinya. Pria itu hanya bisa menyesali perbuatannya.     

"Tolong maafkan aku," mohon Martin pada seorang wanita yang selama ini selalu mengejarnya.     

"Tak perlu minta maaf, Martin. Rasa cinta di dalam hatiku jauh lebih besar dari dugaanmu," balas Eliza. Wanita itu sangat yakin jika Martin adalah jodohnya.     

Setelah melakukan perbincangan singkat antar kekasih, Eliza pamit untuk pergi ke kantor kejaksaan. Ia pun sengaja mengecup singkat pipi Martin sebelum beranjak masuk ke dalam mobil.     

Entah mengapa, pagi itu Eliza ingin menemui ayahnya. Ia ingin menanyakan banyak hal pada sosok hakim senior yang sudah sekian lama menjalin hubungan dengan Natasya.     

Wanita itu merasa jika Rizal Hartanto mengetahui banyak hal mengenai hubungan masa lalu yang telah terkubur selama ini.     

Eliza langsung melakukan mobil menuju ke suatu tempat di mana ayahnya berada. Sampai di tempat tujuan, ia pun melangkahkan kakinya ke sebuah ruangan di mana Rizal Hartanto berada.     

Tanpa mengetuk pintu, Eliza langsung masuk begitu saja. Ia melihat Natasya yang ternyata juga berada di ruangan itu.     

"Tante Natasya! Kebetulan sekali ada di sini." Eliza mendatangi sosok wanita yang terlihat cukup anggun yang sedang duduk tak jauh dari ayahnya.     

"Kamu terlihat cukup terkejut melihat keberadaanku di sini, Eliza," ledek Natasya pada seorang wanita muda yang terlihat baru saja menerobos masuk tanpa permisi.     

Eliza sengaja memperlihatkan tatapan sini dengan wajah yang tak suka. Ia sama sekali tidak tertarik untuk bertemu dengan kekasih ayahnya itu.     

"Aku biasa saja, Tante Natasya. Mungkin hanya perasaan Tante saja," sanggah sosok wanita yang terlihat sangat tidak suka dengan keberadaan Natasya di dalam ruangan ayahnya.     

Rizal Hartanto yang sejak tadi hanya mendengar percakapan mereka, akhir bangkit dan menanyakan alasan keberadaan anak perempuannya.     

"Tidak biasanya kamu mendatangi kantor Papa, Imelda. Adalah yang sedang mengganggu pikiranmu," tanya seorang pria yang cukup berumur yang berprofesi sebagai seorang hakim senior.     

Eliza mulai bergetar mendekati ayahnya. Ia tak ingin berlama-lama berada di dalam ruangan yang sama dengan Natasya.     

"Aku ingin mencari pembunuh Irene Mahendra," cetus Eliza pada ayahnya. Ia sama sekali tak ragu untuk mengatakan hal itu. Bahkan ucapan Eliza yang baru saja itu cukup untuk memperhatikan wajah terkejut yang tak bisa ditutupi oleh Natasya.     

"Apa-apaan kamu, Eliza! Untuk apa kamu tenggelam dalam masa lalu itu. Sudah Papa katakan jika hal itu sama sekali tak ada hubungannya dengan Papa," tegas Rizal Hartanto pada anak perempuan yang akhir-akhir ini bersikap sedikit aneh.     

Eliza terkekeh sendiri tanpa alasan. Ia tak tahan melihat wajah Natasya yang seolah merasa paling tak berdosa atas dirinya. Padahal ia sangat yakin jika kekasih ayahnya itu terlibat dengan insiden kecelakaan yang telah merenggut nyawa Irene Mahendra.     

"Aku sangat yakin jika insiden itu ada hubungannya dengan Tante Natasya." Eliza mengatakan hal itu dengan cukup menyakinkan. Ia menatap tajam seorang wanita yang tiba-tiba saja terlihat gelisah atas perkataannya.     

"Apa kamu sedang menuduh aku, Eliza?" Natasya merasa sangat tersudut dengan tuduhan Eliza terhadap dirinya.     

Tanpa mengatakan apapun, Eliza justru mengulum senyuman sinis pada seorang wanita yang telah melahirkan Brian Prayoga itu. Ia pun sengaja mendekat ke arah Natasya dan berbisik pelan. Di telinganya.     

"Apakah Tante Natasya sedang berkilah atau justru ingin mendustai diri sendiri?" ucap Eliza lirih di dekat telinga Natasya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.